Buku Dr. Nani Nurraachman |
Oleh: Jumardi Putra*
Perjumpaan kami tidak direncanakan, meski namanya lebih dulu saya ketahui melalui memoar berjudul Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965, terbitan Kompas, 2013.
Melalui Dr. Yanti, linguis asal Jambi yang hari-hari mengajar di Unika Atmajaya, Jakarta, saya diperkenalkan dengan Dr. Nani Nurrachman, putri dari pahlawan revolusi Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomihardjo yang juga pengajar psikologi di kampus yang sama. Sayang, perjumpaan kami yang teramat singkat pada akhir September tahun lalu, gagal terulang setahun setelahnya tersebab pagebluk Covid-19 kadung melanda negeri ini.
Memoar yang ditulis oleh adik Letjen (Purn) Agus Widjojo, Gubernur Lemhannas, yang juga putra sulung dari Mayjen Sutoyo Siswomihardjo ini tak lain sebuah upaya pemaknaan trauma individual tentang penggalan sejarah kelam Indonesia. Melalui memoar itu ia menceritakan proses-proses psikologis yang mengubah perjalanan hidupnya untuk sampai pada sebuah proses rekonsiliasi. Tidak mudah memang, tetapi setelah puluhan tahun dirinya sukar untuk berdamai dengan realitas kelam itu, akhirnya bu Nani sampai pada satu titik krusial yaitu ia tidak lagi mengejar kesaksian “kebenaran” tentang apa yang terjadi dalam tragedi traumatik 1965. Bukan ia tidak ingin mendapatkan keadilan dan kebenaran, walakin apa yang telah ia capai lebih hakiki dari kebenaran duniawi dan direkonstruksi oleh manusia, lebih-lebih konflik politik yang menyertai peristiwa berdarah pada 30 September hingga subuh dini hari, 1 Oktober 1965.
Secara gamblang perempuan kelahiran Yogyakarta, 13 Mei 1950, itu menuliskan upaya dirinya mencari kebenaran tentang kematian ayahnya dan enam jenderal lainnya yang terbilang janggal dan tidak manusiawi. Ia bertemu para pihak dalam banyak forum baik di dalam dan luar negeri, salah satunya yaitu di Forum Leuven yang menjadi titik bangkit Nani melangkah ke lorong panjang berikutnya. Ia bertemu dengan anak-anak tokoh sejarah 1965 yang menjadi korban maupun pelaku. Ingatan personal di antara mereka selalu saja berada dalam tarik menarik tafsir antara “pemenang” dan yang “kalah”.
Penulis bersama Dr. Nani Nurrachman |
*Jakarta, 30 September 2020.
0 Komentar