Dari Hari Ke Hari: Fragmen IX

ilustrasi. sumber:kompas.id.

Oleh: Jumardi Putra*

Terhadap buku-buku yang pernah saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi dan orang-orang yang pernah saya jumpai dan berdialog bersama mereka, saya berhutang budi dan karenanya saya menaruh hormat sekaligus berterima kasih. Melalui ruang-ruang demikian itulah, saya berkesempatan mencatat sekaligus menyerap saripati.

Berikut ini percikan perenungan November 2023, meneruskan edisi sebelumnya (Dari Hari Ke Hari: Fragmen I sampai VIII) yang saya tulis secara singkat sebagai status di aplikasi perpesanan Whatsapp. Mungkin ke depan bisa dikembangkan menjadi tulisan panjang maupun diskusi lebih lanjut.

***

Belakangan ini saya membaca beberapa skripsi mahasiswa jurusan ilmu politik salah satu kampus di Kota Jambi. Sependek yang saya cermati umumnya masih berkutat pada pelembagaan partai politik, pengaruh orang kuat lokal terhadap keterpilihan Caleg dan pemenangan jumlah kursi terbanyak antar partai. Studi politik tentu tidak melulu soal elektoral, struktur dan organisasi partai politik serta kampanye pemilu secara periodik.

Lebih dari itu, studi politik juga menganggit soal pengelolaan masalah publik, aspirasi, tujuan, keyakinan dan nilai-nilai manusia. Studi politik berkaitan dengan teori dan praktik, dari nalar elit ken alar publik, keterampilan filosofis dan teknis. Dengan cara itu, studi politik akan menghadirkan semacam warisan sosial yang mencerahkan publik lantaran di balik institusi dan proses pemerintahan, terdapat tradisi, teori dan filsafat yang menyediakan penelitian yang menyangkut realitas politik.

Saya teringat yang dikatakan Th Sumartana, interfidei: 2001, berikut ini "Wacana politik kita adalah wacana tentang jawaban. Jawaban yang didesakkan layaknya dogma. Dunia politik kita adalah dunia yang ribut kata dan kuasa, jauh dari dunia berfikir dan kontemplasi. Yang tinggal hanyalah aktifisme. Aktifisme agenda seolah-olah jawaban sudah ada dan kita hafal dengan jawaban dan tidak peduli dengan pertanyaan".

Jambi membutuhkan sarjana politik yang tekun menelaah secara ekstensif semua masalah dalam bidang teori maupun praktik politik, dan dari mereka publik mengambil banyak manfaat.

***

Sependek yang saya amati melalui Tiktok, grup Whatsapp dan media sosial, dalam kasus perang Israel-Palestina, penceramah agama di tanah air seolah fasih mengetengahkan data sejarah yang melatari konflik berkepanjangan kedua negara berseteru itu, selain tentu saja tidak lepas dari klaim teologis yang mereka yakini. Segera muncul pertanyaan, di mana keberadaan sejarahwan di kampus-kampus? Mana suara akademiknya? Atau jangan-jangan tak ubahnya kalangan awam, kebingungan dirundung informasi berlimpah sehingga makin jauh dari narasi-narasi yang semestinya dapat menjelaskan duduk perkara di balik pertikaian berkepanjangan itu.

Dalam banyak konflik yang sulit selesai, itu bisa jadi karena suara bising dari mereka yang tidak paham masalah memenuhi ruang-ruang percakapan hari-hari. Hal itu makin menjadi-jadi karena mereka seolah mendapat pembenaran hanya berlandaskan sentimen primordial dan keagamaan.

***

Mengamati praktik politik kiwari elit di negeri ini, mengingatkan saya pada Thomas Hobbes yang melukiskan kekuasan yang begitu besar dengan sebutan  "Leviathan." Hanya saja, dewasa ini wujud praktik leviathan tersebut tidak tampil bak otoritarianisme Orde Baru, tetapi datang dengan wajahnya yang baru dalam lanskap demokrasi prosedural. Waspada.

***

Nomor urut Capres-Cawapres sudah diumumkan. Masing-masing Tim Pemenangan Nasional juga sudah terbentuk. Di semua kubu berisi barisan ulama, tokoh nasional, purnawiran militer, pensiunan polisi, akademisi, dan organisasi masyarakat maupun pemuda. Semua kubu, selain ayat-ayat konstitusi, juga piawai melafalkan dalil-dalil agama. Semua Calon Presiden maupun Wakil Presiden berkata lantang akan bekerja sungguh-sungguh untuk keadilan, kesejahteraan dan kamajuan seluruh rakyat Indonesia. Begitulah panggung politik kiwari. Penuh drama maupun intrik. 

Tugas saya sebagai wargangera adalah tidak membela buta sekaligus belajar untuk tidak menjelekkan satu sama lain. Cukup Pilpres yang sudah-sudah di Republik ini sebagai pelajaran. Faktanya, di atas para elit berbagi, sedangkan di bawah rakyat berkelahi. Maka, berpolitik secukupnya, berkawan selamanya. Jangan sampai teman lama yang ditemukan oleh Facebook, dipererat oleh Whatsapp, justru dipisahkan oleh Pilpres lima tahun sekali.

***

Malam minggu di angkringan 3 ceret, lokasinya tidak jauh dari rumah dinas Wali Kota Jambi. Tentu saja harganya terjangkau bila dibanding resto bermerk. Suasana beginian mengingatkan semasa saya di Jogja. Angkringan ketika itu menurut saya bukan semata urusan perut, melainkan ruang budaya yaitu tempat segala hal, mulai dari perkara remeh temeh sampai ke hal-hal serius dipercakapkan dengan santai dan penuh canda. Begitu juga relasi yang terbangun antara penjual dengan pembeli tidak berada dalam takaran transaksi yang berlebihan, melainkan saling pengertian sekaligus meneguhkan persaudaraan dengan penuh kegembiraan. Sebuah landskap perjumpaan di wilayah ekonomi-kultural, dimana gaya hidup dan hasrat dirawat-ruwat sehingga tidak menjadi beban hidup di era serba berlari kencang. Nah, saya tidak tahu bagaimana warga memaknai keberadaan angkringan di Kota Jambi kini yang terus tumbuh dan diminati?

***

Topik anak muda (pasca sekolah ke dunia kerja) di kancah perpolitikan nasional belakangan ini ramai dipercakapkan. Ironinya yang memanfaatkan wacana anak muda adalah anak muda elite. Anak muda hanya dipahami sebatas usia, bukan kelas sosial. Tidak heran bila wacana seputar kepemudaan berhenti sebagai kelompok yang mempertahankan status quo, atau dengan kata lain tunduk pada perebutan kekuasaan yang sudah ada, ketimbang bergerak atas dasar "social field", tempat perjuangan atas ketidaksetaraan dalam makna menyeluruh dalam berbangsa dan bernegara.

***

Akhir pekan ini tak ubahnya hari-hari lain. Sedari pagi hingga dinihari bertungkus lumus oleh hal-hal yang secara nomenklatur dilabeli sebagai urusan wajib. Apa itu akhir pekan normal? Atau pertanyaan itu sama sekali tidak lagi berlaku diajukan dalam abad serba tergesa sekarang ini. Sebagai kerani rendahan saya harus bekerja dengan menyisakan ruang untuk berpikir, berkontemplasi dan sekaligus refleksi. Itu sangat saya perlukan agar tidak jatuh dalam kubangan kejumudahan. Dari situ pula barangkali, surplus jawaban yang datang dari pengambil kebijakan sebagai jawaban atas "public reasoning" yang dikehendaki oleh warga perlu mendapat ruang yang sepadan untuk dipikir dan dicakaprenung kembali.

***

Belum lama ini saya dikirim kue dodol dari keluarga di Desa Empelu, sekira 30 Km dari Kabupaten Bungo. Orang di kampungku menyebutnya jadah gedang lantaran proses pembuatannya kerap menggunakan kuali besi berukuran jumbo. Tungku yang digunakan menyesuaikan. Umumnya warga membuat tungku kondisional dengan cara menggali tanah untuk mewadahinya. Di situlah api berkobar dan kayu terbakar usai disiram minyak tanah. Durasi memasaknya hingga layak santap boleh dikata cukup lama, bahkan bisa seharian penuh. Dulu saat masih di bangku sekolah dasar saya kerap membantu orang tua memasaknya di belakang rumah beratapkan perlak.

Seusia saya saat itu memasak kue jadah gedang merupakan peristiwa menggembirakan. Saya melihat dan sekaligus belajar bagaimana orang dewasa mengaduk-ngaduknya menggunakan sendok kayu berukuran besar pula. Selain itu, asap yang kerap mengenai mata kami juga cerita tak terelakkan. Saling berebutan. Ringkasnya makanan atau kue yang diracik, dimasak lalu disantap, juga alat yang dibuat serta digunakan adalah menceritakan pandangan sekaligus sikap hidup sebuah kelompok masyarakat. 

*Catatan Fragmen I sampai VIII dapat diakses berikut ini:

1) Dari Hari Ke Hari: Fragmen VIII

2) Dari Hari Ke Hari: Fragmen VII

3) Dari Hari Ke Hari: Fragmen VI

4) Dari Hari Ke Hari: Fragmen V

5) Dari Hari Ke Hari: Fragmen IV

6) Dari Hari Ke Hari: Fragmen III

7) Dari Hari Ke Hari: Fragmen II

8) Dari Hari Ke Hari: Fragmen I

0 Komentar