![]() |
ilustrasi. sumber: magdalena.co |
Oleh: Jumardi Putra
Terhadap buku-buku yang pernah saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi dan orang-orang yang pernah saya jumpai dan berdialog bersama mereka, saya berhutang budi dan karenanya saya menaruh hormat sekaligus berterima kasih. Melalui ruang-ruang demikian itulah, saya berkesempatan mencatat sekaligus menyerap saripati.
Berikut ini percikan permenungan sebelum memasuki minggu
akhir Agustus 2023, meneruskan edisi sebelumnya (Dari Hari Ke Hari: Fragmen I,
II, III, IV, V, VI, dan VII) yang saya tulis secara singkat sebagai status
di aplikasi perpesanan Whatsapp.
Mungkin saja ada gunanya.
***
Agaknya diskursus ekonomi dan pembangunan di Jambi berada dalam kejumudan. Paling banter warna-warni wicarana yang mencuat ke permukaan kerap berpijak dan berorientasi pada pemenuhan libido suksesi kepemimpinan. Itu karena, di luar kultur ekslusivisme otorita keilmuan, di kalangan para sarjana berlatar latar belakang ekonomi juga masih tekun menyebarkan "capitalistic mainstream neoclassical economics".
Situasi demikian seolah menegaskan
civitas akademika saat ini terperangkap dalam ortodoksi kurikulum konvensional
yang lebih mengetengahkan "daulat modal" dan "daulat pasar"
daripada mengutamakan "daulat rakyat". Prediksi ekonomi pun bergerak
semakin mirip ilmu nujum di tengah perekonomian dunia yang tidak menentu. Saat bersamaan
cengkraman neoliberalisme belum menemukan sistem distribusi kesejahteraan yang
mampu melawannya secara sepadan untuk membentuk dunia kita hari ini dan
kemungkinan mengubahnya ke arah lebih baik.
***
Barangkali aset terbesar negara ini adalah mereka yang sudah cukup berbahagia jajan di warung-warung pinggir jalan, berbagi cerita sambil ngopi atawa ngeteh, membantu sesama semampunya, dan di puncak malam mengadu kepada Tuhannya tentang hari-hari dengan segala pernak-perniknya. Sekalipun dililit kesusahan, mereka tiada henti melafalkan "Ya Hayyu Ya Qayyum Birahmatika Astaghisu" dalam keheningan. Di tengah kondisi demikian itu, "di atas sana" semuanya berjalan seperti "business as usual": ekstraktif dan tidak peduli pada orang-orang di akar rumput.
***
Program dan kegiatan yang selalu berorientasi kepada hal-hal
seremonial menunjukkan telah terjadi disfungsi anggaran publik. Anggaran publik
sesungguhnya harus dikembalikan untuk hajat hidup orang banyak dengan membuat
program-program yang mampu meningkatkan kualitas hidup. Faktanya, program
elitis dengan anggaran serupa kadung merasuk dalam sukma kita. Begitu banyak
kegiatan dalam skala besar yang berlangsung di banyak birokrasi pemerintah
daerah di tanah air terlewatkan begitu saja, tanpa ada telaah yang memadai dan sepi
dari tanggapan pemerhati dan akademisi.
***
Porsi terbesar (kalau bukan beban) dalam struktur belanja
baik APBN maupun APBD adalah belanja operasional, utamanya belanja pegawai. Faktanya,
untuk mengendalikan defisit agar tetap berada dalam batas aman, belanja modal
justru dikoreksi. Siapa yang dirugikan? Masyarakat banyak yang sejatinya
berharap bisa bangkit melalui dorongan optimalisasi belanja modal berkat multiplier effect yang dicanangkan
melalui pelbagai skema program dan kegiatan.
Maka, pegawai produktif, kreatif dan inovatif adalah
keniscayaan sehingga sepadan dengan belanja yang telah digelontorkan oleh pemerintah
saban tahun. Masyarakat berhak mendapatkan manfaat dari APBN/APBD. Nah, pangkal
masalahnya adalah, meski belanja pegawai dinaikkan, peningkatan produktivitas
ASN dalam melaksanakan tugas maupun fungsi pelayanan publik yang sigap dan
inovatif masih menjadi persoalan nyata di republik ini. Implementasi reformasi
birokrasi demi mewujudkan birokrasi dan pelayanan publik yang lebih
berkualitas, profesional dan berintegritas masih katanya ketimbang sebagai
realita.
***
Tafsir tentang lapar dalam pandangan saya tidak melulu urusan perut, tetapi juga menyangkut patalogi mental kolektif. Sebut saja soal korupsi hampir di semua lembaga negara saat ini. Sesungguhnya, mentalitas lapar juga ada pada kaum elit serta mereka yang menikmati kedekatannya dengan jaringan kekuasaan. Pada saat yang sama, nun jauh di sana masyarakat di akar rumput, dengan laku kebudayaannya, menunjukkan hidup yang cukup tur wajar serta setia menjaga keseimbangan. Kita pernah mendengar seruan mendiang WS Rendra:"gagah" dalam kemiskinaan.
Hemat saya, itu artinya kehidupan tidak saja soal perut. Kearifan budaya, dalam tradasinya yang tua telah menunjukkan bahwa kebahagiaan adalah soal rasa syukur dalam hidup yang wajar. Hal demikian juga diperkuat oleh penelitian mutakhir tentang negara paling bahagia di dunia yaitu Denmark. Sebuah negara kecil yang justru mengalahkan negara besar dan maju lainnya. Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara berkembang, dengan akselerasi pembangunannya kita melihat hanya berhasil menciptaan ekonomi piramida. Jurang antara kaya-miskin semakin lebar. Maka, pembangunan minus kebudayaan hanya melahirkan ketidakseimbangan.
***
Di kalangan fisikawan teoritis, Stepen Hawking boleh dikata
sosok nan cemerlang sejak Einstein, sebut saja melalui magnum opusnya berjudul
A Brief Hisytory of Time yang dibahas dalam buku ini. Pada buku ini ia juga
menyingkap sederet kemungkinan baru dalam memahami jagat raya. Saya dibuat takjub
membaca empat esai pada bagian awal di buku ini mulai dari masa kecilnya, masa
bersekolah di Oxford dan Cambridge yang ia lalui tidak secara mulus. Selain harus
bersaing dengan kawan-kawan sebaya, tapi juga menghadapi pembagian yang mencolok dalam
sistem pendidikan bagi kelas sosial yang berbeda di Inggris. Kemiskinan dan
kurangnya koneksi telah menyebabkan ia tersisih oleh orang-orang yang mempunyai
kemampuan kurang tapi secara sosial beruntung. Begitu juga masa-masa sulit saatnya
penyakit ALS menjangkitinya hingga tentang sikap masyarakat umum terhadap
sains.
Sedari kecil Stepen memang menarut minat yang tinggi pada fisika teoritis fundamental (kosmologi dan partikel elementer), selain tentu saja ayahnya seorang peneliti penyakit-penyakit tropis. Buku berjudul Lubang Hitam dan Jagad Bayi dan Esai lainnya ini memuat tulisan Stepen dalam rentang 1976 sampai 1992.
***
Membaca buku Tuesday With Morrie (karya Mistch Albom) serasa
berada di halte dunia antara: kesementaraan dan keabadian. Serangkaian ajakan yang
tersaji dalam buku tersebut datang tidak sebagai khotbah. Selalu ada harapan
yang menguatkan untuk tidak memilih berhenti saat diterpa kesulitan. Morrie
menghendaki kemudahan, tapi itu bukan berarti menyesali sepenuhnya pada
kesulitan yang mendera. Sepanjang jalan, ada banyak perempatan yang menyediakan
tawaran jawaban, yang tak terkirakan tentang hal-hal yang tidak sepenuhnya
selesai dalam hidup ini. Saat bersamaan kematian itu terekam oleh keadaan badan
yang mulai kehilangan kekuatan sekaligus intensitasnya. Itulah detik-detik yang
menegangkan sekaligus menjanjikan sebuah pelajaran pada kenikmatan yang
terberikan dan teruji oleh kerja optimis saat nyawa masih di kandung badan.
Puncaknya segala macam ekspresi Morie jelang ajal memisahi badan, selalu muncul
kesempatan untuk memberi harapan. Harapan tidak sepenuhya milik mereka yang
menang, tapi juga bisa datang dari yang kalah.
*Catatan Fragmen I sampai VII dapat diakses di website ini.
0 Komentar