Oleh: Jumardi Putra*
Tensi politik jelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 mulai memanas. Masing-masing tim koalisi saling intip kekuatan sekaligus
kelemahan lawan. Sedangkan barisan pendukung di arus bawah tiada henti mengangkat-ngangkat
pamor junjungannya, tapi saat bersamaan menyebar informasi tak berdasar guna
menjatuhkan lawan. Belum lagi serangan digital, baik yang berkait langsung atau
sebaliknya, yang melekat atau pun dilekatkan pada sosok Capres-Cawapres tertentu
begitu mudah dimanipulasi sejauh kepentingan pesanan. Semua berjalan penuh
tergesa, seolah persis yang dikatakan salah satu politikus Britania Raya pada abad
ke-20, Harold Wilson, seminggu adalah waktu yang lama dalam politik.
Tak syak, centang perenang politik di republik ini sarat transaksi yang
datang dari pelbagai penjuru mataangin. Saat yang sama, relasi sosial kewarganegaraan
di akar rumput yang mulai intim setelah Pilpres 2019 sebelumnya sempat terbelah, kini mulai mengarah kepada sentimen yang berpotensi
pada segregasi sosial. Begitu juga elit partai politik yang berbusa-busa menghimbau
seluruh elemen masyarakat, khususnya para kader dan simpatisan agar berpolitik
secara santun dan riang gembira, justru kian ke sini mulai berubah tegang dan menjemukan.
Belum lagi, kata “dikhianati”, “ditelikung”, “dibohongi”, “ditinggali”, "tertipu", dan seabrek
istilah lain sebagainya muncul bak cendawan di musim hujan. Paradoks, memang, tapi
itu pula yang dikatakan Charles de Gaulle,
pimpinan militer dan negarawan Prancis bahwa “Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru
terkejut bila rakyat memercayainya”. Saya juga teringat ucapan Leszek Kolakowski, seorang filusuf Polandia bahwa "Dalam politik, tertipu bukanlah alasan".
Saya mengapresiasi bila ada netizen baik secara perorangan maupun
komunitas civil society melalui
pelbagai medium alternatif menghadirkan wacana tandingan atas praktik politik
yang menjemukan dan membodohkan itu dengan cara sederhana dan elegan, tapi juga
diperisai humor, meme dan satire dengan tetap menyisipkan kritik yang mencerahkan
publik.
Di media sosial seperti facebook
maupun aplikasi perpesanan grup WhatsApp,
kerap saya menemukan video berdurasi singkat maupun teks berupa kalimat yang
tidak saja membuat penikmat tersenyum, dan bahkan mengundang tawa, tapi juga apiknya
muncul letupan imajinasi yang mengajak publik untuk mikir. Sebut saja seperti
kalimat berikut ini, “berpolitik secukupnya, tapi berkawan selamanya”. Jangan
sampai ingin gagah-gagahan terlibat politik seperti digambarkan dalam kalimat
satire “Sakit Jiwa Karena Bela Capres Tidak Ditanggung BPJS”. Kali
lain saya menemukan teks berbunyi, “Teman lama ditemukan oleh Facebook, dipererat oleh Whatsapp, dan Dipisahkan oleh Pilpres”.
Sudahkah kemajuan demokrasi substantif sebagai kenyataan politik zaman kiwari? Saya kok belum yakin seratus persen. Faktanya, demokrasi selain bertujuan untuk kebaikan hidup
bersama dalam sebuah negara, juga memuat cerita-cerita tentang kekecewaan yang hadir
bersamaan dalam proses perjalanannya. Ambil misal, kurun waktu tertentu sekelompok
elit partai politik beserta gerbong yang dibawanya berjalan beriringan dengan kekuasaan,
tapi kali lain berseberangan, entah alasan apa yang sesungguhnya melatari hal
itu. Bukankah kepentingan itu sendiri? Bisa jadi.
Politik dalam praktiknya menjadi tidak serba hitam putih. Ia
menggelinding begitu cepat dan dinamis. Ungkapan Sir Winston Leonard
Spencer-Churchill, seorang politikus, perwira militer, dan penulis Britania
Raya Winston Churchiil, bisa membantu publik agar tidak terjebak dalam gerak-cepat
dan propaganda politik praktis yang sedemikian licin dan bahkan sulit diterka berikut ini “Politik hampir semenarik perang dan sama berbahayanya. Dalam
perang, anda hanya bisa dibunuh sekali, tetapi dalam politik, berkali-kali. Dengan
kata lain, selain meniscayakan kecerdasan dan keberanian, politik juga mensyaratkan kepada
subjek-subjek yang ingin terlibat secara lansung atau tidak langsung di
dalamnya memiliki stamina yang terjaga sekaligus bernafas panjang.
Menyosong Pilpres 2024 di tengah kompleksitas persoalan yang melilit bangsa ini diperlukan pandangan dan sikap kritis-rasional. Apa sebab? Mengutip pendapat Naomi Klein, seorang pengarang dan aktivis sosial Kanada, bahwa demokrasi bukan hanya hak untuk memilih; itu adalah hak untuk hidup bermartabat. Dengan demikian, penting buat Capres dan Cawapres, begitu juga para pendukung mulai dari jajaran elit hingga akar rumput untuk berkomitmen menjadikan momen Pilpres 2024 sebagai proses pengabdian dan pengadaban negeri yang menjadi basis bagi kerja-kerja penyelenggaraan substansi demokrasi baik dalam berkeseharian maupun bernegera dan berbangsa.
*Jakarta, 31 Oktober 2023. Tulisan ini terbit di rubrik Oase portal kajanglako.com. Sumber ilustrasi: kompas.id
0 Komentar