ilustrasi. sumber: radioidola.com |
Oleh: Jumardi Putra*
Di belahan negara manapun di bumi ini niscaya setiap warganya
membutuhkan uang. Bahkan lebih dari itu, sebagaimana dikatakan Voltaire
(1694-1778), seorang penulis dan pilusuf Perancis, “Quand il s’agit d’argent,
tout le monde est de la même religion” (Kalau soal uang, semua orang menganut agama
yang sama). Itu artinya, uang nyaris begitu digdaya keberadaannya dalam
perjalanan umat manusia terutama sejak sistem barter yang sudah digunakan
berabad-abad sebelumnya resmi berganti.
Secara empiris, uang diterima secara umum oleh masyarakat
untuk mengukur nilai, menukar, dan melakukan pembayaran atas pembelian barang
dan jasa, sehingga tidak bisa diabaikan begitu saja. Tidak terkecuali, ketika
ia menjelma politik uang, praktik yang kemudian disebut bagian dari korupsi
politik.
Dalam pesta demokrasi berlandaskan suara terbanyak, kesemestian
ongkos politik berbiaya tinggi tercermin dalam joke keseharian antar warga yaitu “Iso diatur, nomor piro wani piro” (bisa
diatur, nomor berapa, berani bayar berapa?) atau “menerima serangan fajar, lengkap dengan
tarif”. Situasi itu makin menjadi-jadi di tengah jamaknya partai politik serta “saling
sikut” antar calon anggota legislatif dengan beragam latar belakang maupun
modus- sehingga sulit dari mereka menanggalkan biaya –yang masa kini di
Indonesia disebut “jual-beli suara”.
Saya memahami kenapa Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
senantiasa mengingatkan masyarakat untuk melapor jika menemukan praktik politik
uang. Begitu juga pelbagai kelompok sipil menghimbau semua pihak agar menolak
politik uang. Bahkan, lembaga anti rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik
Indonesia juga mewanti-wanti kepada seluruh parpol maupun kandidat agar tidak
melakukan praktik politik uang.
Ajakan kepada semua pihak itu sudah tepat, tapi pangkal
masalahnya bukan semata di situ. Faktanya, relasi masyarakat dengan partai
politik maupun kandidat bukan sepenuhnya karena visi, misi dan program
prioritas yang ditawarkan saat musim pemilu. Sulit menyangkal bahwa parpol
dikenal oleh sebagian besar masyarakat justru dari jarak yang berjauhan, lantaran
sudah lama pula parpol gagal menjadikan rakyat sebagai tuannya-maka jargon atau
semboyan parpol mengabdi untuk masyarakat, galibnya bergema jelang pemilu, 5
tahun sekali, berlalu bagai angin. Dengan kata lain, realitas itu menjadi penanda
betapa parpol sebagai instrumen demokrasi untuk memilih kandidat anggota
legislatif belum sepenuhnya berhasil membangun hubungan intim dengan masyarakat
yang diwakilinya. Tak syak, dari situ partai politik atau kandidat dalam setiap
pemilu berupaya setengah mati “mengakrabkan diri” kepada masyarakat, selain
secara resmi melalui jalur kampanye, juga bagi-bagi uang maupun dalam bentuk
seserahan lainnya.
Puncaknya, proses demikian itu cukup signifikan memengaruhi
hasil kampanye pemilu guna menyampaikan visi misi partai, serta program kerja
kandidat untuk memengaruhi konstituen. Saya teringat hukum timbal-balik, “siapa
yang membeli dialah yang punya uang, siapa yang menjual dialah yang membutuhkan
uang”. Segera muncul pertanyaan, siapkah dia yang membeli suara? Jawabannya
tidak bisa serba hitam putih.
Jalan pintas itu sulit terelakkan di saat proses
rekrutmen dan pengkaderan anggota partai politik mandeg (kalau bukan stag),
kecuali menunggu musim pemilu tiba. Imbasnya tidak sedikit kader partai politik
yang mumpuni secara pengetahuan dan pengalaman serta memiliki riwayat membesarkan
organisasi Parpol dimulai dari bawah, harus rela mundur secara teratur
dibanding kandidat pendatang baru hanya karena kalah modal maupun tersebab
relasi-kuasa lainnya. Di situ lah praktik demokrasi menyuguhkan sisi buramnya.
Dalam kondisi masyarakat sulit mengelak politik uang
sekaligus syahwat kekuasaan kandidat yang menggebu-gebu agar dipilih, saya
teringat cibiran penulis Albert Camus, "Salah satu jenis keangkuhan
spiritual adalah saat orang berpikir bahwa mereka bisa bahagia tanpa
uang." Dari situ, sulit berharap akan ada warga masyarakat yang menerima
hasil politik uang datang ke instansi berwenang mengaku telah menerima sejumlah
uang dari kandidat tertentu- itu tak lain bagai mimpi di siang bolong.
Dilema terhadap masyarakat yang distigma sebagai pihak yang
“menjual” suara, sedangkan saat yang sama ada kandidat yang bernafsu “membeli”
suara, maka itu perlu dicermati secara kritis. Seraya hal itu, niscaya bagi kaum
cerdik-cendekia bersama komponen masyarakat sipil lainnya untuk mengingatkan seluruh
calon anggota legislatif baik DPR-RI maupun DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota agar bersungguh-sungguh
memperjuangkan hajat hidup rakyat saat duduk di parlemen. Jangan justru
berujung sebaliknya, seperti tercermin dalam meme berikut ini, "DPR medot
janji, sumpahmu palsu koyo mantanku” (DPR ingkar janji, sumpahmu palsu seperti
mantanku).
Dalam demokrasi, kedudukan ontologi warganegara lebih tinggi
dari keanggotaan partai politik. Tidak ada demokrasi tanpa warganegara, tetapi
politik dapat terus berjalan tanpa partai politik. Secara filosofis politik
tidak boleh terbagi habis dalam electoral
politics. Dengan kata lain, jangan sampai politik refresentasi (perwakilan)
berdasarkan “suara terbanyak” melalui pemilu menghilangkan prinsip dasar
demokrasi yaitu keutamaan warganegara. Ironinya, politik uang dalam setiap
pemilu telah menodai prinsip primer demokrasi itu sendiri. Maka, dengan
sepenuh-penuhnya keyakinan mari kita katakan tidak pada politik uang.
*Tulisan ini terbit pertama kali pada 7 Desember 2023 di portal jamberita.com
*Tulisan-tulisan saya lainnya:
1) Berpolitik Secukupnya, Berkawan Selamanya
2) Pilpres 2024: Maklumat Kebudayaan
3) Suatu Pagi Setelah 25 Tahun Reformasi
4) Sihir Rocky Gerung dan Paradoks Masyarakat Digital
5) Senyum Caleg Kegembiraan Kita Semua
6) Pohon-Pohon di Balik Pesta Demokrasi
7) Politik Identitas dan Sampah Politik
8) NU Jambi, Politik Kekuasaan dan Kemaslahatan Umat
9) May Day, Unjuk Rasa dan Protes Dengan Humor
10) Negeri Ini Tidak Kekurangan Calon Presiden, Tapi
11) Lisanul Hal, Kisah Teladan Kepemimpinan
0 Komentar