ilustrasi. sumber: jaring.id |
Oleh: Jumardi Putra*
Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden maupun Pemilihan Legislatif 2024 baru saja dilaksanakan. Hitung cepat (quick qount) perolehan suara masing-masing kontestan Pilpres maupun
Pileg telah dirilis banyak lembaga survei. Meski demikian, pengumuman pemenang
Pilpres maupun Pileg menunggu hasil penghitungan resmi KPU RI yang dilakukan
secara berjenjang sebelum akhirnya ditetapkan, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Pemilu.
Di luar soal itu, yang tidak
kalah penting yaitu publik tidak boleh lupa bahwa pada level dan tingkatan apapun
kekuasaan bersifat temporer. Berbilang waktu ia bisa berganti baik itu posisi,
peran dan subjek yang diamanahi. Demikian Pemilu yang berlangsung lima tahun
sekali. Saat ini koalisi yang menopang pemerintahan Presiden Jokowi masih
berjalan beriringan, tapi kali lain bisa jadi berseberangan, dan itu bakal
terjadi pasca hasil Pilpres muapun Pileg 2024 resmi ditetapkan, galibnya itu
menandai perjalanan pemerintahan selama ini.
Meski temporer, kekuasaan
nyatanya juga candu, sehingga membuat sebagian orang ketagihan, bahkan tidak jarang
menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Pubik masih ingat munculnya wacana “tiga periode” kekuasan Presiden Jokowi.
Karena itu, konstitusi di negeri ini membatasi masa berlaku sebuah kekuasaan agar
ia tidak menjadi terlalu besar dan puncaknya terjerembab dalam “abuse of
power”.
Pangkal masalahnya, baik
terhadap yang temporer maupun yang dibatasi dan terbagi (eksekutif, legislatif
dan yudikatif), kekuasaan dalam perjalanannya acapkali melupa (kalau bukan
abai) pada unsur nilai (etika dan moralitas) serta idealisme yang semestinya
menjadi cahaya terang dalam memandu tugas dan fungsi sebuah kekuasan. Faktanya,
kini kekuasaan dikerangkeng oleh relasi imperatif finansial, perjanjian
oportunistik yang melandasi bagi-bagi jabatan dan kue kekuasaan di kalangan
elit partai politik pasca Pilpres maupun Pilkada, oligarki dan dinasti
bersamaan retradisionalisme kepemimpinan yang sarat feodalisme dan nepotisme
dalam format kelembagaan modern. Tipu muslihat demikian itu kerap dengan
mengatasnamakan stabilitas politik nasional untuk percepatan pembangunan.
Maka, bersikap kritis pada
kekuasaan di level dan tingkatan apapun adalah jalan yang disediakan oleh
demokrasi agar ia tidak mudah lupa, apalagi abai. Sistem demokrasi harus
dimaknai sebagai sarana antar warga negara untuk memastikan jalannya prinsip
maupun tujuan demokrasi itu sendiri. Substansi demokrasi adalah memperkuat
posisi daya tawar rakyat untuk hidup sejahtera berhadapan dengan kekuasaan yang
jika tidak terkontrol cenderung menindas (over-kriminalisasi).
Siapapun di negeri ini perlu
menghadirkan ruang-ruang dialog kritis-substantif guna menjamin pemimpin
terpilih pasca Pilpres maupun Pilkada benar-benar berjuang untuk menciptakan
kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Di sini kita melihat antara
kritik dan demokrasi tidak bisa dipisahkan. Demokrasi lahir dari kritik kepada
elit kekuasaan dan tumbuh kembangnya demokrasi juga karena berjalannya tradisi
kritik. Dengan demikian, kritik dalam demokrasi merupakan manifestasi daulat
rakyat yang menyadari merekalah sesungguhnya pemberi mandat kuasa kepada
pemerintah melalui Pemilu maupun Pilkada. Bukan justru menjadikan rakyat
sebagai subordinat. Bukankah saat Pilpres, Pileg dan Pilkada, para kontestan
memohon kepada rakyat agar dipilih?
Praktiknya, mesi sudah di
alam demokrasi, resistensi pemerintah terhadap kritik masih memakai paradigma
usang. Publik sering mendengar para pejabat berujar bahwa kritik harus
membangun, bukan menjatuhkan (martabat), kritik harus memberikan solusi, dan
tiada manusia (termasuk pejabat) yang sempurna. Begitu juga kritik yang
menyasar suatu kejelekan acapkali dimaknai pejabat terkait sebagai tindakan
menyudutkan (untuk menyebut menggiringnya sehingga menjadi persoalan personal).
Tak syak, pasal pencemaran nama baik maupun pelbagai ancaman yang termaktub di
dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dipakai sebagai senjata
untuk menjerat para pengkritik. Itu artinya, jeratan hukum berpotensi
disalahgunakan oleh pemerintah untuk melayani kepentingan pejabat maupun orang
kuat yang terkoneksi dengan pemerintah maupun aparat penegak hukum.
Pandangan pejabat pemerintah demikian itu sudah tidak relevan. Pelbagai elemen masyarakat sesuai
latar belakangnya tidak bisa diseragamkan. Sebagai warga negara, mereka
memiliki hak yang dijamin oleh Undang-Undang untuk menyampaikan kritik kepada
pemerintah. Justru tugas pemerintah dengan segala instrumen yang dimilikinya
plus dukungan biaya yang demikian besar untuk mencari jalan keluar atau solusi
terhadap masalah yang terjadi.
Setakat hal itu, penguasa
yang lahir dari proses demokratis tidak selalu konsisten merealisasikan
janji-janji politik semasa kampanye. Lain janji sebelum terpilih, lain pula
yang diwujudkan sesudahnya. Itu mengapa bernegara tidak cukup bermodalkan niat
atau rencana baik, melainkan juga apakah benar-benar dilaksanakan semasa
menjabat. Karena itu, jalannya kekuasaan perlu mendapat kontrol melalui kehadiran kritik yang datang dari pelbagai elemen masyarakat dimulai sejak
proses perencanaan sampai pelaksanaan program maupun kegiatan.
Berdemokrasi di masa modern
tidaklah sesederhana yang diucapkan. Persoalan-persoalan bangsa terkait
pemenuhan infrastruktur pelayanan publik, politik dalam dan luar negeri, hukum,
pertahanan negara, tata kelola sumber daya alam, peningkatan sumber daya
manusia dan kesehatan, tata niaga, dan sebagainya mensyaratkan multi kemampuan.
Maka, dibutuhkan pengetahuan dan wawasan komprehensif untuk membangun kritik
agar tepat sasaran, sehingga di situlah peran dan fungsi strategis kaum
terdidik progresif dan elemen pendukung lainnya, yang tidak saja menguasai
secara teori, tapi juga mesti berjuang untuk mewujudkannya. Apatahlagi, bila
kontrol parlemen (legislatif) tidak berjalan efektif saat mayoritas anggota
Dewan justru berdiri di belakang eksekutif.
Setelah Pemilu 2024 ini saya
berharap kelompok oposisi dari partai politik di parlemen (di luar pendukung
koalisi pemerintah) tetap ada untuk menciptakan keseimbangan sehingga
janji-janji politik yang disampaikan semasa kampanye benar-benar terpantau
serta semua program dan kegiatan yang dilaksanakan segaris dan sebangun dengan
amanat konstitusi. Meski saya menyadari berada di barisan oposisi tidaklah
mudah lantaran banyak rintangan yang kerapkali harus dilewati di tengah sistem
presidensial yang dianut oleh republik ini.
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal jamberita.com pada 18 Februari 2024.
0 Komentar