Rocky Gerung. Sumber: Sumber: Dok. Ig @cartoonisa_ |
Oleh: Jumardi Putra*
No Rocky, No Party (tidak ada Rocky, tidak ada pesta), begitu sosok intelektual ini digemari kaum mileneal dan generasi Z saat ini. Saya tidak tahu kapan istilah itu muncul pertama kali ke publik. Walakin, istilah itu mudah dijumpai di lintasan media, utamanya media sosial. Bahkan, ia menjadi tagline dalam sebuah acara talkshaw yang dipandu jurnalis senior Karni Ilyas. Puncaknya, seiring hawa panas di kancah perpolitikan nasional kiwari, nama Rocky Gerung justru kian populer ketimbang pemikiran-pemikirannya sendiri.
Menyanjung berlebihan pria kelahiran Manado, 20 Januari 1959, itu jelas
keliru, dan saya yakin bukan itu kehendak seorang Rocky yang sampai saat ini bersikap
kritis dan berani berhadap-hadapan dengan kekuasaan dan elit partai politik. Sejatinya,
bagi pembaca tekun artikel maupun kolom-kolom di koran seputar politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan hukum di tanah air, kritisisme bukan semata dilakoni
Rocky Gerung seorang diri yang aktif merespon isu-isu aktual, melainkan juga
hadir nama-nama intelektual publik lainnya dengan beragam disiplin ilmu, sebut
saja seperti mendiang Radhar Panca Dahana, Vedi R. Hadiz, Frans Magnis Suseno, Yudi
Latif, Yasrif Amir Piliang, Seno Gumira Adjidarma, Muhamad Chatib Basri, Faisal
Basri, Robertus Robet, dan Herlambang P. Wiratraman. Belum lagi, keberadaan
pelbagai poadcast di kanal Youtube maupun media online yang masif mengangkat suara-suara
kritis belakangan ini.
Selain berkat kemampuan retorisnya, juga mobilitas Rocky di panggung-panggung
diskusi publik baik di dalam maupun luar kampus serta kehadirannya di pelbagai acara
talkshaw televisi dan saluran Youtube, sehingga membuatnya lebih populer
dan diikuti lebih dari 1,6 juta pengikut di sosial media sebelum
ditinggalkannya. Bahkan, percikan-percikan pemikirannya lalu lalang di jagad
tiktok dan aplikasi perpesanan interaktif lainnya.
Muncul pertanyaan, apa urgensi pemikiran Rocky Gerung bagi publik bila
usaha gigihnya yang memperjuangkan pentingnya akal sehat di tengah kondisi
negara yang tidak baik-baik saja, bila pada akhirnya justru membuat orang yang
membacanya jatuh pada kekaguman yang memabukkan (kalau bukan serba berlebihan).
Belum lagi, bila pikiran-pikiran Rocky Gerung digemari hanya karena kritik
pedasnya dirasa menguntungkan bagi sebuah kelompok yang secara nyata
berseberangan secara politik dengan kekuasaan Presiden Jokowi maupun koalisi yang
akan melanjutkannya. Rocky Gerung sepertinya tidak mau ambil pusing akan hal
itu, karena kritik yang ia lesatkan merupakan cerminan dari fungsi etik dari politik
dan demokrasi yang ia perjuangkan sebagai bentuk counter atas praktik kekuasaan yang menyimpang.
Maka, agar tidak terjebak pada like
and dislike, saya antusias setelah mengetahui Komunitas Bambu, sebuah
penerbit yang dinahkodai sejarahwan JJ Rizal menerbitkan buku karya Rocky
Gerung berjudul Obat Dungu Resep Akal sehat: Filsafat untuk Republik Kuat. Itu
artinya, terbuka kesempatan bagi pembaca, baik yang bersetuju atau pun
sebaliknya, untuk mendalami pemikiran-pemikiran Rocky yang pernah menjadi dosen
filsafat Universitas Indonesia sampai kini ia dikenal luas sebagai pengamat
politik tanpa tedeng aling-aling.
Buku setebal 424 halaman itu memuat 85 tulisan Rocky Gerung dalam bentuk
artikel pendek yang pernah dimuat di blog,
kolom di koran-koran nasional maupun makalah dan teks pidato yang sampaikannya
di pelbagai forum diskusi selama kurun waktu 38 tahun (1980-2018) atau ditulis era
Presiden Soeharto berkuasa hingga pasca reformasi. Rentang waktu yang panjang
sekaligus menegaskan pikiran-pikiran kritis Rocy bukan semata hadir baru
belakangan, apatahlagi bila disederhanakan sehubungan dengan pesta demokrasi lima
tahunan sejak pasca reformasi sampai Pemilu 2024.
Saya cermati, tulisan-tulisan Rocky dalam buku ini merambah banyak isu, mulai
tentang cendekiawan atau intelektual, politik, demokrasi, pemilu, HAM,
pendidikan (perguruan tinggi), hukum, feminisme, Pancasila, dan menyingung
politisasi agama dan sastra sebagai medium politik. Meski panjang tulisan dari
keseluruhan isu yang termuat dalam buku ini tidak seragam, tetapi semuanya diikat
oleh pandangan filsafat yang menjadi ciri khas Rocky Gerung kala mempertanyakan
(kalau bukan menggugat) setiap peristiwa yang disoalnya. Sedangkan mutu teknis
tulisan Rocky, di luar daya jelajah literatur bidang filsafat yang memang itu
keahliannya serta perspektif yang diketengahkannya, sejatinya sedang-sedang
saja. Apatah lagi lazimnya kumpulan artikel atau kolom, buku ini tidak
terhindari dari fragmenta, sesuatu yang membedakannya dengan sebuah buku utuh,
yang secara lengkap menguliti sekaligus mengeksplorasi sebuah permasalahan yang
diteliti serius dengan menggunakan kacamata filsafat. Itu juga kenapa,
nama-nama intelektual bereputasi internasional yang dikutip oleh Rocky dalam
tulisan-tulisannya tidak mendapati pemaparan yang memadai, sebut saja seperti gagasan
“the midlle ground” dan “pathological suspicion” Isaiah Berlin, pengaruh
kolonialisme pada sejarah Afrika dalam hubungan pembentukan mental dan watak intelektual
melalui gagasan filusuf Congo yaitu Valentin Mudimbe, dan tesis “Cultue
matters” yang diperkenalkan oleh Lawrence dan Samuel P. Huntington.
Dari segi strategi literer, beberapa tulisan Rocky di buku ini masih
saya temukan pengulangan-pengulangan dan kondisi itu membuat jumud. Tentu ini
pandangan pribadi saya, yang lebih suka membaca kolom atau esai panjang yang
ditulis menggunakan perangkat sastrawi, sebuah gaya penulisan yang sekalipun
mengangkat tema atau topik berat, tapi terasa ringan dibaca karena ditulis dengan
runtun, indah dan enak dibaca dengan tetap menjadikan data dan argumentasi
sebagai hal yang utama.
Judul buku Rocky ini boleh dikata di luar keumuman, tetapi bisa
memancing keingintahuan pembaca. Gayung bersambut, bagi mereka yang mengikuti
tulisan-tulisan Rocky, judul itu sangat dekat dengan sosoknya yang meyakini
bahwa akal sehat adalah pelita bagi keberlangsungan republik ini, dan itu merupakan
ciri dari generasi di awal republik ini berdiri, seperti tercermin pada sosok
Soekarno, Sjahrir, Agus Salim, dan Tan Malaka, yang tidak saja berpegerakan
tapi juga berpengetahuan luas, kendati mereka itu otodidak. Namun, dalam
perjalanan negara ini, karena akal sehat dibatasi, utamanya oleh kekuasaan
maupun kepentingan politik jangka pendek yang mengangkangi prinsip-prinsip
demokrasi, maka terbitlah kedunguan, yang pada puncaknya itu digunakan oleh
kekuasaan untuk melanggengkan “status quo”. Di luar soal itu, kata “akal sehat”
memang kerap saya jumpai dalam tulisan-tulisan Rokcy di buku ini, terutama yang
beritimangsa sedari 2008 sampai 2018.
Jangan pula dibayangkan, lantaran di kaver buku tertulis anak judul
Filsafat untuk Republik Kuat, maka itu diartikan berisikan tips, kata kunci, dan
pointers tentang bagaimana cara filsafat bekerja mendiagnosa pelbagai
permasalahan yang terjadi di republik ini. Begitu juga, jangan dibayangkan, hanya
karena berjudul Obat Dungu Resep Akal Sehat, lalu dianggap berisi ulasan medis
yang datang dari pakar ilmu kesehatan, dokter atau psikolog. Hemat saya, judul
itu menunjukkan cara pandang seorang Rocky Gerung yang berlatar belakang
kelimuan filfsafat, yang digunakannya untuk mendedah isu-isu aktual yang
terjadi di negeri ini seiring pengamatannya. Dengan demikian, rentang waktu
setiap tulisan Rokcy dalam buku ini perlu diperhatikan secara cermat. Sekalipun
begitu, utamanya pada ulasan-ulasannya mengenai politik, pemilu dan praktik
demokrasi pasca reformasi sampai sekarang selalu ada benang merahnya.
Buku karya Rocky Gerung (2024) |
Adapun tulisan-tulisan masa awal Rocky Gerung sejak mahasiswa pada medio 1980 sampai 1990an, sebagaimana dikatakan JJ Rizal dalam catatan suntingannya, yaitu membantu pembaca mengenal teks maupun konteks “kekuasaan negara” di bawah kendali rezim Soeharto, yang ditandai dengan gagasan “Developmentalism” serta menampakkan ciri bagian dari sejarah pemikiran sosial-politik Indonesia saat itu yang oleh Vedi R. Hadiz dan David Bourchier dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia disebut sebagai kelompok “radikalisme dan gerakan sosial baru”, sebuah masa dimana Rocky menyaksikan perjalanan bangsa mundur ke masa kolonial dan prakolonial. Sedangkan sosiolog Robertus Robet, dalam kata pengantarnya lebih menitikberatkan Rocky Gerung sebagai “badan tanpa organ-organ”, meminjam istilah filusuf Prancis Gilles Deleuze dan Guattari, sebuah pembacaan filsafat tentang penubuhan yang sarat pengetahuan. Mungkin mereka yang berjarak dengan studi filsafat agak susah membaca kata pengantar Robert itu, tetapi di bagian akhirnya publik bisa mendapati keberadaan seorang Rocky dalam dua hal sekaligus yaitu pertama selalu bersama orang-orang yang lemah atau under dog secara sosial politik dan kedua selalu akan mencari pertemanan. Makanya tidak heran, Rocky bisa berteman dengan sesiapa saja dengan semangat egalitarian, bahkan termasuk dengan orang-orang yang dikritiknya sekalipun. Bahwa, ada yang mengatakan Rocky sebagai intelektual Menteng yang elitis, karena selera politik dan pergaulan sosialnya, itu bukan penilaian yang keliru, tapi bagi Robert itu tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, Robert menyaksikan langsung sosok Rocky, sebagaimana ia memiliki hobi naik gunung, dimana justru ia digemari oleh warga di lereng sampai puncak gunung, dan karena Rocky juga, filsafat menjadi menjadi familiar dan digemari.
Pikiran-pikiran Rocky Gerung dalam buku ini menunjukkan bahwa sosoknya
tentu saja tidak berhenti sebagai pembaca buku yang tekun, tetapi ia juga
terlibat memperjuangkan ide-ide kritisnya, sebut saja keterlibatnya mendirikan
Setara Institute dan fellow pada
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D). Bukan hanya seorang pengamat politik,
tetapi ia juga mendedikasikan dirinya sebagai pengajar dalam kurun wakru kurang
lebih 15 tahun di universitas Indonesia. Bahkan, Rocky bersama Sjahrir dan
istrinya, Kartini pernah mendirikan Partai Indonesia Baru (PIB) pada 2002,
tetapi ia tidak pernah ikut dalam kepengurusan.
Sikap demikian itu bisa dipahami karena watak dan karakter Rocky yang
bebas dan tidak terikat oleh sebuah lembaga atau institusi (tidak terkecuali
perguruan tinggi) yang pada akhirnya bisa membatasi dan bahkan memenjarakan pikiran.
Maka, dalam sebuah tulisannya yang berjudul “watak intelektual”, ia dengan
berani mengatakan, “selalu relevan membicarakan kaum intelektual setiap kali
kita kehilangan orientasi dalam membaca tanda-tanda zaman. Tetapi, bagaimana Anda
mampu mengintip peluang perubahan menuju kemajuan bila Anda bagian dari
mentalitas takut bebas?” (halaman 341-342).
Bahkan, otokritiknya terhadap peran cendekiawan/intelektual di ruang
publik maupun di tengah ancaman kematian politik, ditulis secara khusus dalam
tiga tulisan lainnya di buku ini yaitu Cendekiawan di Ruang Publik (Hal: 55),
Cendekiawan, Kultur dan Politik (Hal: 65), dan Intelektual dan Kondisi Politik
(Hal: 175). Rocky menyadari defenisi tradisional intelektual sejak filusuf asal Italia Antonio Gramsci tidak
lagi cukup menunjukkan konsistensi kerja konsepsional yang berjarak dengan
konsekuensi praktis yang ditimbulkannya, tetapi intelektual adalah juga
individu-individu yang terlibat memperjuangkan perubahan sosial. Namun, dalam perjalanannya
peran dan posisi intelektual kerapkali tunduk di bawah kekuasaan finansial
maupun faktor-faktor relasi adikuasa yang justru menempatkan mereka sebagai hamba
dari kekuasaan. Itu kenapa, pasca reformasi, kecenderungan intelektual yang
datang dari kampus maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), justru menjadi
bagian dari “status quo” ketimbang konsisten memperjuangkan perubahan sosial.
Sebuah dilema yang tidak mudah, tapi bagi seorang Rocky sikap demikian itu
(tidak tunduk atau bergantung penuh pada kekuasaan) adalah satu-satunya cara
untuk memastikan terwujudnya perubahan, apatahlagi dalam kondisi politik yang
dipenuhi dengan kepentingan di luar fungsi politik sebagai alat perjuangan bagi
terwujudnya kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan sosial.
Di luar soal feminisme, sebagian besar tulisan-tulisan Rocky dalam buku
ini yang beiririsan dengan isu demokrasi, politik, pemilu, hukum dan HAM,
pembaca akan mendapati kritik tajam yakni betapa involusi politik dan ancaman
kematian demokrasi di negeri ini adalah situasi nyata yang mesti disadari oleh
semua elemen bangsa. Hal itu ditandai dengan keberadaan partai politik tanpa
distingsi ideologi, oposisi tidak lebih dari persaingan dendam personal dan
sinisme dangkal di antara para pemimpin dan elit ketimbang duel konseptual yang
jernih di antara dua kekuatan ideologis yang bersaing, pesta demokrasi dipenuhi
kerumunan badan-badan tanpa kepala (ide), kegembiraan semu warga hanya karena
dibagikan sembako pada setiap kampanye, intelektual yang sibuk menjajakan
teknis Pemilu (bukan memperjuangkan tugas dan fungsi etis Pemilu), perbedaan
pendapat yang jatuh kalah oleh hirarki kekuasaan, urusan nilai dan ide
mengalami reifikasi total sehingga politik berubah menjadi relasi antar benda
(politik uang), perjanjian oportunistik yang melandasi bagi-bagi jabatan dan kue
kekuasaan di kalangan elit, oligarki dan dinasti yang bersetubuh dalam
feodalisme dan nepotisme, retradisionalisme kepemimpinan dalam format partai
modern, demagog yang merajalela, dan imperatif finansial yang meraja. Puncaknya,
seperti dalam tulisannya berjudul Surplus Fanatisme, Defisit Akal Sehat, Rocky
mengatakan “…di depan kekuasaan, para tokoh masyarakat sipil patuh karena
fanatisme. Kalangan terpelajar patuh karena kekurangan pikiran. Merekalah yang
kini menyelenggarakan public relations pemerintah.
Ajaib, tetapi itulah sinopsis politik kita setelah 20 tahun reformasi (hal:
395-399).
Dalam situasi pelik itu, Rocky menolak tunduk melainkan tetap bersetia
menyuarakan dengan lantang perlunya sikap kritis dan keterbukaan, terutama bagi
mereka yang secara terbuka ingin menjadi pemimpin tertinggi di republik ini
untuk mempercakapkan visi-misi secara terang benderang dengan tetap berlandaskan
pada etik dan prinsip demokrasi serta ayat-ayat konstitusi. Bukan hipokrasi
yang disembunyikan di gudang-gudang politik dan dibagikan setelah Pemilu
dilaksanakan.
Bagi Rocky, sekalipun pelembagaan demokrasi berjalan lancar di negeri ini dalam bentuk distribusi kekuasaan melalui eksekutif, yudikatif dan legislatif, dan kehadiran partai politik maupun penyelenggara pemilu, tetapi substansi dari demokrasi yang bermutu justru kian jauh dari tujuan dan maksud awal yaitu menciptakan kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan sosial. Dengan kata lain, setelah beberapa kali Pemilu di republik ini, utamanya pasca reformasi sampai sekarang, kedaulatan rakyat hanya berhenti sebagai proyek kuantifikasi dalam statistik. Bukan kedaulatan rakyat dalam makna sesungguhnya.
*Kota Jambi, 12 Februari 2024. Tulisan ini terbit pertama kali di portal jamberita.com.
*Berikut link tulisan saya lainnya tentang Rocky Gerung: Sihir Rocky Gerung dan Paradoks Masyarakat Digital
0 Komentar