banjir di Sungai Penuh. sumber foto: tribunjambi |
Oleh: Jumardi Putra*
Hati
siapa yang tidak dibuat masygul, memasuki penghujung 2023 dan memulai 2024, mendapati
banyak keluarga dan handai tolan di beberapa daerah di wilayah Provinsi Jambi dilanda
musibah banjir dan tanah longsor. Makin ke sini bencana hidrometeorologi itu
menjadi sesuatu yang sering kita alami.
Tak
syak, di saat sebagian besar dari kita merayakan momen pergantian tahun,
termasuk menyambut perayaan HUT Provinsi Jambi ke 67 pada 6 Januari 2024,
ribuan warga di Kabupaten Bungo, Tebo, Merangin, Kerinci dan Kota Sungai Penuh
harus mengungsi lantaran tempat tinggal mereka terendam banjir. Begitu juga
infrastruktur fisik seperti jembatan ambruk sehingga mobilitas warga maupun
distribusi komoditi hasil pertanian terhambat. Dalam situasi itu, mesin
birokrasi belum bisa bekerja cepat menanggulangi. Paradoksnya di grup Whatsapp dan media sosial lainnya
sebagian besar nitizen masih gontok-gontokan seputar copras-capres.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) Provinsi Jambi melaporkan cuaca ekstrem masih akan melanda wilayah Barat
Provinsi Jambi, tak terkecuali Kota Jambi. Namun, sulit dimungkiri selain curah
hujan yang tinggi, juga lantaran krisis ekosistem alam dan lingkungan yang
terjadi, sebut saja seperti pendangkalan sungai akibat endapan sedimen, alih fungsi di kanan-kiri badan sungai, galian
C, penebangan pohon dan penambangan emas liar, dan kerusakan hutan di wilayah
hulu.
Rusaknya tutupan hutan dan ekosistem
sungai menyebabkan daerah, untuk menyebut contoh di dataran tinggi dan lereng
seperti Kerinci dan Sungai Penuh berkonsekuensi munculnya bencana ekologi. Jelas
itu ancaman yang bakal menghantui warga, terutama saat musim hujan.
Di tengah perubahan iklim global, pemerintah
selaku pemangku kebijakan harus melihat bencana yang melanda sebagian besar
wilayah di Provinsi Jambi akibat dari kerusakan lingkungan yang semakin masif,
seperti deforestasi dan aktivitas industri maupun ulah oknum warga masyarakat
yang abai memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan hidup.
Saya mengapresiasi
Gubernur Jambi bersama pemerintah daerah, unsur TNI-Polri dan pelbagai elemen
masyarakat yang turun langsung membantu proses evakuasi warga terdampak banjir
dan longsor. Selain memberi bantuan sosial, juga memastikan penyediaan
infrastruktur fisik alternatif agar warga terhindar dari stagnasi. Aksi jangka
pendek sekarang mesti berlanjut pada penyusunan kebijakan skala prioritas ke
depan, terutama kolaborasi antara pemerintah Provinsi Jambi dengan pemerintah
Kabupaten/Kota untuk memastikan hulu dari penyebab bencana bisa teratasi, atau
setidaknya meminimalisir.
Termasuk
Pemerintah Pusat menjadi pihak utama, lantaran bersinggungan dengan kewenangan tatakelola
sumber daya alam sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan dan pertanian, dimana
keberlanjutan alam dan lingkungan menjadi prasyarat utama yang mesti
diperhatikan sebelum pemberian izin atau perpanjangan kontrak pelbagai aktiviitas
ekonomi ekstraktif di daerah-daerah penghasil SDA seperti migas, tambang batu
bara dan sawit. Dengan kata lain, saat hutan tidak lagi semata urusan alam dan
lingkungan, tapi telah menjadi urusan ekonomi, politik dan bisnis global, maka keberadaan
manusia selalu berada dalam keterancaman. Fatalnya, tidak saja frekuensi banjir
yang meningkat dalam setahun, tapi juga wilayah Desa terdampak bencana yang
terus bertambah.
Kenapa hal itu bisa terjadi?
Sebagian besar kerusakan tersebut berada di kawasan resapan air daerah aliran
sungai (DAS) Batanghari, mulai dari kawasan hulu, Kabupaten Kerinci hingga
hilir, Kabupaten Tanjungjabung Timur.
Seturut
hal itu, sikap manunggaling kawula bumi
(untuk menyebut hubungan intim antara manusia dan alam) yang mengakar kuat
dalam kearifan tradisional masyarakat di wilayah Provinsi Jambi selama beratus
tahun secara perlahan-lahan digantikan dengan modernitas (sebagai agama dan
spiritualitas baru), yang justru membuat hutan yang rimbun, bentangan alam nan
asri, serta riak air yang mengalirkan kejernihan tak ubahnya lagu usang yang
diputar berulang-ulang sehingga membuat sebagian besar dari kita lupa akan
kenyataanya kini. Jika pun ia dipercakapkan, entah itu di forum resmi atau
sebaliknya, hanya menjadi propaganda pemerintah yang berkolaborasi dengan
kelompok pemodal (investor) dengan mengatasnamakan menggenjot pertumbuhan
ekonomi.
Sulit menyangkal, geliat
ekonomi ekstraktif di Jambi turut memicu kerusakan lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
memperkirakan area hutan yang sudah dirambah atau rusak di wilayah Jambi
luasnya mencapai 1,26 juta hektare atau sekitar 60 persen dari luas seluruh
kawasan hutan di Provinsi Jambi (antaranesw.com, 31/5/22). Hasil analisis
terkini KKI WARSI merujuk citra satelit sentinel 2 dipadukan pengamatan
dari google earth, citra spot 6, dan SAS
Planet menunjukkan sepanjang tahun 2023 terjadi pembukaan hutan dan lahan besar-besaran
di Jambi yaitu areal terbuka terpantau seluas 160.105 ha di berbagai fungsi
kawasan. Terbesar berada di Areal Penggunaan Lain (APL) dengan luas 51.904 ha,
disusul di areal restorasi seluas 41.116 ha, dan Hutan Tanaman Industri (HTI)
seluas 16.255 ha. Pembukaan hutan juga terpantau di kawasan Taman Nasional
seluas 13.097 ha, dan Hutan Lindung seluas 1.725 ha (jamberita.com, 4/1/24).
Di usia Provinsi Jambi ke 67 kini, ibarat
diri (subjek) adalah usia yang telah melewati perjalanan yang panjang, lengkap
dengan segala macam ujian dan rintangan. Saya teringat buku yang ditulis Djamaluddin
Tambunan, Gubernur Jambi periode 1974-1979 berjudul Jambi Yang Menanti Jamahan.
Masa itu boleh dikata bersamaan dengan upaya serius rezim pembangunisme Orde
Baru yaitu lingkungan atau sumber daya alam ditarik masuk lebih jauh ke dalam
agenda ekonomi politik global. Tak pelak, Jambi pada masa itu berada di
persimpangan jalan pembangunan sehingga memerlukan terobosan program dan
kegiatan yang dapat mendorong percepatan pembanguan daerah.
Dalam kaca mata Djamaluddin Tambunan, karet
sebagai penghasilan utama masyarakat Provinsi Jambi saat itu berada dalam
keadaan sulit akibat kecenderungan merosotnya harga di pasaran sejak 1950-an. Selain
itu, juga dibarengi semakin buruknya kultur ranah perkebunan dan semakin
kompleksnya tata niaga hasil hutan maupun perkebunan. Itu kenapa penanaman
modal dan kehadiran Bank Dunia, misalnya pada program PELITA di daerah-daerah
di tanah air terus digenjot. Termasuk Jambi merupakan daerah yang menjadi
lapangan pelaksanaan program pemerintah pusat ketika itu.
Waktu terus berjalan, Gubernur Jambi telah
berganti berkali-kali hingga kini dipimpin Al-Haris. Hemat saya, Jamahan yang
Dinanti, yang dimaksud oleh Djamaluddin Tambunan itu, kini dalam praktiknya menunjukkan
anomali. Berdasarkan data yang diolah tim GIS
KKI Warsi, dalam kurun waktu 50 tahun Jambi telah kehilangan hutan sebanyak
lebih dari 2,5 juta ha. Pada tahun 1973, tutupan Hutan Jambi masih tercatat 3,4
juta ha. Walakin, pada 2023 hanya tinggal 922.891 ha, atau kehilangan 73 persen.
Meski diakui Warsi ada tren perbaikan dan penambahan kawasan hutan sejak 2021, tetapi
itu belum mampu mengembalikan daya dukung hutan bagi keseimbangan ekosistem
alam dan lingkungan.
Memang, investasi mesti digenjot untuk percepatan
pembangunan infrastruktur pelayanan publik, sejalan beban yang ditimbulkan akibat
jumlah populasi warga yang meningkat serta ekosistem perekonomian daerah yang
terus berkembang, tidak terkecuali pendapatan yang bersumber dari sumber daya
alam. Namun pangkal masalahnya adalah, sebagaimana jamak terjadi di
daerah-daerah lain di tanah air, yaitu optimalisasi target penerimaan negara
yang bersumber dari eksploitasi atas kekayaan sumber daya alam, acapkali
mendatangkan ekses, terutama kerusakan bagi alam di daerah-daerah penghasil.
Maka, pembangunan Provinsi Jambi yang
berkualitas yaitu adil bagi masyarakat di seantero Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah serta berkelanjutan secara
lingkungan merupakan isu krusial yang perlu dicakap-renung kembali agar tidak
menjadi perencanaan pembangunan daerah, yang dalam praktiknya justru
mendatangkan bencana ekologi tidak berkesudahan. Lebih esensial dari itu, masing-masing
kita perlu membayangkan bumi macam apa yang akan ditinggalkan kepada anak cucu
kelak.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik artikel portal jamberita.com pada 4 Januari 2024.
0 Komentar