ilustrasi. sumber:kompas.id. |
Oleh: Jumardi Putra*
Terhadap buku-buku yang pernah saya baca, tempat-tempat yang
saya kunjungi dan orang-orang yang pernah saya jumpai dan berdialog bersama
mereka, saya berhutang budi dan karenanya saya menaruh hormat sekaligus
berterima kasih. Melalui ruang-ruang demikian itulah, saya berkesempatan
mencatat sekaligus menyerap saripati.
Berikut ini percikan perenungan November 2023, meneruskan edisi sebelumnya (Dari Hari Ke Hari: Fragmen I sampai VIII) yang saya tulis secara singkat sebagai status di aplikasi perpesanan Whatsapp. Mungkin ke depan bisa dikembangkan menjadi tulisan panjang maupun diskusi lebih lanjut.
***
Belakangan ini saya membaca beberapa
skripsi mahasiswa jurusan ilmu politik salah satu kampus di Kota Jambi.
Sependek yang saya cermati umumnya masih berkutat pada pelembagaan partai politik,
pengaruh orang kuat lokal terhadap keterpilihan Caleg dan pemenangan jumlah
kursi terbanyak antar partai. Studi politik tentu tidak melulu soal elektoral,
struktur dan organisasi partai politik serta kampanye pemilu secara periodik.
Lebih dari itu, studi politik juga
menganggit soal pengelolaan masalah publik, aspirasi, tujuan, keyakinan dan
nilai-nilai manusia. Studi politik berkaitan dengan teori dan praktik, dari
nalar elit ken alar publik, keterampilan filosofis dan teknis. Dengan cara itu,
studi politik akan menghadirkan semacam warisan sosial yang mencerahkan publik
lantaran di balik institusi dan proses pemerintahan, terdapat tradisi, teori
dan filsafat yang menyediakan penelitian yang menyangkut realitas politik.
Saya teringat yang dikatakan Th
Sumartana, interfidei: 2001, berikut ini "Wacana politik kita adalah
wacana tentang jawaban. Jawaban yang didesakkan layaknya dogma. Dunia politik
kita adalah dunia yang ribut kata dan kuasa, jauh dari dunia berfikir dan
kontemplasi. Yang tinggal hanyalah aktifisme. Aktifisme agenda seolah-olah
jawaban sudah ada dan kita hafal dengan jawaban dan tidak peduli dengan
pertanyaan".
Jambi membutuhkan sarjana politik
yang tekun menelaah secara ekstensif semua masalah dalam bidang teori maupun
praktik politik, dan dari mereka publik mengambil banyak manfaat.
***
Sependek yang saya amati melalui Tiktok, grup Whatsapp dan media sosial, dalam kasus perang
Israel-Palestina, penceramah agama di tanah air seolah fasih mengetengahkan
data sejarah yang melatari konflik berkepanjangan kedua negara berseteru itu,
selain tentu saja tidak lepas dari klaim teologis yang mereka yakini. Segera
muncul pertanyaan, di mana keberadaan sejarahwan di kampus-kampus? Mana suara
akademiknya? Atau jangan-jangan tak ubahnya kalangan awam, kebingungan dirundung
informasi berlimpah sehingga makin jauh dari narasi-narasi yang semestinya
dapat menjelaskan duduk perkara di balik pertikaian berkepanjangan itu.
Dalam banyak konflik yang sulit selesai, itu bisa jadi karena suara bising dari mereka yang tidak paham masalah memenuhi ruang-ruang percakapan hari-hari. Hal itu makin menjadi-jadi karena mereka seolah mendapat pembenaran hanya berlandaskan sentimen primordial dan keagamaan.
***
Mengamati praktik politik kiwari elit di negeri ini, mengingatkan saya pada Thomas Hobbes yang melukiskan kekuasan yang begitu besar dengan sebutan "Leviathan." Hanya saja, dewasa ini wujud praktik leviathan tersebut tidak tampil bak otoritarianisme Orde Baru, tetapi datang dengan wajahnya yang baru dalam lanskap demokrasi prosedural. Waspada.
***
Nomor urut Capres-Cawapres sudah diumumkan. Masing-masing Tim
Pemenangan Nasional juga sudah terbentuk. Di semua kubu berisi barisan ulama, tokoh
nasional, purnawiran militer, pensiunan polisi, akademisi, dan organisasi
masyarakat maupun pemuda. Semua kubu, selain ayat-ayat konstitusi, juga piawai
melafalkan dalil-dalil agama. Semua Calon Presiden maupun Wakil Presiden berkata
lantang akan bekerja sungguh-sungguh untuk keadilan, kesejahteraan dan kamajuan
seluruh rakyat Indonesia. Begitulah panggung politik kiwari. Penuh drama maupun intrik.
Tugas saya sebagai wargangera adalah tidak membela buta sekaligus belajar untuk tidak menjelekkan satu sama lain. Cukup Pilpres yang sudah-sudah di Republik ini sebagai pelajaran. Faktanya, di atas para elit berbagi, sedangkan di bawah rakyat berkelahi. Maka, berpolitik secukupnya, berkawan selamanya. Jangan sampai teman lama yang ditemukan oleh Facebook, dipererat oleh Whatsapp, justru dipisahkan oleh Pilpres lima tahun sekali.
***
Malam minggu di angkringan 3 ceret, lokasinya tidak jauh
dari rumah dinas Wali Kota Jambi. Tentu saja harganya terjangkau bila dibanding
resto bermerk. Suasana beginian mengingatkan semasa saya di Jogja. Angkringan
ketika itu menurut saya bukan semata urusan perut, melainkan ruang budaya yaitu
tempat segala hal, mulai dari perkara remeh temeh sampai ke hal-hal serius
dipercakapkan dengan santai dan penuh canda. Begitu juga relasi yang terbangun
antara penjual dengan pembeli tidak berada dalam takaran transaksi yang
berlebihan, melainkan saling pengertian sekaligus meneguhkan persaudaraan
dengan penuh kegembiraan. Sebuah landskap perjumpaan di wilayah
ekonomi-kultural, dimana gaya hidup dan hasrat dirawat-ruwat sehingga tidak
menjadi beban hidup di era serba berlari kencang. Nah, saya tidak tahu
bagaimana warga memaknai keberadaan angkringan di Kota Jambi kini yang terus
tumbuh dan diminati?
***
Topik anak muda (pasca sekolah
ke dunia kerja) di kancah perpolitikan nasional belakangan ini ramai
dipercakapkan. Ironinya yang memanfaatkan wacana anak muda adalah anak muda
elite. Anak muda hanya dipahami sebatas usia, bukan kelas sosial. Tidak heran
bila wacana seputar kepemudaan berhenti sebagai kelompok yang mempertahankan status quo, atau dengan kata lain tunduk
pada perebutan kekuasaan yang sudah ada, ketimbang bergerak atas dasar
"social field", tempat perjuangan atas ketidaksetaraan dalam makna
menyeluruh dalam berbangsa dan bernegara.
***
Akhir pekan ini tak ubahnya hari-hari lain. Sedari pagi hingga dinihari bertungkus lumus oleh hal-hal yang secara nomenklatur dilabeli sebagai urusan wajib. Apa itu akhir pekan normal? Atau pertanyaan itu sama sekali tidak lagi berlaku diajukan dalam abad serba tergesa sekarang ini. Sebagai kerani rendahan saya harus bekerja dengan menyisakan ruang untuk berpikir, berkontemplasi dan sekaligus refleksi. Itu sangat saya perlukan agar tidak jatuh dalam kubangan kejumudahan. Dari situ pula barangkali, surplus jawaban yang datang dari pengambil kebijakan sebagai jawaban atas "public reasoning" yang dikehendaki oleh warga perlu mendapat ruang yang sepadan untuk dipikir dan dicakaprenung kembali.
***
Belum lama ini saya dikirim kue dodol dari keluarga di Desa
Empelu, sekira 30 Km dari Kabupaten Bungo. Orang di kampungku menyebutnya jadah
gedang lantaran proses pembuatannya kerap menggunakan kuali besi berukuran
jumbo. Tungku yang digunakan menyesuaikan. Umumnya warga membuat tungku
kondisional dengan cara menggali tanah untuk mewadahinya. Di situlah api
berkobar dan kayu terbakar usai disiram minyak tanah. Durasi memasaknya hingga
layak santap boleh dikata cukup lama, bahkan bisa seharian penuh. Dulu saat
masih di bangku sekolah dasar saya kerap membantu orang tua memasaknya di
belakang rumah beratapkan perlak.
Seusia saya saat itu memasak kue jadah gedang merupakan peristiwa menggembirakan. Saya melihat dan sekaligus belajar bagaimana orang dewasa mengaduk-ngaduknya menggunakan sendok kayu berukuran besar pula. Selain itu, asap yang kerap mengenai mata kami juga cerita tak terelakkan. Saling berebutan. Ringkasnya makanan atau kue yang diracik, dimasak lalu disantap, juga alat yang dibuat serta digunakan adalah menceritakan pandangan sekaligus sikap hidup sebuah kelompok masyarakat.
*Catatan Fragmen I sampai VIII dapat diakses berikut ini:
1) Dari Hari Ke Hari: Fragmen VIII
2) Dari Hari Ke Hari: Fragmen VII
3) Dari Hari Ke Hari: Fragmen VI
4) Dari Hari Ke Hari: Fragmen V
5) Dari Hari Ke Hari: Fragmen IV
6) Dari Hari Ke Hari: Fragmen III
0 Komentar