Oleh: Jumardi Putra*
Berawal dari sebuah percakapan
dengan beberapa mahasiswa jurusan ilmu politik di salah satu kampus di Kota
Jambi. Mereka begitu antusias mengomentari dinamika seputar Pilpres, meski
masih Februari tahun depan. Umumnya obrolan mereka berangkat dari berita atau
informasi yang lagi viral di tiktok dan media sosial seperti facebook dan twitter. Namanya juga politik sehingga merembet ke isu lainnya
seperti ekonomi, hukum, kesehatan, pendidikan dan sabagainya.
Bukan percakapannya itu yang
menjadi pangkal masalah, tapi kecepatan mereka mengomentari dan membagikan berita
politik di tanah air yang relatif sumir dan berbau konspiratif. Kecermatan disertai
kesabaran untuk mengecek kebenarannya menjadi pekerjaan yang tidak mudah di tengah
surplus informasi sekarang ini.
Saya berusaha memancing
obrolan menukik lebih dalam, tapi nyatanya mereka kesulitan karena keterbatasan
sumber literatur yang mereka kuasai sehingga obrolan kerap patah di
tengah jalan. Percakapan pun berujung tidak tentu arah, dan bahkan acapkali dilumuri
sumpah serapah. Tetiba saya teringat kawan-kawan saya di kampus terdahulu berseloroh, Kuliah ora tahu melebu, demo ara tahu melu, ngomong ora tahu mutu (Kuliah gak masuk, demonstrasi gak ikut, dan berbicara gak bermutu).
Keadaan demikian itu bisa jadi menunjukkan menurunnya minat mahasiswa/i membaca buku-buku serius (kalau bukan bermutu) baik
dalam bentuk fisik atau buku elektronik yang terserak di internet. Faktanya media
jejaring seperti tiktok dan aplikasi
sejenisnya (dengan wataknya yang cepat dan singkat) membuat mereka terlena
sehingga abai mencari informasi lanjutan sekaligus pembanding untuk mendapatkan
kemungkinan-kemungkinan perspektif yang tajam sebagai bekal mempercakapkan
isu-isu kepublikan, salah satunya perihal politik kiwari.
Studi-studi politik di tanah
air boleh dikata sudah memadai dan beragam, tapi itu tidak lantas dijadikan pijakan
oleh mereka yang notabene sedang atau sudah menamati bangku kuliah saat membicarakan
situasi politik atau wacana lainnya. Dalam percakapan asumsi begitu merajai
ketimbang memunculkan hipotesa yang berasal dari pikiran kritis disertai dengan
membaca literatur yang relevan di tengah akses yang sedemikian mudah sekarang,
sesuatu yang dulunya, jauh sebelum era internet datang adalah persoalan bagi kebanyakan
kita. Terkadang otokritik Rocky Gerung ada benarnya bahwa ijazah hanya menandakan
seseorang pernah kuliah, tapi tidak menunjukkan orang itu bisa berpikir.
Menurunnya tradisi membaca buku-buku
serius bisa juga karena kealfaan (kalau bukan kegagalan) perguruan tinggi,
pusat studi dan lembaga-lembaga non pemerintah lainnya yang bergerak di ranah
pengkajian/penelitian di Jambi, yang gagal merawat komunitas epistemik, sebuah
habitus akademik yang menjadikan riset dan diskursus sebagai salah satu jalan
untuk mendedah pelbagai problematika di tanah air.
Selain dua
hal di atas itu, fenomena yang disebutkan oleh Agus Suwigno dalam artikelnya
di Kompas, 30 Oktober 2017, berjudul Kosongnya Kampus Kita. Ia menyebut perguruan
tinggi di Indonesia belakangan ini kosong karena eksodus dosen-dosen dalam tiga
gelombang.
Pertama, dosen-dosen bereksodus dari profesi kedosenan. Banyak dosen berpindah menjadi pengurus partai politik atau pejabat pada birokrasi pemerintah. Meskipun ada banyak dosen cum politisi-birokrat itu akhirnya berlabuh di penjara karena korupsi, sertifikasi, hasrat untuk hijrah ke pusaran kekuasaan terus meluas. Hemat saya dalam wujudnya yang kekinian, eksodus itu juga merambah ke dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum, sebut saja menjadi tim seleksi komisioner KPU dan Bawaslu baik di level pusat maupun daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota).
Kedua, eksodus dosen dari niat
dan orientasi kehidupan intelektual. Sebagian dosen yang tetap di kampus
umumnya tak lagi berniat menjadi intelektual, tetapi pejabat struktural kampus.
Orientasinya bukan lagi karya penelitian, publikasi ilmiah, dan pelayanan
bermutu kepada mahasiswa, melainkan posisi manajerial.
Ketiga, eksodus dosen dari
profil dan watak kecendekiawan. Mereka umumnya semakin tidak menunjukkan
gereget kerja akademik yang menginspirasi. Sebagian menjalani profesi kedosenan
sebagai business as usual dengan menjadikan
tuntutan administratif karier (kepangkatan, sertifikasi, lembar kinerja) sebagai
acuan produktivitas tertinggi satu-satunya. Puncak dari ketiga gelombang
eksodus tersebut membuat perguruan tinggi makin menjauh dari tugas dan fungsi utamanya.
Tak syak, kampus-kampus kita mengalami deligitamasi sebagai sumber terang
kebajikan.
Kembali ke awal. Saya teringat Ngotabuku Community beberapa tahun lalu di Kota Jambi tahun 2014. Ia
adalah forum bincang buku rutin yang digelar oleh beberapa anak muda di Jambi,
gabungan dari mahasiswa, jurnalis dan dosen-dosen muda. Forum itu bebas diikuti
siapa saja dan tanpa undangan resmi. Buku-buku yang diperbincangkan menyentuh
banyak disiplin ilmu, sebut saja filsafat, ekonomi, politik, sastra dan hukum.
Syarat keikutsertaan dalam
forum buku itu tidaklah rumit. Cukup datang ke Let's Rock Café, di Jalan Prof. H.
M. Amin, tempat yang disepakati berkumpul dengan membawa kepala terisi bahan
bacaan yang memadai. Forum itu dibuat terbuka dan siapa saja dipersilakan
mengusulkan buku yang akan dibincangkan sekaligus pemantiknya.
Beberapa buku yang sempat dibedah, antara lain Filsafat Politik karya Henry J. Schmandt, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas karya Aimee Dawis, Demokrasi La Raiba Fih karya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Ibunda karya Maxim Gorki, Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, World Without Islam karya Graham E. Fuller, Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo, Trilogi Darah Emas karya Meiliana K. Tansri, Kebebasan, Negara dan Pembangunan karya Arief Budiman, Menuju Manusia Merdeka karya Ki Hadjar Dewantara, Manusia Indonesia karya Mochtar Loebis, Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari, Catatan Seorang Demonstran karya Soe-Hok Gie, Madilog karya Tan Malaka, dan Animal Farm karya George Orwell.
Ngotabuku, sebagaimana cerita banyak komunitas buku lainnya di tanah air berakhir gugur. Namun tidak perlu berkecil hati karena terus tumbuh pelbagai komunitas literasi di Jambi. Hanya saja komunitas literasi yang dimaksud adalah komunitas yang membangun tradisi critical thinking. Nah, dalam konteks itu hemat saya di Jambi masih kurang.
*Kota Jambi, 12 November 2023. Sumber ilustrasi Kompas.id/Supriyanto
0 Komentar