Anugerah gelar adat melayu Jambi. sumber: jambinow.id |
Oleh: Jumardi Putra*
Publik di Jambi, lebih-lebih di bilik perpesanan grup Whatsapp, ramai mempercakapkan Lembaga
Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi. Betapa
tidak, dari belasan tokoh penerima gelar adat di penghujung Desember 2023
maupun di awal Januari 2024, terutama yang berlatar belakang politisi, menuai pro
dan kontra.
Dua tahun terakhir ini, LAM Jambi di bawah kepemimpinan Hasan Basri Agus
(HBA) bergelar Datuk Tumenggung Putro Jaya Diningrat gencar menganugerahi gelar
adat, entah itu berupa pengukuhan kembali maupun penobatan gelar adat baru. Bak
cendawan tumbuh di musim hujan, sehingga publik menaruh kecurigaan.
Lebih-lebih, momennya berdekatan jelang Pilpres maupun Pileg, maka kesan politis
menjadi sulit dihindari. Tidak cukup sampai di situ, saat yang sama, sebagian
besar wilayah di Provinsi Jambi dilanda musibah banjir dan tanah longsor. Makin
kurang tepat, begitu cuap nitizen.
Saya tidak akan mengulik lebih jauh hal itu, seperti muncul pertanyaan,
kenapa politisi A dianugerahi gelar adat, sedangkan politisi B justru sebaliknya,
padahal mereka sama-sama telah berbuat untuk Provinsi Jambi. Tak syak, “baku-hantam”
komentar sesama nitizen menyoal kriteria itu menyeruak di grup Whatsapp yang kebetulan saya ikut di
dalamnya. Polemik demikian itu tidak membantu publik memaknai gelar adat Melayu
Jambi sebagaimana mestinya, lantaran terjerembab pada pertimbangan-pertimbangan
subjektif, emosional-sintementil dan kental nuansa kedekatan berdasarkan kesukuan
(primordialism), apatah lagi bila itu dikait-kaitkan pada politik praktis.
Tepatnya, publik perlu mendapat penjelasan di balik sekian banyak penganugerahan
gelar adat dalam waktu hampir bersamaan dari pengurus LAM Jambi, dalam hal ini
Majelis Pertimbangan Adat (MPA). Hal itu dimaksudkan agar masyarakat luas tidak
terjebak dalam sebuah keadaan, yaitu gelar adat dipahami tidak lebih dari
aksesori untuk menaikkan status sosial semata, sehingga tak ubahnya seperti
buih di lautan yang menarik perhatian setiap mata yang melihatnya, tapi setelah
itu akan ditinggalkan dan buihpun hanya tinggal cerita karena telah hilang tak
bermakna.
Anggapan kontras (kalau bukan miring) itu bisa jadi menemukan pembenarannya,
terutama setelah mengetahui tidak sedikit dari mereka yang menerima gelar adat
dari banyak lembaga adat di republik ini justru berujung bui lantaran terlibat skandal korupsi maupun bentuk tindak kejahatan
lainnya. Dengan kata lain, bukan perkara sederhana menyusun pertimbangan
panganugerahan gelar adat sekaligus konsekuensi dari setiap gelar yang
disandang.
Sejatinya, apa itu gelar adat Melayu Jambi? Apa yang membedakan gelar
pusako (pseko) dengan yang bukan? Kriteria apa saja yang menjadi patokan? Siapa
saja yang berhak menerima? Bagaimana tahapan dan mekanisme sebelum gelar itu dikukuhkan?
Ringkasnya, selama ini publik belum mendapatkan jawaban yang memadai, kecuali
statemen atau komentar terbatas dari pengurus LAM Jambi yang muncul di portal-portal
media online maupun di grup aplikasi
perpesanan hanya dengan menukilkan seloko
“kecik benamo, gedang begelar” atau
melalui tahapan “sisik siang” serta pemberian gelar adat merupakan cerminan sikap
murah hati masyarakat Melayu Jambi kepada individu-individu yang telah
berkontribusi bagi Jambi.
Lebih esensial dari itu, apa urgensi gelar adat dewasa ini, terutama di
tengah problem yang dihadapi LAM-LAM Desa hingga
Kabupaten/Kota, mulai dari regenerasi, manajemen kelembagaan, dukungan regulasi,
infrastruktur dan anggaran, penelitian dan publikasi serta penguatan sumber
daya manusia dalam kaitan merespon problem struktural maupun kultural paling
kiwari. Apatah lagi, di era teknologi komunikasi dan informasi sekarang,
dimensi adat kait-mengkait dan tumpang tindih dengan politik, hukum, ekonomi,
pendidikan, kebudayaan, sumber daya alam, dan sebagainya.
Sejak dibentuk pertama kali pada 1975 hingga 2022, LAM Provinsi Jambi telah menganugerahi gelar adat sebanyak 101. Jumlah tersebut jelas bertambah seiring gelar adat baru yang diberikan kepada belasan tokoh di penghujung Desember 2023 hingga awal Januari 2024. Keseluruhan gelar itu terdiri dari beberapa tingkatan yaitu utama, madya, dan pratama, plus karang setio bagi isteri penerima gelar adat. Selain itu, pemberian gelar adat buat pengurus LAM Jambi. Nama-nama besar tokoh di negeri ini yang mendapat gelar dari LAM Provinsi Jambi, untuk menyebut contoh, yaitu Maharajo Ir. Soekarno (April 1962), Soesilo Bambang Yudhoyono bergelar Maharojo Notonegoro (September 2011), dan penerima gelar adat tingkatan utama yaitu Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian bergelar Sri Paduko Setio Payung Negeri, Jaksa Agung ST Burhanuddin bergelar Sri Paduko Agung Mustiko Alam, dan Ketua Mahkamah Agung HM Syarifuddin bergelar Karang Setio (26/8/22).
Merujuk Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang LAM Provinsi
Jambi, khususnya Pasal 9 butir 3 huruf (e) yaitu disebutkan bahwa LAM Jambi
tingkat Provinsi berwenang memberikan penghargaan kepada tokoh dan pelaku yang
berprestasi sekaligus peduli dalam bidang pelestarian dan pengembangan adat
Melayu Jambi. Di situ jelas hanya untuk bidang pelestarian dan pengembangan
adat Melayu Jambi. Bukan untuk bidang lainnya.
Namun, di luar yang dimaksud pasal 9 di atas, LAM Jambi sesuai
tingkatannya dapat memberi gelar adat kepada tokoh yang patut dan layak, sesuai
dengan jasa-jasanya terhadap masyarakat dan pembangunan daerah Jambi, yaitu sebagaimana
termaktub pada Pasal 5 Ayat 3. Itu pun kriteria penerima gelar diatur lebih
lanjut di dalam AD/ART LAM Jambi.
Saya memaknai positif pelbagai respon publik atas penganugerahan gelar
adat yang diinisiasi oleh LAM Provinsi Jambi, sejauh itu disampaikan secara
elegan. Setidaknya, momentum ini menjadi pintu masuk bagi masyarakat secara
luas untuk mengakrabi LAM Jambi yang sudah berdiri di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah selama 49 tahun (1975-2024). Sulit
dimungkiri, kian ke sini LAM Jambi seolah terasing dari lapangan kulturalnya. Apa
sebab? Paling banter LAM Jambi sayup-sayup disebut warga Jambi bila berurusan
dengan resepsi pernikahan dan penganugerahan gelar adat. Bahkan, muncul
anggapan LAM Jambi sekadar gerbong berisikan pensiunan pejabat serta para
pendukung atau tim sukses rezim Gubernur terpilih pasca suksesi kepala daerah
per lima tahun sekali.
Memang, di bawah komando HBA, LAM Jambi telah melaksanakan beberapa program,
sebut saja seperti penetapan Hari Adat Melayu Jambi, napak tilas ke
situs/makam-makam bersejarah, seminar, diklat penulisan buku muatan lokal,
dukungan atas pelaksanaan restorative
justice, tetapi itu nyatanya belum bisa mengembalikan dukungan secara penuh
dari masyarakat sebagai bagian utama dalam upaya melestarikan adat Melayu
Jambi. Dengan demikian, pengurus LAM Jambi masih harus bekerja keras seraya
menghindari program dan kegiatan seremonial berbungkus adat dan budaya (Lebih
lanjut bisa baca tulisan saya di sini: https://www.jumardiputra.com/2021/12/quo-vadis-lembaga-adat-melayu-jambi.html).
*Tulisan ini terbit pertama kali pada portal jamberita.com pada 6 Januari 2024.
0 Komentar