Bu Chairiah, putri dari Djamaluddin Tambunan, Gubernur Jambi 1974-1979 |
Oleh: Jumardi Putra*
Dua minggu lepas, saya menulis telaah buku Jambi Yang Menanti Jamahan karya Djamaluddin Tambunan, Gubernur Jambi periode 1974-1979 (Baca di sini: Jejak Pemikiran Djamaluddin Tambunan). Tulisan itu sepenuhnya bertitimangsa pada buku terbitan 1979, di penghujung masa jabatan sang Gubernur. Dengan kata lain, belum dilengkapi data atau pun informasi yang relevan bersumber dari keluarga Djamaluddin Tambunan yang masih hidup.
Maka, ketika Deddy Rachmawan, jurnalis Tribun Jambi, mengajak saya berkunjung
ke kediaman salah satu anak dari Djamaluddin Tambunan, saya tidak
berpikir panjang alias langsung mengamini. Senin, 22 Agustus 2023, sekira pukul
10.50 WIB, kami berjumpa Bu Chairiah Tambunan, yang tak lain adalah putri sulung dari enam
bersaudara buah pernikahan Djamaluddin Tambunan dengan istrinya yaitu Hj.
Nurbanun Siregar.
Ini kali pertama kami berjumpa beliau. Dibilang terlambat bisa jadi benar,
tapi perjumpaan kami selama hampir 3 Jam boleh dikata sesuatu yang patut disyukuri
sebagai bagian dari langkah mini menganggit kembali tokoh-tokoh yang semasa
hidupnya berkontribusi bagi pembangunan Jambi.
Obrolan kami pun berlangsung hangat, meski sepanjang percakapan Bu Chairiah
harus duduk di kursi roda. Tidak hanya itu, kehadiran anak bungsunya, Mirna
Iskandar, yang notabene seorang dokter ahli syaraf sekaligus dosen di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi, membuat suasana siang hari itu makin akrab.
Bahkan, ia sempat menunjukkan kepada kami beberapa album foto keluarga besar
Djamaluddin Tambunan semasa di kampung halaman di Sumatra Utara, saat di Jambi
dan tempat lain di tanah air. Sesuatu yang tidak akan saya temui dalam dokumen resmi pemerintahan
Jambi.
“Sebenarnya masih banyak foto-foto maupun dokumen berkaitan tentang
Bapak, tetapi sudah saya kirim semuanya ke Sumatra Utara. Kebetulan adik-adik saya
semuanya kini tinggal di Medan. Hanya saya sendiri yang menetap di Kota Jambi sejak
1984 sampai sekarang, setelah sebelumnya saya sempat mukim di Australia dan
Jakarta,” imbuhnya.
Meski berusia 79 tahun, ingatan Bu Chairiah masih kuat. Ia termasuk anak yang paling dekat dengan sang ayah, Djamaluddin Tambunan, lebih-lebih saat ayahnya jatuh sakit di masa akhir jabatan sebagai Gubernur Jambi pada 1979. Lantaran adik-adiknya mesti melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, Bu Chairiah harus menemani sang ayah berobat hingga ke Belanda dan Inggris, setelah sebelumnya sempat di Jakarta berkat bantuan dokter kenalan dekat keluarga.
Tengah-kanan: Djamaluddin Tambunan bersama istri (sekitar 1978) |
“Saya lebih banyak mendampingi ayah selama berobat, termasuk saat beliau pindah dan melanjutkan tugas di Jakarta. Ayah saya didiagnosa terkena getah bening pada usus sehingga memerlukan perawatan serius dan bahkan beliau diprediksi hanya bisa bertahan hidup kurang lebih 5 tahun, itu pun dengan catatan kesehatan beliau mesti dijaga ketat. Namun, alhamdulillah, justru ayah saya bisa bertahan hidup sampai 21 tahun setelahnya hingga beliau tutup usia pada 16 Oktober 2001,” jelasnya.
Bagi perempuan kelahiran 5 Desember 1944 ini, Jambi adalah kampung halaman kedua setelah tanah kelahirannya di Rantau Prapat, Sumatera Utara. Selama menempuh hidup di Jambi, Bu Chairiah tidak bekerja di lingkup Pemerintah provinsi Jambi, melainkan bekerja sebagai kontraktor pembangunan kecil-kecilan. Malah dua adiknya yang dulu memang diminta fokus kuliah oleh ayahnya kini dipercaya oleh masyarakat sebagai Bupati Deli Serdang periode 2004-2014 yaitu Amri Tambunan dan Ashari Tambunan selaku Bupati Deli Serdang dua periode 2014–2019 dan 2019–2024.
Pilihan Bu Chairiah menetap di Kota Jambi, selain atas anjuran ayahnya, adalah juga kecintaannya pada Jambi. Keluarga besar Djamaluddin Tambunan merasakan apresiasi masyarakat Jambi yang begitu mendalam kepada ayahnya. Itu kenapa sedari dulu baik bapak maupun ibunya begitu dekat dengan masyarakat Jambi. Bahkan, diakui Bu Chairiah, rumah yang kini ditempatinya di Jalan A. Manaf Nomor 61, Telanaipuran, Kota Jambi, adalah pemberian pemerintah provinsi Jambi kepada Djamaluddin Tambunan, ayahnya.
“Ayah saya bukan tipikal yang protokoler banget. Ibu apalagi, beliau
suka bincang-bincang santai dengan siapapun, mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa sekalipun. Rumah yang
kami tempati sekarang, dulunya adalah tempat berkumpulnya banyak warga Jambi dari
pelbagai latar belakang,” kenangnya.
Masih banyak ceritera Bu Chairiah kepada kami, dan akan saya tulis secara lengkap kemudian, terutama pengalamannya mendampingi ayah dan ibunya mengunjungi daerah-daerah sulit tergapai di pelosok Jambi. Namun salah satu yang menarik dari seorang Chairiah justru menyeruap di ujung percakapan yakni keaktifan dirinya dalam komunitas tari dan paduan suara Maju Tak Gentar Sumatra Utara serta perjumpaannya dengan Putra Sang Fajar, Presiden Soekarno, di Istana Negara. Tidak hanya itu, ia juga pernah tampil bernyanyi dengan disaksikan sejumlah tamu kenegaraan pada momen Ganefo, event olahraga tandingan Olimpiade pada 1962. Sayangnya, foto-foto yang menunjukkan keikusertaan Chairiah masa itu tidak ada.
Bu Chairiah |
Bu Chairiah, seperti diakuinya, merupakan bagian dari tim penyanyi di Istana Negara pada kurun 1962-1964. Barisan inilah yang dikerahkan ketika Presiden Sukarno menerima tamu-tamu resmi kenegaraan. “Untuk ke Jakarta kami naik Hercules. Pesawatnya itu kan untuk angkat mobil. Jadi kami harus duduk pakai jala-jala gitu. Bukan di kursi seperti pesawat yang mengangkut warga,” ujar ibu empat anak tersebut.
Saat bergabung dalam tim paduan suara istana, Bu Chairiah ketika itu masih
duduk di kelas 2 SMA. Ayahnya saat itu bekerja di Biro Perekonomian Kantor Gubenur Provinsi Sumatera Utara.
Tak syak, keaktifannya sebagai paduan suara istana itulah, ia jarang masuk
sekolah di SMA 3 Medan, dan bahkan saat kelas 3, ia tak mengikuti ujian akhir
sekolah. “Jadi urusan sekolah saya memang tersendat-sendat, dan saya tidak melanjutkan
ke jenjang berikutnya lagi,” ujarnya.
Hal menarik buatnya, dan itu ia kenang sampai sekarang yaitu saat dirinya tampil di Istana Negara pada 1963. Ketika itu lepas acara resmi, ia dan teman-temannya diberi kode oleh Joop Ave, pejabat Protokoler dan Kepala Rumah Tangga Istana (pernah juga menjabat sebagai Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi era Soeharto) agar menyanyikan lagu Aryati ciptaan Ismail Marzuki untuk presiden Soekarno yang tengah menari lenso bersama tamu lainnya.
Usut punya usut, ketika itu ternyata Presiden Sukarno sedang jatuh hati
pada Hariati, penari muda berparas ayu sekaligus staf Sekretaris Negara Bidang
Kesenian. Seolah terbawa pada momen penuh kenangan itu, Bu Chairiah lantas menyanyikan
penggalan lirik lagu ciptaan Ismail Marzuki itu di hadapan kami, berikut ini:
Aryati, Dikau Mawar di bawah asuhan rembulan
Aryati Dikau gemilang seni pujaan
Dosakah hamba memuja dikau dalam mimpi.
*Kota Jambi, 23 Agustus 2023.
0 Komentar