Penulis saat diskusi sosok Joko Pinurbo |
Oleh: Jumardi Putra*
Riuh rendah, begitu suasana Sky
Maulidia Coffee & Space sore itu. Usut pusut usut, puluhan anak muda yang
memenuhi ruangan lantai III itu tengah bercakap-cakap seputar buku yang mereka
baca. Beberapa dari mereka yang datang saya kenal sejak lama, tapi umumnya wajah
baru, jamak generasi Z. Di sela rangkaian acara, beberapa dari mereka bergilir membacakan
puisi.
Selain suasana café yang adem,
juga bentang ruangannya didesain tidak seperti biasanya, lantaran terpajang puluhan
foto tak berbingkai karya Komunitas Fotografer Jambi 6:AM pada jaring-jaring di
beberapa pilar besi dominan warna hitam, tidak jauh dari pintu masuk café maupun
panggung acara. Tidak hanya itu, di sela-sela foto tersebut terpasang sepilihan
puisi-puisi penyair Joko Pinurbo atau kerap disebut Jokpin yang belum lama ini menyusul mangkat, setelah empat
bulan sebelumnya penyair Prof. Abdul Hadi WM dan cendekiawan Dr. Ignas Kleden wafat.
Itu kenapa perhelatan sore itu diberi tajuk puisi dan potret jalanan. Namun, sependek yang saya amati, baik foto maupun puisi-puisi Joko Pinurbo yang dipajang belum menunjukkan kemelekatan sebagai sebuah kesatuan tema pameran atau dengan kata lain, antara kedua karya seni itu masih berdiri sendiri-sendiri. Di atas itu semua, hajatan dalam rangka mengenang wafatnya Penyair Joko Pinurbo adalah sebuah usaha untuk merawat ingatan publik pada karya maupun pemikiran sang penyair semasa hidup. Sebagai awam dalam hal fotografi, karya teman-teman Jambi 6:AM hemat saya berhasil menghadirkan pelbagai perspektif tentang dinamika kehidupan warga Kota Jambi, lebih-lebih foto-foto yang sengaja diambil saat subuh hari.
Pameran Foto Puisi dan Potret Jalanan |
Di sela acara, saya sempat bercakap-cakap dengan Gusti dari Jari Menari maupun Walid dari Jambi 6:AM. Diakui mereka ini merupakan kolaborasi perdana antar komunitas yang mereka bidani. Bagi Walid, meski sudah berkecimpung sejak 2021 di komunitas fotografi, Joko Pinurbo adalah sosok penyair yang belum lama ini ia ketahui. Sementara bagi Gusti sendiri, Joko Pinurbo bukang nama asing dalam jelajah literatur bacaannya, walakin dunia fotografi diakui bukan ladang garapannya. Dengan demikian, usaha menautkan puisi dan karya fotografi adalah hal baru bagi komunitasnya masing-masing, tetapi menstimulasi mereka untuk menggarap hal serupa ke depannya secara lebih serius. Di luar soal itu, saya mengusulkan ke depan perlu juga mengangkat potret cagar budaya (tangible) yang terserak di Kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi.
Niat saya menghadiri hajatan sore
itu, selain bentuk penghormatan kepada sosok Joko Pinurbo, juga ingin sua sekaligus
bercengkrama dengan temen-temen pegiat literasi yang digawangi Komunitas
Literasi Jari Menari bekerjasama dengan Jambi 6:AM dan didukung beberapa
komunitas senafas lainnya. Terang saja, saat saya bersama istri dan putra bungsu
sampai di lokasi acara, sekira pukul 15.45 WIB, café yang berada di sisi
belakang gedung Maulidia Convention Center, di Pematang Sulur, itu sudah ramai pengunjung.
Bahkan, kain putih memanjang ditopang dua kayu yang terletak sebelum pintu
masuk café, dipenuhi tandatangan plus pesan dan kesan dari mereka yang hadir
untuk perhelatan tersebut.
Dilalah, pada sesi sore itu, saya ditodong oleh penggagas acara untuk menyampaikan pandangan mengenai
karya maupun sosok Joko Pinurbo. Sebagai penikmat karya sastra baik puisi, cerita
pendek dan novel, Joko Pinurbo merupakan salah satu sastrawan tanah air yang dikenal
luas berkat puisi-puisinya yang sederhana, penuh humor dan sarat makna. Lebih
jauh, bukan sebagai ahli sastra, pembacaan saya tentang Joko Pinurbo telah saya
tulis, tidak lama berselang kabar wafatnya meluas di media sosial. Tulisan lengkap saya bisa dibaca di link berikut ini:
Foto bersama peserta diskusi |
Pada momen itu, justru saya ingin mengetahui sejauhmana peserta yang hadir mengenal Joko Pinurbo. Benar saja, sebagian dari mereka mengakui belum mengenal karya puisi, cerpen dan novel yang ditulis oleh Joko Pinurbo. Sebagian lagi baru mengenal seiring kabar wafatnya meluas di kanal media sosial, dan sedikit dari kedua kategori itu sudah mengenal Joko Pinurbo melalui puisi-puisinya baik dalam bentuk buku, musikalisasi puisi, puisi-twit yang lalu lalang di tiktok, instagram dan twitter, sesuatu yang digeluti Joko Pinurbo di usia senjanya.
Dari situ dan dari acara
semacam ini, saya kembali optimis bahwa karya sastra akan terus diperlukan bagi
negeri ini. Bukan saja karena gagasan yang termaktub di dalam karya yang
dituliskan melalui medium sastra, tapi lebih jauh dari itu yakni mengasah
imajinasi, melatih kepekaan atas laju zaman, menajamkan persepektif atau sudut pandang, dan
merengkuh "rasa" berbahasa dengan tetap berpijak pada rasionalitas dan
kritisisme.
Tidak terasa magrib tiba. Saya
pun pamit meninggalkan lokasi acara. Jelas saya bahagia, seraya berharap sesi
diskusi malam harinya makin meyakinkan masing-masing kita bahwa suatu negeri disebut
memiliki peradaban tinggi itu karena tumbuh suburnya karya sastra maupun dunia pemikiran, yang keduanya sangat bergantung pada budaya literasi sebagai penyanggah utama.
Kabarnya, diskusi sesi malam hari dalam rangka mengenang Penyair Joko Pinurbo yang dianggit oleh sastrawan Dwi Rahariyoso dan teaterawan Titas Suwanda beserta pengisi acara lainnya tetap menyala. Alhamdulillah, panjang umur kesusastraan untuk peradaban. Nyala api gagasan itu tidak boleh padam!
*Kota Jambi.
0 Komentar