Warga RT 16 Usai perlombaan panjat pinang |
Oleh: Jumardi Putra*
Merdeka! Sekali Merdeka tetap Merdeka! Itulah pekikan yang kerap terdengar mengiringi perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia saban tahun di negeri ini. Kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan susah payah oleh para founding fathers terdahulu meniscayakan kesadaran penuh generasi saat ini agar tidak melupakan peristiwa bersejarah tersebut. Tidak hanya itu, selain bertugas merawat republik yang majemuk ini, generasi sekarang juga kudu bertanggungjawab mengisi kemerdekaan berlandaskan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika.
Perayaan dan pemaknaan demikian itu harus terus beriringan agar tidak berhenti sebagai aktivisme belaka. Tidaklah berlebihan, galibnya momen Agustusan, warga di tempat saya tinggal yakni RT 16, Kelurahan Beliung, Kecamatan Alam Barajo, Kota Jambi, iuran bersama seikhlasnya untuk membiayai semarak Agustusan. Hal ini selain bertujuan memperingati momen bersejarah berdirinya NKRI, juga menjadi oase-ruang bagi warga menjaga kohesi sosial. Bentuk perayaannnya bermacam-macam dan menyasar ke semua segmen umur, mulai dari anak-anak hingga dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Sebut saja seperti panjat pinang, makan krupuk, tarik tambang, memasukkan pipet ke dalam botol, dan beberapa kegiatan hiburan lainnya.
Panjat Pinang Warga RT 16 |
Di tengah kehidupan yang tidak mudah sekarang ini, peringatan hari jadi Republik Indonesia ke 78 merupakan suatu momen yang menjanjikan harapan, meski kita menyadari bahwa kehidupan rakyat Indonesia tidak berubah dalam waktu sekejap. Mulai dari Presiden Soekarno, berganti ke Soeharto, lalu dilanjutkan sebentar oleh B.J. Habibie dan setelahnya disambung oleh K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, lalu berpindah ke tangan Megawati Soekarno Putri, dan selanjutnya Soesilo Bambang Yudhoyono dan saat ini dipimpin oleh Jokowi. Begitu juga Februari tahun depan, kita akan memilih lagi Presiden baru.
Problem struktural seperti kemiskinan, sulitnya lapangan pekerjaan, harga bahan pokok yang melambung tinggi, ketimpangan antar wilayah (soal ini menjadi perhatian serius Jokowi) serta situasi ekonomi global yang tidak menentu, boleh dikata masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin di setiap tingkatan di negeri ini ke depannya. Belum lagi imbas situasi global akibat perang antar Rusia dengan Ukraina, ekses pandemi Covid-19 serta segala macam siasat negara maju, berkembang dan tertinggal dalam platform ekonomi dunia yang dikerangkengi oleh sistem ekonomi neoliberalisme, yang masih menjadikan pasar (mengurangi perlahan-lahan intervensi negara) sebagai penentu arus dan pergerakan pertumbuhan ekonomi dunia.
Bersamaan problematika sekaligus tantangan yang tidak mudah itu, masih terdengar oleh saya bahwa perayaan hari kemerdekaan dibaca oleh sebagian orang dalam perspektif agama yang sempit (kalau bukan dengan kacamata kuda) sehingga pelbagai ekspresi kecintaan warga Indonesia kepada tanah airnya dianggap sesuatu yang berlebihan dan karenanya perlu dihindari tersebab mengundang pada kemusyrikan dan membuka ladang kemaksiatan. Pandangan serba oposisi binner demikian itu agaknya tidak tepat, sehingga yang diperlukan adalah sebuah paradigma terbuka yang memberi ruang bagi segala macam ekspresi warga, tidak terkecuali merayakan melalui medium agama (apapun bentuk keyakinannya), untuk bersama-sama merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Itu saja.
Agama, dalam hal ini hemat saya selain berisikan aspek normativitas (ajaran tauhid dan perangkat lunak lainnya), juga berdimensi historisitas yaitu realitas sejarah dan ketersambungannya dengan keadaan sekarang. Dengan demikian, kehadiran agama sejatinya tumbuh berkembang bersamaan dengan ekspresi pemeluknya dalam konteks sebuah negara merdeka, yang dulu harus berdarah-darah, dan bahkan menuntut nyawa agar bisa lepas dari penjajahan dan sekarang berkewajiban merawat serta mengisi kemerdekaan dengan penuh tanggungjawab sebagaimana dicita-citakan oleh para pendahulu republik ini. Oleh karena itu, upaya mengingat, merayakan dan mengisi kemerdekaan adalah matarantai yang tidak boleh terputus dan harus terus menerus diperjuangkan untuk sampai pada kehendak bersama yang telah digariskan dalam konstitusi kita.
Keceriaan Anak-anak RT 16 menerima hadiah perlombaan |
Bersamaan dengan segala macam ekspresi perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke 78 ini, perlu kiranya kita menyediakan ruang refleksi sekaligus kontemplasi, sesuai peran dan tanggungjawab kita sebagai warga negara. Terutama kepada pejabat di negeri ini, pada level apapun, agar menempatkan HUT RI ke 78 ini sebagai momen perenungan mendalam, sejatinya apa yang telah kalian dedikasikan untuk negara dan bangsa ini? Bila masyarakat menagih, itu jelas dibenarkan. Bukankah jabatan yang kalian emban sejatinya berasal dari rakyat yang telah menaruh kepercayaan dan harapan penuh kepada Tuan/Puan.
Sekali lagi, momen hari jadi Kemerdekaan Republik Indonesia ke 78 ini, sejatinya mengajak saya, anda, dan kita semua menatap lekat-lekat wajah Ibu Pertiwi, sudahkan kita benar-benar merdeka?
Saya ingin menutup catatan sederhana ini sembari mengajak seluruh pejabat di negeri ini, pada level apapun, merefleksikan apa yang dikatakan budayawan Radhar Panca Dahana (2013) berikut ini, “Wahai saudara-saudara pemegang kuasa dan kebijakan, jadilah juga penguasa kebajikan, jadi tuntunan dan acuan, jadi otoritas yang membanggakan, dimana pundak Anda sudah kami perkuat dengan seluruh sumber daya yang kami miliki, agar kami bisa bersandar saat kami butuh bimbingan dan semangat. Dan, di situlah saatnya kita bersama. Bekerja sama, tidak untuk kita saja, tapi juga untuk anak, cucu, buyut yang lahir dari rahim kebangsaan kita.
*Kota Jambi, 19 Agustus 2023.
0 Komentar