Pantai Botubarani, Gorontalo |
Oleh: Jumardi Putra
Badan saya mulai terasa letih tidak seperti biasanya, terlebih sebelum berangkat
kondisi fisik saya memang kurang fit. Niat ingin segera menginjakkan kaki di bumi
Gorontalo setelah melewati 2 jam 30 menit penerbangan dari Jakarta tertunda
saat transit di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makasar pukul 11.07
WITA, Kamis, 18 April 2024, karena dampak erupsi Gunung Ruang di Sulawesi Utara
sehari sebelumnya. Mengedepankan alasan keselamatan, maskapai Garuda menunda
jadwal keberangkatan pesawat selama hampir dua jam. Saya dan penumpang lainnya
diminta menuju ruang tunggu Gate 10 sembari
menunggu kabar selanjutnya dari otoritas penerbangan setempat. Tidak ada teman
terbaik dalam situasi demikian kecuali buku dan sepotong roti. Di sela-sela itu, saya melihat-lihat desain interior Bandara Makasar dengan segala pernak-perniknya.
Pasca ruang udara dinilai sudah cukup aman, mendekati pukul 13.59 WITA, saya
dan penumpang lainnya memasuki pesawat untuk melanjutkan rute penerbangan ke
Gorontalo. Berselang menit kemudian, lantaran duduk di sebelah jendela, hati saya
kembali riang melihat langsung si “burung besi” yang kami tumpangi mulai
bergerak dan perlahan-lahan meninggalkan Bandara Hasanuddin Makasar.
Ini perjalanan pertama kali saya ke Gorontalo, sebuah Provinsi di
Indonesia yang terletak di Semenanjung Minahasa, di bagian utara Pulau Sulawesi.
Lawatan saya kali ini dalam rangka mendampingi Pimpinan dan Anggota Badan
Anggaran DPRD Provinsi Jambi untuk mengetahui kebijakan, program dan kegiatan serta
alokasi anggaran penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem oleh Pemerintah
Provinsi Gorontalo bersama Badan Anggaran DPRD Provinsi Gorontalo.
Jarak tempuh penerbangan Makasar-Gorontalo sekitar 1 jam 30 menit. Sepanjang penerbangan selain membaca buku, pandangan mata saya bolak-balik tertuju ke barisan bebukitan hijau nan lebat, sawah yang membentang luas dipagari pohon-pohon kelapa dan laut tak bertepi. Sesekali pesawat terasa berguncang melewati gumpalan awan besar di ruang udara.
Penulis di Bandara Djalaluddin Gorontalo |
“Sungguh Tuhan telah memberkati Bumi Pertiwi ini dengan kekayaan alam yang berlimpah,” begitu bisik hati saya sejauh mata memandang alam dari balik kaca jendela pesawat.
Almuqtadir, sekira pukul 15.47 WITA, pesawat pun mendarat di Bandara Djalaluddin Gorontalo. Akhirnya, saya benar-benar menginjakkan kaki di bumi Gorontalo yang juga dikenal berjuluk "Hulontalangi" (Lembah Mulia), berasal dari dua suku kata yaitu "Huluntu" yang berarti "Lembah" dan "Langi" yang berarti "Mulia". Tak dinyana, di Gorontalo ini lahir beberapa tokoh nasional kenamaan, sebut saja seperti Hans Bague (HB) Jassin, pengarang dan kritikus sastra bergelar adat Pulanga Gorontalo "Ti Molotinepa Wulito" (Putra terbaik yang menguasai bahasa). la jg dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia; Jusuf Sjarif Badudu, ahli linguis sekaligus Guru Besar pertama di Fakultas sastra UNPAD; Anumerta Jalaluddin Tantu, anggota korps penerbang AURI yang menjadi nama Bandara Udara Gorontalo, dan Prof. John Ario Katili, saintis di bidang geologi, birokrat, politisi dan diplomat.
Tersebab jadwal pertemuan bersama Badan Anggaran DPRD Provinsi Gorontalo sore hari itu juga, kami pun segera menuju lokasi acara menggunakan mobil yang sudah disiapkan oleh tim pendamping sekretariat DPRD Provinsi Jambi sembari terus berkoordinasi dengan tim sekretariat DPRD Provinsi Gorontalo. Jarak tempuh dari Bandara Djalaluddin Gorontalo ke lokasi acara sekitar 1 jam perjalanan.
Dalam perjalanan itulah saya melihat dari balik jendela mobil yang saya tumpangi suasana Kota Gorontalo tidak jauh berbeda dengan daerah yang ada di Provinsi Jambi, sebut saja seperti Sungai Penuh atau Kerinci. Jalanan tidak begitu lebar. Kendaraan juga tidak tampak ramai. Rumah-rumah warga juga tampak tidak ada yang begitu mencolok antara satu dengan lainnya, sebut saja seperti dari aspek luasan dan lantai bangunan maupun kemegahan fisik.
Makanan khas Gorontalo |
Selama ini saya mengenal Provinsi Gorontalo hanya melalui berita-berita di layar tivi, kanal youtube yang mengangkat kekhasan wisata alam dan budaya Gorontalo, sebuah daerah yang resmi berdiri menjadi Provinsi pada tanggal 5 Desember 2000 berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 2000. Kota Gorontalo ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Gorontalo, sekaligus menjadi pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan perdagangan terbesar di Kawasan Teluk Tomini. Sedangkan jumlah penduduk Provinsi Gorontalo sebanyak 1.171.681 jiwa (Sensus BPS, 2020), dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.16% setiap tahunnya. Boleh dikata sosok politisi senior Fadel Muhammad (pernah jadi Gubenur Gorontalo periode 2001-2007-2009) cukup familiar secara nasional saat ini.
Sebagai Ibu Kota Provinsi, Gorontalo letaknya dibelahan nusantara atau di utara pulau Sulawesi yang jika dilihat dari dalam peta dunia terhampar tepat di lintas garis Khatulistiwa sehingga tidak berlebihan jika Kota Gorontalo sebagai zamrud khatulistiwa Indonesia yang memiliki pesona tersendiri. Mungkin karena itu pula suhu di Gorontalo terasa panas. Bahkan, sopir yang mengemudikan mobil kami sempat berkelakar bahwa hanya ada dua musim di Gorontalo yaitu panas dan sangat panas.
Pimpinan dan Anggota Banggar DPRD Prov Jambi bersama perwakilan Banggar Prov. Gorontalo |
Alhamdulillah, pertemuan bersama bapak Ismail selaku anggota Banggar dan Wakil Ketua Komisi III serta tim sekretariat mewakili Badan Anggaran DPRD Provinsi Gorontalo berjalan lancar. Kami pun sebagai tamu disuguhi menu andalan khas Gorontalo, seperti sate tuna, ikan kuah asam, ikan bakar balarica, bunga pepaya, oaseng sayur kangkung, dan masih banyak menu lain lagi. Yang pasti dilengkapi sambal sagela. Hmmm. Bikin ngiler ya.
Usai beramah tamah sekaligus menikmati jamuan makan, kami pun menuju hotel Fox, tempat kami menginap selama di Gorontalo, tidak jauh dari Masjid Agung Baiturrahim. Kebetulan pula hotel itu berada dalam satu gedung dengan Mal satu-satuya yang ada di Kota Gorontalo. Jarak antara tempat kami menyantap hidangan makanan khas Gorontalo di Manna Café dengan Mal hanya 10-15 menitan. Langit Gorontalo mulai beranjak malam. Berselang belasan menit kemudian, karena mendapat kabar bahwa ada toko buku Gramedia di sebelah Mal, saya pun memilih melipir sebentar ke situ, sesuatu yang lazim saya lakukan bila berkunjung ke daerah-daerah lain di Indonesia.
Malam makin larut. Saya pun istirahat menyambut esok, hari kedua di Gorontalo. Jumat, 19 April 2024, saya dan rekan-rekan lainnya menuju Gedung DPRD Provinsi Gorontalo beralamat di Jalan By Pass, Botu, Kec. Dumbo Raya, Kota Gorontalo atau biasa dikenal oleh warga setempat dengan sebutan "Puncak Botu" yang secara harfiah diambil dari lokasinya yang bertepatan di atas puncak Bukit Botu, yakni salah satu puncak bukit dari serangkaian pegunungan patahan di Gorontalo yang terkenal dengan deposit bahan tambang berupa batukapur dan sebagainya.
Di laman depan Gedung DPRD Prov Gorontalo |
Dikarenakan letaknya yang berada di puncak bukit, kantor DPRD itu mudah terlihat oleh masyarakat Gorontalo pada umumnya. Ringkasnya, sependek yang saya amati, selain menekankan kepada pesona alam sekitar, gedung wakil rakyat Gorontalo itu menawarkan keindahan arsitektural dengan gaya Eropa. Jarak tempuh dari hotel tempat kami menginap menuju Gedung wakil rakyat Provinsi Gorontalo tersebut sekitar 20 menit.
Usai dari gedung DPRD Provinsi Gorontalo, kami pun menuju pantai Botubarani untuk menyaksikan dan berinteraksi dengan hiu paus di Kabupaten Bone Bolango. Keistimewaan wisata hiu paus di Botubarani Gorontalo adalah lokasinya yang mudah diakses yaitu hanya 20-30 meter dari bibir pantai. Benar saja, hiu paus di sini sangat jinak, sehingga saya dan teman-teman bisa melihat hiu paus dari jarak terdekat di Kawasan zonasi bibir pantai yang telah ditentukan oleh otoritas setempat. Untuk melihat hiu paus, masing-masing kami menggunakan satu perahu berisi 3 orang dikenakan biaya 100.000 rupiah plus satu bungkus pakanan hiu paus seharga 10.000 berupa kulit udang atau kepala udang yang merupakan limbah pabrik, atau ikan-ikan kecil endemik yang hanya ada di Gorontalo pada musim tertentu.
berinteraksi dengan hiu paus |
Belum jauh meninggalkan bibir pantai, kami dari dalam perahu (warga di sini menyebutnya bulotu) sudah mulai bisa berinteraksi dengan dua ekor hiu paus bergiliran dengan pengunjung lainnya. Sulit menyangkal bahwa momen dekat dengan hiu paus merupakan sebuah keistimewaan buat saya pribadi lantaran selama ini hanya bisa saya saksikan di layar televisi atau kanal youtube, dan memang itulah salah satu yang menjadi andalan wisata Gorontalo. Saya pun sempat bercakap-cakap dengan pak Donal selaku pemandu wisata tentang jenis hiu puas yang pernah singgah ke pantai ini dan jumlah hiu paus yang muncul setiap hari di zona wisata.
Masih menurut pak Donal, wisatawan asing ramai berkunjung ke pantai ini pada Mei, Juni dan Juli saban tahun. Tak syak, tidak jauh dari loket tiket masuk wisatawan, menghadap ke arah pantai terdapat prasasti penganugerahan Desa Wisata Botubarani sebagai 75 Desa wisata terbaik berkelas dunia untuk Indonesia Bangkit 2023 yang diresmikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Sandiaga Salahuddin Uno.
Tidak terasa hampir satu jam 30 menit kami menikmati keindahan pantai Botubaroni sekaligus melihat langsung hiu paus. Kami pun bersepakat melanjutkan perjalanan menuju situs sejarah yang instagenic yakni Benteng Otanaha. Biaya tiket masuk ke banteng ini 10.000 per orang. Bangunan cagar budaya itu disebutkan sudah berdiri sejak tahun 1522 yang merupakan peninggalan Raja Ilato dan bangsa Portugis.
Keindahan Benteng Otanaha Gorontalo Benteng Otanaha terbuat dari campuran batu kapur dan pasir. Untuk menuju Benteng Otanaha yang dibangun di atas bukit terdapat ratusan anak tangga. Anak tangga menuju Benteng Otanaha berjumlah 348, yang dipisahkan oleh empat area persinggahan. Jumlah anak tangga untuk setiap persinggahan tidak sama. Dari dasar ke tempat persinggahan I ada 52 anak tangga, ke persinggahan II ada 83 anak tangga, ke persinggahan III ada 53 anak tangga, ke persinggahan IV ada 89 anak tangga, dan ke area benteng yang berada di puncak bukit ada 71 anak tangga.
Benteng Otanaha |
Tidak hanya itu, dari arah Banteng tersebut saya melihat sekaligus menikmati pemandangan Danau Limboto di bawahnya sekaligus perbukitan hijau di sekitarnya. Panorama alam yang elok ini menjadi latar foto yang estetik buat para wisatawan. Itu kenapa Benteng Otanaha sampai sekarang menjadi salah satu destinasi wisata sejarah pilihan bagi pengunjung lokal maupun nasional karena dari situs yang berada di atas bukit ini tersaji pemandangan Danau Limboto yang sangat cantik. Bagi tuan dan puan yang ingin mengetahui sejarah lengkap mengenai benteng Otanaha bisa dibaca di pelbagai media online yang membentangkan pesona alam dan sejarah Gorontalo.
Walakin, berkesempatan menginjakkan kaki langsung di sini jelas sesuatu yang pantas untuk selalu dikenang. Semoga saya bisa ke sini lagi di kesempatan lain untuk waktu yang agak lama. Amin.
*Kota Gorontalo, 19 April 2024.
0 Komentar