Jogja Terbuat dari Rindu, Pulang dan Angkringan

Maliboro Yogyakarta

Oleh: Jumardi Putra*

Sempat tidak percaya, tapi Tuhan benar-benar sudah membuat ketetapanNya, “Kullu nafsin zaikatul maut”.  Joko Pinurbo, penyair terkemuka tanah air, menghembuskan nafas terakhir kali Sabtu pagi, pukul 06.03 WIB, di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta (27/4/2024).

Sontak ucapan belasungkawa disertai doa plus cuitan kenangan akan sosoknya semasa hidup datang silih berganti dari akademisi pelbagai kampus, budayawan, sastrawan, pegiat literasi dan pelaku industri perbukuan yang tersebar di seantero tanah air. Bahkan, seiring meluasnya kabar tentang kepergiannya, puisi-puisi Joko Pinurbo yang sederhana dan singkat, tapi romantis sekaligus sarat makna, terus berseliweran di lintasan media sosial, beberapa di antaranya sebagai berikut:

 “Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku”.

“Tuhan, aku twit Kau tadi malam, tapi Kau bilang doaku masih terlampau panjang”.

“Tuhan, ponsel saya rusak dibanting gempa. Nomor kontak saya hilang semua. Satu-satunya yang tersisa ialah nomorMu. Tuhan berkata: Dan itulah satu-satunya nomor yang tak pernah kausapa”.

 “Matamu terlalu jernih sampai saya tidak tahu lagi cara bersedih”.

 “Kupetik pipinya yang ranum, kuminum dukanya yang belum: Kekasihku,
senja dan sendu telah diawetkan dalam kristal matamu".


Kehilangan akan sosok Mas Jokpin, begitu ia biasa disapa, bukan karena jalinan kedekatan saya secara pribadi dengan pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962 itu, melainkan puisi-puisinya baik dalam bentuk buku maupun di lembar-lembar koran rubrik puisi akhir pekan yang kerap saya baca saat masih kuliah di Yogyakarta tahun 2003 sampai saya pulang dan kini bekerja di Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi.

Tak dinyana, seminggu lalu saat bepergian ke Gorontalo, saya membawa dua buah buku (fiksi dan non-fiksi) sebagai teman selama dalam perjalanan, salah satunya yaitu buku bertajuk Latihan Tidur karya Joko Pinurbo. Terang saja, usai mendapat berita lelayu Jokpin tersebut, berkecamuk di pikiran saya beberapa tangkai puisinya yang saya baca dengan penuh penghayatan selama di dalam pesawat. Benarlah, hidup-mati tiada makhluk yang dapat memastikannya, selain itu merupakan hak prerogatif Tuhan.

Bagi saya, Joko Pinurbo, sebagaimana Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, WS. Rendra, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Afrizal Malna, memiliki tempat tersendiri di kancah kesusastraan tanah air, utamanya dalam lanskap perpuisian Indonesia. Tidak heran, pelbagai penghargaan yang ia terima meneguhkan posisinya sebagai salah satu penyair terkemuka di negeri ini, utamanya karena cara ucapnya membawa kebaruan.

Buku-buku karya Joko Pinurbo

Sekalipun sederhana, singkat dan jauh dari penggunaan diksi-diksi yang rumit, puisinya tajam yang menggabungkan warisan puisi lirik dengan budaya populer dan satire sosial. Karya-karya Jokpin juga menunjukkan benda-benda yang biasa kita temui sehari-hari bisa didayagunakan dalam penciptaan puisi. Berkat dedikasinya di lapangan kebudayaan (sastra) di tanah air sekaligus capaian kekaryaan, Jokpin diganjar beberapa penghargaan bergengsi antara lain Bakrie Award (2023), Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001), South East Asian Write Award (2005), dan Anugerah Kebudayaan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (2019).

Sosok Jokpin dikenal bersahaja sehingga ia menjadi magnet bagi penulis muda maupun pembaca sastra secara luas. Selama di Yogyakarta saya pernah mengikuti beberapa kali diskusi dimana ia menjadi salah satu pembicara baik di dalam maupun di luar kampus. 

Meski lahir di Sukabumi, Jawa Barat, Jokpin beserta keluarga telah lama tinggal di Yogyakarta. Hidup di kota pendidikan dan budaya itu bagi seorang Jokpin jelas melampaui sekadar urusan perut, apatahlagi sebatas administrasi wilayah, tetapi sebagai pusat ide sekaligus ruang kultural tak bertepi baginya melahirkan puisi-puisi yang mampu berdialog dengan sesiapa saja sekaligus dengan sistem nilai yang tumbuh dimana pun berada, melampaui sekat-sekat administratif itu sendiri, seperti puisi yang menjadi judul tulisan ini dan beberapa puisi-puisi lainnya berikut ini: 

“Dalam secangkir teh ada hati Jogja yang lembut meleleh. Dalam secangkir kopi ada hati Jogja yang alon-alon waton hepi. Dalam secangkir senja ada hati Jogja yang hangat dan berbahaya”.

“Angkringan adalah nama sebuah sunyi, tempat kau melerai hati, lebih-lebih saat hatimu disakiti sepi”.

“Jogja itu rasa kangen dan senewen yang selalu muncul dalam kaleng Khong Guan tanpa kulo nuwun dan matur nuwun”.

"Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Perpisahan dan pertemuan dilahirkan oleh perasaan".

Penggambaran suasana Jogja oleh Jokpin demikian itu tidaklah berlebihan sehingga membuat sesiapa saja yang berkunjung ke Jogja seperti pulang kampung, tempat di mana hati dan pikiran merasa nyaman, seperti di rumah sendiri, tentu saja lengkap dengan segala kompleksitasnya. 

Angkringan di Yogyakarta. Sumber: phinemo.com

Pembawaan Jokpin selalu tenang dan tidak menggebu-gebu, utamanya saat menyampaikan pandangan di muka peserta diskusi. Mungkin bagi sebagian orang menjemukan. Namun dalam ketenangannya itu kerap muncul letupan ide yang menarik, terkadang getir. Begitu juga Jokpin saat membacakan puisi-puisinya seolah sedang bercerita dan bercakap-cakap dengan lawan komunikasinya. Jauh dari anggapan umum kita pada sosok seperti teaterawan cum penyair WS Rendra yang piawai membacakan puisi-puisinya di panggung, di samping karena menggetarkan, juga mampu menggerakkan.  

Keramahan Jokpin benar-benar saya rasakan saat berinteraksi langsung dengannya tahun 2011 bertepatan dengan perhelatan Temu Sastrawan Indonesia (TSI) ke 4 di Ternate. Saat itu Jokpin bertindak sebagai salah satu kurator puisi dan kebetulan saya menjadi salah satu penyair dari 32 sastrawan muda se Indonesia yang lolos kurasi sehingga diundang hadir dalam forum bergengsi tersebut.

Sebagai penulis muda jelas itu kesempatan langka buat saya karena bisa berjumpa dengan nama-nama sastrawan terkemuka tanah air lainnya, sebut saja seperti Emha Ainun Najib (Cak Nun), Afrizal Malna (Jakarta), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Joni Ariadinata (Yogyakarta), Happy Salma (Aktris), Agus R. Sardjono (Jakarta), Arif Bagus Prasetyo (Bali), Benny Arnas (Sumatera Selatan), Bandung Mawardi (Surakarta), Ni Made Purnamasari (Bali), Raisa Kamila (Aceh), Nukila Amal, Zen Hae, dan Linda Cristianty (Jakarta), Triyanto Triwikoromo (Jawa Tengah), Jamal D. Rahman (Jakarta), Manneke Budiman, Eka Kurniawan dan Hilmar Farid (Jakarta), Azhari Aiyub (Aceh), dan Bramantio (Surabaya).

Pasca perhelatan itu saya tetap membaca dan menikmati puisi-puisinya. Kiprah Jokpin di jagad kepenyairan Indonesia terus meluas. Bahkan, buku-buku puisinya tergolong laris di pasaran sehingga harus dicetak beberapa kali, sebuah capaian yang jarang diraih oleh kebanyakan penyair tanah air lainnya. Beberapa buku puisi Jokpin yaitu antara lain Celana (1999), di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacar Kecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Tahilalat (2012), Selamat Menunaikan Ibadah Puisi  (2012), Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu  (2016), Buku Latihan Tidur (2017), dan Perjamuan Khong Guan (2020). Sedangkan karyanya berupa kumpulan cerpen berjudul "Tak Ada Asu di Antara Kita" (2023).

Sejak tinggal dan bekerja di Jambi, di sela-sela rutinitas pekerjaan, selain sesekali membaca bukunya, saya menyaksikan Mas Jokpin tampil di pelbagai podcast di kanal youtube. Dari situ saya mendapat asupan beragam cerita seputar proses kreatifnya sebagai pembaca sekaligus penulis, jatuh bangun dirinya menempuh hidup di jalan kebudayaan (sastra dan perbukuan) yang sunyi (untuk menyebut tidak banyak diminati), dan kegelisahannya mengamati paradoks di tengah kehidupan sekarang yang serba berlari kencang.

Selain merespon dinamika pembangunan, politik dan demokrasi, puisi Joko Pinurbo jugo menyoroti perilaku ekslusif pemeluk agama di negeri ini (di luar soal ajaran agama secara formal yang diyakini setiap pemeluk agama), sehingga menarik untuk direnungkan bersama bahwa suasana kemesraan dan kehangatan (lahir dan batin) yang bersumber dari ajaran agama, kini dalam praktiknya justru menjadikan interaksi antar pemuluk agama terjerembab dalam situasi saling menyudutkan, merasa paling benar dan saat yang sama merendahkan ajaran agama lain, yang ujung-ujungnya menyulut ketidakharmonisan dan puncaknya melahirkan kekerasan, sehingga tidak heran agama dalam pandangan Jokpin kini diamuk kesepian dan karena itu pula merindukan pelukan. Berikut saya sertakan puisi berjudul Pemeluk Agama secara lengkap di sini:

Dalam doaku yang khusyuk

Tuhan bertanya kepadaku,

hamba-Nya yang serius ini,

"Halo, kamu seorang pemeluk agama?"

"Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan."

"Lho, Teguh si tukang bakso itu

hidupnya lebih oke dari kamu,

nggak perlu kamu peluk-peluk.

Benar kamu pemeluk agama?"

"Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan."

"Tapi Aku lihat kamu nggak pernah

memeluk. Kamu malah menyegel,

membakar, merusak, menjual

agama. Teguh si tukang bakso itu

malah sudah pandai memeluk.

Benar kamu seorang pemeluk?"

"Sungguh, saya belum memeluk, Tuhan."

Tuhan memelukku dan berkata,

"Doamu tak akan cukup. Pergilah

dan wartakanlah pelukan-Ku.

Agama sedang kedinginan dan kesepian.

Dia merindukan pelukanmu.

Meski sudah berusia lanjut, Jokpin juga mengikuti perkembangan teknologi, seperti internet dan media sosial, untuk memperkaya puisi-puisinya. Tidak heran, bila ia menerbitkan buku berjudul Haduh Aku Di-Follow (KPG, 2013) yang berisi kumpulan puitwit atau puisi-twitter. Saya membaca buku itu dibuat kagum, selain karena kepiawaiannya meracik kata-kata secara singkat (tidak bertele-tele) dan padat, dibumbui romantisme, tragedi dan kejenakaan, sehingga enak dibaca dengan tetap menghadirkan ruang perenungan yang tidak singkat bagi pembaca atas fenomena atau pun peristiwa dengan segala kompleksitasnya yang menjadi perhatian si penyair Jokpin, seperti saya sertakan sebagian di sini:

“Matamu suka berpolitik juga. Sudah sejam aku bersamamu, kau masih saja sibuk mencari hubungan warna hijau dengan warna hatiku”.

“Yang membuat malam jadi seru bukan hujan, badai, dan deru, melainkan tangan jauhmu yang diam-diam mengancingkan bajuku”.

“Terima kasih, wakil rakyat, engkau sudah mewakili dendam kami terhadap hidup penat dan melarat”.

“Rindu itu korup. Tak terasa kapan makannya, tahu-tahu muncul gemuknya”.

“Di tengah rutinitas yang riuh dan gaduh, mungkin sunyi semakin mahal, nalar semakin majal”.

Selamat jalan, Mas Jokpin. Terima kasih atas dedikasimu untuk dunia sastra Indonesia. Jelas banyak orang merasa sedih karena kepulanganmu.  Namun, saya meyakini kau tidak pernah pergi, meski ragamu tidak lagi hadir di antara kami, lazimnya perjumpaan kita selama ini di pelbagai hajatan sastra, karena puisi-puisimu akan terus dibaca dan menginspirasi generasi ke generasi. Semoga.

 

*Kota Jambi, 28 April 2024. 

0 Komentar