ilsutrasi. aktivitas tambang batu bara. sumber: id.pngtree.com |
Oleh Jumardi Putra*
Dua hari lepas, dalam sebuah perjalanan, saya mendapati berita maupun
video dengan pelbagai durasi seputar unjuk rasa atau demonstrasi komunitas
sopir truk batu bara, seiring pelarangan pengangkutan batu bara memakai jalan umum
sedari mulut tambang sampai pelabuhan oleh Gubernur Jambi, Al Haris, terhitung
sejak 1 Januari 2024. Puncaknya, unjuk rasa yang berlangsung di laman kantor
Gubernur Jambi itu berakhir ricuh dan terjadi pengrusakan terhadap fasilitas
kantor. Biro Umum SETDA Provinsi Jambi, sebagaimana dilansir pelbagai media,
menyebutkan kerugian yang ditimbulkan akibat pengurasakan tersebut ditaksir
senilai 500 juta.
Tak pelak, banyak pihak mengecam aksi pengrusakan itu, mulai dari
pejabat teras pemerintah Provinsi Jambi, akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan
tentu saja warganet. Bahkan, pihak Pemprov Jambi secara resmi telah melaporkan
kejadian itu ke pihak kepolisian. Dari peristiwa itu saya mencermati baik pada
judul maupun isi berita yang merujuk komentar responden atau narasumber perihal
aksi pengrusakan fasilitas kantor itu disebut sebagai tindakan anarki. Bahkan,
tumpang tindih pemakaiannya dengan istilah anarkis dan anarkisme dalam waktu
bersamaan.
Istilah anarki, anarkis, hingga anarkisme, acapkali terdengar merujuk
gelombang demonstrasi di pelbagai daerah di tanah air, terutama pada isu-isu
besar yang berujung pada kericuhan dan pengrusakan atas fasilitas umum. Pangkal
masalahnya, di luar soal polemik angkutan batubara, yaitu banyak pihak, baik
itu kalangan jurnalis, media, terutama para pejabat pemerintahan maupun aparat,
bahkan akademisi secara serampangan memakai istilah-istilah itu tanpa memahami
makna sesungguhnya. Distorsi demikian itu bisa jadi karena
minimnya literatur yang ada, baik mengenai sejarah, pemikiran filsafat maupun
kajiannya dalam berbagai aliran filsafat dan pemikiran-pemikiran ilmu sosial.
Harusnya, tindakan rusuh dan merusak itu lebih tepat disebut aksi
vandalisme, dan orang yang melakukannya disebut dengan vandal, sedangkan bentuk
aksi atau tindakannya disebut dengan vandalis (adjektiva/kata sifat).
Sedangkan anarki, anarkis, hingga anarkisme, tidak berkaitan sama sekali
dengan itu. Berselang tidak lama usai meluasnya pemberitaan seputar demontrasi
itu, saya membaca kembali buku berjudul 'ABC Anarkisme' karya intelektual dan
aktivis militan Alexander Berkman. Di situ disebutkan bahwa anarkisme
mengajarkan bahwa kita dapat hidup di dalam sebuah masyarakat di mana tidak ada
pemaksaan macam apapun juga. Itu kenapa sejarah anarkisme mempunyai
pertautan erat dengan gagasan sosialisme, baik dalam cita-cita politik maupun
komitmennya terhadap kalangan tertindas. Salah satu buku yang menjelaskan
pertautan antar keduanya yaitu Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan
karya Seán M. Sheehan (Marjin Kiri, 2007, 2014), terjemahan dari buku aslinya
berjudul Anarchism by Seán M. Sheehan,
diterbitkan pertama kali oleh Reaktion Books, London, UK, 2003.
Dalam definisi paling umum, anarkisme adalah filsafat politik yang
bertujuan menciptakan masyarakat tanpa hierarki sosial, politik, dan ekonomi;
sebuah sistem ekonomi dan politik yang bersandar pada gagasan peniadaan
struktur-struktur yang menindas dan eksploitatif dalam masyarakat (seperti
kapitalisme dan negara), dan pembangunan masyarakat di mana semua warga
memiliki keterlibatan yang sederajat dalam membuat keputusan yang dapat
mempengaruhi kehidupan mereka.
Pierre-Joseph Proudhon, sosialis berkebangsaan Prancis, yang
disebut-sebut sebagai pencetus istilah anarki, dalam bukunya berjudul 'What is
Property' (halaman 264), menyebut bahwa anarkisme adalah teori politik yang
bertujuan untuk menciptakan anarki, ketiadaan tuan, tanpa raja yang berkuasa.
Dengan kata lain, anarkisme melawan semua bentuk kontrol hierarkis, baik oleh
negara maupun kapitalis, sebab hierarki dianggap merugikan individu dan
individualitas seseorang.
Secara etimologis, anarki berasal dari bahasa Yunani, yakni awalan 'an'
(atau a) yang berarti 'tidak', 'ingin akan', 'ketiadaan', atau 'kekurangan';
dan 'archos' yang berarti 'suatu peraturan', 'pemimpin', 'kepala', 'penguasa',
atau 'kekuasaan'. Artinya, anarki berarti 'tanpa suatu peraturan' atau 'tanpa
kekuasaan', dan dalam pemahaman inilah kaum anarkis memakai istilah 'anarki' (Kropotkin‟s
Revolutionary Pamphlets, hal 284).
Aksi sopir batu bara di Jambi. sumber: kompas.com |
Jika anarki merujuk kepada keadaan tanpa pemerintahan, tanpa hierarki,
dan anarkisme merupakan teori atau ajaran mengenai hal itu, maka anarkis adalah
orang yang menganut paham atau ajaran itu. Begitu juga bila merujuk Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu kata anarki sama sekali tidak menyebutkan
tindakan atau aksi demonstrasi yang berujung pada pengrusakan fasilitas kantor
atau fasilitas umum.
Dengan demikian, salah kaprah penggunaan istilah anarki, anarkis, dan
bahkan anarkisme, untuk menyebutkan unjuk rasa yang berujung pada pengrusakan
fasilitas kantor Gubernur Jambi itu, selain tidak tepat juga berkonsekuensi
pada pengaburan terhadap maksud di balik demonstrasi itu sendiri. Sejatinya,
aksi demonstrasi itu perlu dilihat secara utuh, mengingat persoalan hulu-hilir
tambang batu bara di Provinsi Jambi tidak hanya bertitimangsa seputar membuka
kran investasi seluas-seluasnya, tapi juga memastikan keberlanjutan alam dan
lingkungan serta keselamatan manusia dalam pelbagai aspek kehidupan terutama
terhadap ekses yang ditimbulkannya.
Tersebab para sopir truk batu bara adalah juga bagian dari warga
masyarakat Provinsi Jambi, maka tugas Gubernur Jambi mencarikan jalan keluar
terbaik. Apa sebab? Meningkatnya jumlah kendaraan sekaligus ketergantungan para
sopir truk batu bara itu tidak terlepas dari sejak diperbolehkannya pemakaian
jalan umum dari mulut tambang hingga pelabuhan selama ini. Seraya hal itu,
mengalihkan sepenuhnya mobilitas angkutan batubara melalui jalur sungai juga
bukan berarti bisa menyelesaikan permasalahan, karena jelas berisiko bagi
keberlanjutan ekosistem sungai itu sendiri.
Maka, yang tidak kalah penting yaitu di sisa kurang dari setahun
kepemimpinannya, Gubernur Jambi Al Haris masih memiliki pekerjaan rumah yaitu
memastikan pelaksanaan amanat dari Pasal 91 Ayat (1) serta penjelasan dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara bahwa Pemegang IUP dan
IUPK wajib menggunakan jalan Pertambangan dalam pelaksanaan kegiatan Usaha
Pertambangan. Dengan kata lain, keputusan pelarangan pangangkutan batu bara
melalui jalan umum oleh Gubernur Jambi bersama unsur Forkopimda sejak 1 Januari
2024 perlu kita dukung penuh hingga jalan khusus benar-benar terealisasi.
Jika itu gagal, maka polemik dan bahkan potensi konflik horisontal
semacam ini tak ubahnya api dalam sekam, yang bisa terbakar kapan saja, dan itu
artinya berkonsekuensi pada kian melorotnya kepuasan publik atas kinerja Sang
Gubernur lantaran ditopang oleh tiang (kebijakan) yang rapuh, untuk menyebut dalam
pelaksanannya lebih pada langkah-langkah reaktif dan terkesan parsial ketimbang
solusi antisipatif, terintegrasi dan berkelanjutan.
*Kota Jambi, 24 Januari 2024. Tulisan ini terbit pertama kali di portal www.jamberita.com
*Tulisan saya lainnya di link berikut ini:
1) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi
2) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024
3) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023
4) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023
5) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024
6) Meneroka Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023
7) Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan
8) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan
9) Mengantar Al Haris-Sani Ke Gerbang Istana
10) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi
11) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi
12) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi
13) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai
14) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Otokritik
0 Komentar