Perpustakaan Jakarta di TIM, Cikini. Sumber foto: Kompas |
Oleh: Jumardi Putra
Lain tidak, perpustakaan
menjadi salah satu destinasi pengetahuan yang kerap saya datangi bila
berkunjung ke daerah-daerah di Indonesia. Kali ini, di sela kegiatan resmi,
saya melawat ke Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta Pusat. Sebagai
pusat seni dan budaya, TIM tidak asing buat saya. Walakin, Perpustakaan Umum
DKI Jakarta, bagian dari revitalisasi Taman Ismail Marzuki sejak tahun 2019,
jelas baru buat saya. Sebelum bangunan bergaya memanjang dengan ukuran 10.000
m2 dengan bagian atas gedung tidak rata alias berundak-undak, bak sebuah piano
raksasa, itu kini disulap menjadi perpustakaan nan megah, saya pernah
mengunjunginya untuk menikmati pameran seni rupa.
Tersebab jarak antara
Menteng, tempat saya tinggal selama di Jakarta, tidak begitu jauh dengan lokasi
TIM, maka lawatan saya pagi itu cukup dengan jalan kaki. Hari elok ketiko baik,
cuaca pagi itu boleh dikata bersahabat. Sejauh mata memandang, beberapa ruas
jalan dipenuni kendaraan. Orang-orang bergegas ke tempat kerja. Begitu juga
deretan toko maupun gedung perkantoran di bahu kanan-kiri jalan kembali
bergeliat. Begitulah Jakarta, tiada henti melaju. Hari-hari Kota Metropolitan
ini dikejar waktu, penuh ambisi. Dari arah Gedung Joang 45 menuju TIM, saya
teringat puisi penyair Umbu Landu Paranggi berikut ini:
Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari
Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati.
Sesampai di laman TIM saya
duduk barang sejenak di sebelah patung Ismail Marzuki, yang letaknya berada
persis di sisi kanan-depan gedung Perpustakaan Jakarta. Berkat petunjuk satpam,
saya diarahkan ke ruang lobi Perpustakaan di lantai 3 Gedung Panjang itu. Benar
saja, meski jam kunjungan belum tiba, pengunjung sudah ramai. Umumnya mereka
berlatar belakang mahasiswa maupun pekerja kantoran. Dari balik kaca saya
melihat mesin-mesin layar registrasi untuk konfirmasi registrasi pengunjung
berderet rapi. Para petugas tampak sigap menyambut kedatangan pengunjung.
Penulis di TIM |
Pintu utama Perpustakaan
dibuka, satu per satu pengunjung memasuki ruang perpus dengan antri. Ini kali
pertama bagi saya ke perpus ini sehingga mengharuskan saya reservasi lebih dulu
di link pendaftaran online di situs https://perpustakaan.jakarta.go.id/,
namun terdapat kendala karena keterangannya sudah penuh. Berkat kesigapan
petugas, saya dibantu melakukan reservasi ulang di mesin yang ada di depan lobi
perpustakaan lantai 3.
Pada lantai 3, terdapat lounge serta meja informasi dan loker.
Setiap pengunjung diminta untuk memindai barcode
registrasi terlebih dahulu. Saya pun menitipkan barang-barang pribadi ke lemari
loker yang telah disediakan tidak jauh dari meja petugas registrasi. Setiap
pengunjung dibekali totebag
transparan untuk membawa keperluan pribadi seperti gawai, laptop dan alat
tulis.
Dari situ saya menuju ke
lantai empat menggunakan eskalator. Di lantai 4 gedung ini terdapat koleksi
Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) Hans Bague (HB) Jassin, yang merupakan bagian
integral dari Perpustakaan Umum Daerah DKI Jakarta. Sebelum revitalisasi, dua
bangunan ini berdiri terpisah. PDS H.B. Jassin yang dulunya bernama Yayasan
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin terhimpit di belakang gedung Planetarium.
Seturut pengelolaanya berpindah ke Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip)
Provinsi DKI Jakarta, dua tempat ini lalu berada di bawah satu atap di lantai
4-6.
susana dalam gedung Perpustakaan Jakarta |
Saya perhatikan lantai 4 khusus koleksi buku anak-anak, buku hobi dan ketrampilan, buku-buku fiksi dalam dan luar negeri. Selanjutnya, pada ruang tengah berbaris rak buku anak yang sudah dikategorikan berdasarkan umur, mulai 0-12 tahun. Begitu juga di ujung ruangan, tampak Bilik Bermain yang berisi permainan anak dan Bilik Cerita untuk acara dongeng anak serta surau.
Saat kaki melangkah meniti anak tangga menuju ke lantai lima, di sisi kanan yang menjadi area penghubung difungsikan sebagai ruang baca tangga. Saya menyaksikan beberapa pengunjung asyik membaca sembari bersila di atas lantai, duduk di kursi, dan sisanya bersandar dengan bantalan kursi nan empuk. Bagi individu berkebutuhan khusus, selain bisa berpindah lantai menggunakan lift, juga disediakan toilet khusus penyandang disabilitas.
Pengunjung di Perpustakaan Jakarta |
Di lantai 5 gedung ini
tersedia bacaan-bacaan serius, buku-buku non fiksi bertitimangsa pada tema
pengetahuan umum. Lantai ini lumayan ramai karena menjadi sumber informasi bagi
banyak mahasiswa dan pekerja profesional, terutama untuk tugas kuliah maupun
tugas kantor. Selanjutnya, di lantai 6
terdapat ruang buku dengan nama KCKR ( Karya Cetak dan Karya Rekam). Buku-buku
koleksi di lantai ini tidak bisa dipinjam, atau dengan kata lain hanya untuk
dibaca di dalam perpustakaan saja. Selain kumpulan buku, di sini banyak ruang
yang bisa dimanfaatkan oleh anggota secara gratis. Mulai dari Bilik Dialog,
untuk ruang rapat kecil 4-6 orang. Bilik Privasi untuk mereka yang memerlukan
suasana lebih pribadi dan dapat lebih berkonsentrasi tanpa gangguan
sekelilingnya dengan dinding kaca, misalnya untuk rapat daring dan sebagainya.
Ada juga ruang inklusif khusus ruang baca bagi kaum difable khususnya tuna
netra dengan dukungan fasilitas buku dan alat baca braile.
Tidak terasa, hampir dua jam
lebih saya menikmati seisi ruangan Perpustakaan Jakarta di Cikini, sembari
menyelesaikan tugas kantor yang dikejar tenggat waktu di lantai 5. Warna dinding gedung perpustakaan ini
didominasi warna abu-abu berpadu warna coklat, warna putih, dan warna cream,
senada dengan seperti rak, meja, kursi, dan lain-lain. Bahkan, pada area
lesehan dilengkapi pula dengan rumput sintesis dan bean bag dengan berbagai warna. Selain jaringan Wifi lancar, bagi
pengguna perpustakaan yang ingin mengerjakan tugas atau bekerja, tidak perlu
khawatir kehabisan baterai laptop ataupun gawai, sebab pada setiap meja
disediakan stop kontak dan juga lampu. Bahkan, belasan komputer PC juga
disediakan bagi pengunjung yang ingin berselancar di dunia maya. Ringkasnya, perpustakaan dengan dukungan koleksi ratusan ribu ini tidak hanya dikonsep dengan desain yang modern, tapi juga
hangat, nyaman, serta instagramable.
Demikian pengalaman kunjungan saya ke Perpustakaan Jakarta di Cikini, sebuah perpustakaan yang telah mengalami transformasi sejak pertama kali didirikan tahun 1962 sampai saat ini menjadi oase di tengah laju Jakarta yang cepat, bising dan penuh polusi.
*Jakarta, 15 Mei 2024.
- Suatu Siang di Erasmus Huis, Pusat Kajian Belanda
- Ngadem di Goethe Institut Library
- Menepi di Tebet
- Ngadem di Perpustakaan Freedom Institute
- Merajut Asa di Ruang Belajar Prof. H.A.R. Tilaar
- Kerja Arsip Dekat dengan Kesepian, Kitalah Yang Meramaikannya
- Arsip Jambi di ANRI
- Festival Literasi Jambi, Dari Militansi ke Retrospeksi
- Jambi Tempo Doeloe, Catatan Sepulang dari Pameran
- Peninggalan Abdurrahman Sayoeti dan Kisah Yanti Merawatnya
- Freida Amran, Kisah Penekun Naskah Klasik Belanda Tentang Sumatera
- Menyoal Duta Baca Prov Jambi, Kerja Apa?
- Junaidi T. Noor; Jangan Banyak Ngota, Telusuri dan Tulis Sejarah Jambi
- Jang Aisjah Muttalib: Penulis Perang Serikat Abang di Jambi Tahun 1916
- Arsip, Adakah Keberpihakan Pemprov Jambi?
- Prof. Erwiza Erman; Sejarah Jambi yang Terabaikan
- Mukty Nasruddin, Penulis Sejarah Jambi yang Terabaikan
- Ben dan Nafsiah Mboi, Kisah Pasutri Pecinta Buku
- Kisah Mayloedin ADN dan Buku-bukunya
- Hottong dan Riwayat Toko Buku Tua di Jambi
2 Komentar
Mantap, catatan lawatannya.
BalasHapusterima kasih, bung
Hapus