Oleh: Jumardi Putra*
Dunia kerja
selalu menghadirkan ragam cerita, tidak terkecuali kerja di birokrasi
pemerintahan. Hal serupa juga terjadi di birokrasi kampus maupun perusahaan. Ringkasnya, bak dua sisi dalam kepingan satu mata uang yang
sama, suka maupun duka akan selalu menyertai jalan karir sesiapa saja.
Dalam
beberapa kesempatan saya mendapat cerita (kalau bukan curhatan) langsung dari
mereka yang hari-hari menghabiskan energi dan pikiran di tempatnya bekerja.
Umumnya dari cerita itu mengerucut pada satu perkara utama yakni pegawai yang
sungguh-sungguh bekerja namun teracuhkan. Sementara ada pegawai lainnya yang
sedikit bekerja (kalau bukan ogah-ogahan), tapi sering mendapat promosi dan
perlakuan khusus hanya karena dia mampu mengambil hati atasannya atau galib
diistilahkan “pandai cari muka”. Belum lagi, perjalanan dinas yang diberikan
bukan atas dasar urgensi maupun mendukung tupoksi pekerjaan, tapi suka-suka atasan karena
faktor kedekatan dan bahkan mendapat “bisikan” dari mereka yang terhubung
dengan kekuatan utama di lingkup kerja dimana ia ditabalkan.
Budaya kerja
yang demikian jelas tidak sehat, karena berpotensi menyurutkan motivasi kerja
siapapun yang mengalaminya. Bahkan, tidak dapat dimungkiri bahwa dari masa ke
masa, cerita lama seperti kondisi tersebut di atas
masih kerap terjadi sampai saat ini bagi seseorang dalam menapaki jenjang karirnya.
Melalui
media jejaring sosial seperti tiktok,
facebook, instagram dan aplikasi interaktif lainnya, publik saat ini mudah
menjumpai curhatan berisi intrik dan otokritik yang disampaikan secara ciamik
sehingga tak jarang mengundang tawa sekaligus miris baik itu ditujukan antar sesama pegawai
maupun kepada atasannya. Begitulah adanya di era serba terbuka sekarang.
Benar,
persaingan adalah hal yang wajar dan tidak bisa dihindari oleh siapapun dalam berkarir. Namun, kunci dalam membuat keputusan, sebut saja dalam hal ini promosi
maupun kesempatan untuk mengembangkan kompetensi di tempat bekerja, yang bisa
menciptakan suasana persaingan sehat di kantor memerlukan penilaian secara objektif. Bukan berdasarkan siapa (subjek) melainkan berdasarkan apa yang telah
dan bisa dicapai (objek) dalam posisi tertentu. Terang saja, ambi misal, seorang
kepala daerah di sebuah lingkup pemerintahan atau kepala dinas di lingkup
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya melakukan pengisian jabatan baru atau
semata rotasi kerap disertai kemunculan pelbagai opini ketidakpuasan. Bla, bla,
bla…..
Idealnya sebuah birokrasi pemerintahan memiliki standar penilaian untuk mencapai target pekerjaan yang ditetapkan sehingga menjadi pegangan. Curhatan beberapa
kawan saya tadi itu adalah kenyataan yang tidak bisa ditutupi sehingga
memerlukan jawaban dengan kehadiran pimpinan di tempat kerja yang memiliki
kualifikasi secara akademis, profesional dalam bekerja, tegas menjalani aturan
serta adil dalam menerapkan penghargaan maupun hukuman bagi mereka yang
diamanahi kepercayaan memegang sebuah tanggungjawab.
Di zaman berlari kencang saat ini kerja harus dikembangkan dengan pemberdayaan, pembukaan wawasan, dan penemuan diri (self discovery) serta menghindari zona nyaman. Itulah syarat untuk mencapai tingkat mastery, untuk menciptakan master piece, dan bukan hasil karya model pabrikan yang serba instan dan apatah lagi bermodal kemasan. Bekerjalah secara cerdas dan sungguh-sungguh. Dalam pada itu, disertai keikhlasan. Pada level itu pekerjaan akan membawamu pada hati yang damai, pikiran yang senantiasa cemerlang, dan keterlibatan tangan Tuhan atas rencana-rencana baikmu.
Saya teringat ungkapan
menarik budayawan Sujiwo Tedjo berikut ini, “Kata Semar: Kalau kamu ikhlas,
mungkin kamu gak kaya, tapi setiap kali butuh, duit itu ada”. Duit itu, hemat
saya, tidak selalu bermakna tunggal berupa uang seperti dipakai umum warga sehari-hari,
tetapi bisa juga berupa kepercayaan memegang sebuah tanggung jawab di tempat
kita bekerja.
Orang yang
pandai cari muka akan selalu ada. Tipikal orang demikian itu akan
selalu merasa dikejar waktu. Baginya waktu adalah uang dan jabatan. Maka, kalimat "Speed is part of my life" tidak pernah ia pikir-renung
kembali. Puncaknya, pragmatisme meraja. Kulit lalu jadi lebih penting ketimbang isi. Yang
penting ia mendapatkan apa yang dikehendakinya, meski tidak dengan cara yang
tepat dan wajar. Itu juga yang membuat orang pandai cari muka grusa-grusu agar
bisa dekat dengan atasan sembari membisikkan hal-hal tidak benar tentang
sejawatnya sendiri.
Semoga kita semua
terhindar dari penyakit “pandai cari muka”, di manapun tempat kita diberi kepercayaan bekerja. Mari
bekerja cerdas, sungguh-sungguh dan senantiasa belajar untuk ikhlas dalam suka
maupun duka. Percayalah, pada diri orang yang bertanggung jawab, tiap beban
pekerjaan ditunaikan dengan penuh seluruh. Tidak perlu menjadi “orang lain”
hanya karena ingin menunjukkan telah jatuh bangun menuntaskan sebuah pekerjaan yang dimandatkan. Tugas adalah
tugas. Jangan berhenti berbuat yang terbaik, meski kita tahu ada orang-orang
yang piawai bersolek di hadapan pengendali mikropon kekuasaan (pengambil
keputusan di tempat kerja), yang berlagak seolah-olah telah menunaikan tanggung jawab yang diembankan kepadanya.
Tanggung
jawab menuntaskan pekerjaan tidak lain adalah pelaksanaan dari hati dan pikiran
yang mengabdi. Bukan hati dan pikiran yang durja sehingga dengan congkak dan pongah
melimpahkan bebannya sendiri kepada orang lain, yang semestinya itu tidak perlu terjadi,
apatahlagi berulang dari waktu ke waktu.
*Kota Jambi,
11 Agustus 2023.
2 Komentar
Ini catatan yg ditulis dengan hati dan hati-hati.. 😊
BalasHapusEnte kadang-kadang 🤣
BalasHapus