K.H. Abdul Hakim Mahfudz, Pengasuh Pesantren Tebuireng |
Oleh: Jumardi Putra*
“Ojo lali yo, sesuk Mbah K.H. Abdul Hakim Mahfudz teko neng Jambi,” begitu pesan pendek via WhatsApp dari Toha, sahabat saya asal Tungkal, mengabarkan perihal kedatangan pengasuh Pesantren Tebuireng itu di Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi.
Menerima pesan malam hari dan dilanjutkan video call di pagi hari itu memaksa saya bergegas mandi dan bersiap-siap. Menimbang jadwal sang Kiai di Kota Jambi cukup padat dalam waktu yang relatif singkat, saya segera menuju Perumahan elit New Castle lantaran acara dimulai pagi sampai menjelang shalat Jumat, 21 Juni 2024. Lepas zuhur, K.H. Abdul Hakim Mahfudz bakal melanjutkan penerbangan ke Jakarta dan selanjutnya menuju Banten.
Keinginan saya bersua sang kiai bukan tanpa alasan. Beberapa kali kedatangan zuriat Khadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pahlawan nasional sekaligus pendiri Pesantren Tebuireng dan organisasi besar Nahdlatul Ulama, ke Jambi, tepatnya ke Kabupaten Tanjung Jabung Barat, saya berhalangan hadir karena kesibukan dan jarak tempuh antara kota Jambi dengan Tungkal, lazimnya lokasi hajat.
Saat yang sama, kehendak saya berkunjung ke Tebuireng di Jombang, Jawa Timur, bukan perkara mudah. Terakhir kali saya ke Tebuireng medio 2018, dimana Tebuireng masih dipimpin K.H. Sholahuddin Wahid atau akrab disapa Gus Sholah, adik dari K.H. Abdurrahmawan Wahid (Gus Dur), yang tak lain anak dari K.H. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI pertama. Cukup lama menanggung kerinduan pada pesantren Tebuireng, tempat saya nyantri mulai tahun 2000 sampai 2004. Rentang waktu itu Tebuireng masih dipimpin oleh K.H. Yusuf Hasyim, putra bungsu dari Khadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari.
“Kali ini saya tidak boleh lagi menyia-nyiakan kehadiran pengasuh Tebuireng yang langsung datang ke Jambi,” batinku.
Kehadiran K.H. Abdul Hakim Mahfudz ke Jambi memenuhi undangan alumni dan wali santri Tebuireng maupun organisasi Ikatan Alumni Pesantreng Tebuireng (disingkat IKAPETE) cabang Jambi. Dari banyak tamu yang hadir umumnya berasal dari Tanjung Jabung Barat. Sependek yang saya tahu, santri asal Provinsi Jambi yang banyak menimba ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, berasal dari kota berjuluk “Serengkuh Dayung Serentak Ketujuan” itu. Mungkin saja alumni Tebuireng dari Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Jambi juga banyak, tetapi belum terdata dengan baik. Saya berharap, bersamaan dengan telah terbentuknya belasan organisasi cabang ikatan alumni pesantren Tebuireng di Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia (disingkat IKAPETE), bakal berhimpun lebih banyak lagi alumni Tebuireng dari pelbagai latar belakang profesi. Hal itu bukan mustahil, karena sejak Tebuireng pertama kali berdiri pada 1899 sampai 1930an sudah meluluskan ribuan santri secara nasional.
Alumni dan wali santri bersama K.H. Abdul Hakim Mahfudz |
Momen yang ditunggu-tunggu pun tiba, diiringi lantunan shalawat, sang Kiai hadir di antara kami. Sebagaimana antusiasme tamu yang lainnya, saya pun menyambut dan menyalami beliau. Pertemuan para alumni dan wali santri Tebuireng berlangsung di kediaman Haji Abdul Hamid, politisi PKB sekaligus Ketua Komisi II DPRD Provinsi Jambi, yang adalah juga wali santri dari anaknya yang sedang nyantri di Pesantren Tebuireng.
Meski saya kerap berjumpa dengan Haji Abdul Hamid, pada momen itu pula kami sama-sama menyadari memiliki keterikatan dengan Pesantren Tebuireng, salah satu Pesantren tertua dalam sejarah lembaga pendidikan Islam Indonesia.
Namanya juga santri, acara didesain santai dengan tetap menjaga kekhidmatan bersama sang Kiai dan Bu Nyai Hj. Lelly Lailiyah. Seisi rumah Haji Abdul Hamid dipenuhi alumni santri dan wali santri/santriwati. Bahkan, hadir beberapa orang tua yang membawakan anaknya yang akan nyantri di Tebuireng, seiring jadwal penerimaan santri baru tahun ini. Usai mendengar sekapur sirih dari unsur pimpinan IKAPETE cabang Jambi, sekretaris presidium nasional IKAPETE, unsur pimpinan yang mengurusi Pesantren Cabang Tebuireng se Indonesia, barulah wejangan dari K.H. Abdul Hakim Mahfudz selaku Pengasuh Pesantren Tebuireng.
Wajah beliau membawa keteduhan. Wejangannya pun disampaikan dengan suara pelan, sembari diselipi guyonan, khas santri. Meski diakui kelelahan lantaran keliling beberapa kota di Indonesia, senyum beliau tetap terpancar sehingga menambah keistimewaan pertemuan pagi hari itu. Beliau berpakaian laiknya warga pada umumnya. Mengenakan celana hitam panjang, baju koko lengan panjang perpaduan warna hitam, hijau, kuning dan garis putih di dada serta berkopiah hitam dengan rambut tipis putih menyeluruh. Sikap tawadu’ beliau begitu saya rasakan, dan itu pula pelajaran yang digembleng oleh para masyaiikh Tebuireng kepada seluruh santrinya. Meski Khadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari adalah sosok ulama besar dan disegani pada masanya karena reputasi keilmuan maupun perjuangannya bagi agama dan republik ini, itu tidak lantas menjadikan para santrinya dibenarkan bersikap arogan. Sebagai santri kami tidak diajarkan bersikap eksklusif, rasis dan taqlid buta, melainkan diajarkan toleran, berakhlak baik, terus belajar, profesional, berjejaring dengan banyak komponen masyarakat dan bermanfaat bagi sesama. Bahkan, dalam pandangan saya, sekalipun Tebuireng merupakan basis penting dari Nahdlatul Ulama, itu bukan berarti para santri dibenarkan berpikir sempit dan bersikap menjadikan NU sebagai satu-satunya organisasi keagamaan paling hebat dan benar, melainkan santri diberi ruang terbuka lebar untuk mempelajari dan berkolaborasi dengan organisasi lain dalam pelbagai bentuk di luar NU yang familiar dikenal melalui sosok maupun pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari, sang pendiri.
Saya sendiri memilih duduk tidak jauh dari posisi K.H. Abdul Hakim Mahfudz, hanya berjarak lima orang sesama alumni. Di sebelah kanan saya saudara Azro'i, santri Tebuireng sembilan tahun di bawah angkatan generasi saya, yang juga sedang menseriusi penelitian dan publikasi tentang sosok dan karya Ulama-ulama hebat Jambi. Sepanjang wejangan K.H. Abdul Hakim Mahfudz, sosok maupun penggalan pemikiran Khadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari, paling sering beliau utarakan. Kata kunci yang berulang kali beliau bentangkan yaitu silaturahmi, persatuan, belajar, dan membantu kesejahteraan sesama (maslahah ammah), yang itu tidak lain ajaran maupun pemikiran dari K.H. Hasyim Asy’ari semasa hidup dan selama membidani Pesantren Tebuireng di masa awal hingga beliau wafat.
Selain mencuplik sejarah peran dan keikutsertaan K.H. Hasyim Asy’ari pada pelbagai organisasi keagamaan yang ikut berjuang dalam proses kemerdekaan Indonesia dari kaum penjajah kolonial Jepang maupun Belanda, ia juga menceritakan masa awal pendirian Pesantren pada 26 Rabiul Awal 1317 H (bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M) di dusun Tebuireng, nama sebuah pedukuhan yang termasuk wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, berada pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah selatan, atau hanya berjarak sekitar 200 meter dari Pabrik gula milik pemerintah kolonial Belanda, yang dulunya adalah sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran, serta berbagai perilaku barbar lainnya di wilayah Kabupaten Jombang.
Penulis bersama K.H. Abdul Hakim Mahfudz |
K.H. Hasyim Asyari bersama santri-santrinya kemudian secara bertahap berhasil mengubah pola hidup masyarakat dusun tersebut dari semula berperilaku buruk menjadi lebih baik. Tidak hanya itu, saban Selasa adalah waktu khusus bagi K.H. Hasyim Asy’ari membantu ekonomi warga di sekitar pesantren dan wilayah lainnya di Jombang melalui pelbagai bentuk kegiatan. Itulah kenapa, pada hari Selasa, seluruh aktivitas pembelajaran santri Tebuieng diliburkan. Benar saja, tradisi demikian itu masih saya rasakan saat nyantri di Tebuireng tahun 2000 sampai 2024.
Alhmadulillah, lanjut K.H. Abdul Hakim Mahfudz, seiring perubahan zaman, berkat dedikasi dan keteladanan KH. Hasyim Asy’ari, pondok pesantren Tebuireng sampai saat ini telah banyak melahirkan tokoh yang pemikirannya sangat berpengaruh di Tanah Air. Ia mencontohkan, salah duaya adalah Presiden keempat RI K.H. Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur yang merupakan putera dari Menteri Agama pertama RI K.H. Wahid Hasyim yang tak lain adalah cucu dari K.H.Hasyim Asyari. Begitu juga Wakil Presiden RI kabinet kerja Jilid II Presiden Jokowi, yaitu Prof. KH. Ma’ruf Amin, yang pernah nyantri tiga tahun di Pesantren Tebuireng, dan masih banyak tokoh kaliber nasional maupun internasional lainnya.
Seturut hal itu, cicit dari K.H. Hasyim Asy’ari ini menceritakan maksud dan tujuan dihidupkan kembali organisasi IKAPTE dan usahanya mengembangkan Pesantren Tebuireng setelah sebelumnya dipimpin K.H. Sholahuddin Wahid maupun K.H. Yusuf Hasyim, putra bungsu dari K.H. Hasyim Asy’ari. “Masa kepemimpinan K.H. Sholahuddin Wahid, manajemen pesantren dan pemenuhan fasilitas belajar bagi santri berkembang pesat, jadi tugas saya sekarang menjadikannya lebih maju, dan itu bukan tugas yang mudah, sehingga keberadaan alumni maupun wali santri menjadi penting untuk bersama-sama meningkatkan kualitas pendidikan pesantren Tebuireng,” imbuhnya.
Di raut wajah beliau, saya melihat terpancar optimisme bahwa ke depan Tebuireng mampu mencetak santri-santri yang berkualitas seperti Gus Dur dan Gus Sholah lainnya yang akan selalu mengembangkan nilai-nilai pendidikan, moral dan kebangsaan di negeri ini. Apatah lagi, merujuk pelbagai sumber berita, selain tumbuh dalam tradisi pesantren dari garis ayah dan ibu maupun kakeknya, K.H. Abdul Hakim Mahfudz atau akrab disapa Gus Kikin, jauh sebelum dipercaya meneruskan estapet pucuk kepemimpinan Tebuireng dari para pengasuh sebelumnya, adalah sosok yang telah berkecimpung lama dalam dunia bisnis pelayaran, transportasi, minyak dan gas bumi. Semoga pengalaman manajerial Kiai kelahiran 17 Agustus 1958 ini berkontribusi positif bagi peningkatan mutu Pesantren Tebuireng dengan tetap berpijak pada cita-cita Tebuireng yang didirikan oleh Mahaguru K.H. Hasyim Asy’ari.
"Sebetulnya garis kurikulum pendidikan yang kita jalankan di Ponpes Tebuireng ini memang sudah diletakkan fondasinya oleh pendiri K.H. Hasyim Asy'ari dan selanjutnya dikembangkan oleh K.H. Wahid Hasyim. Kita akan melanjutkan itu terutama di bidang pendidikan. Itu yang sekarang kita angkat kembali, terutama bagaimana membentuk akhlak santri yang baik, memiliki kompetensi dan mengasah rasa kebangsaannya agar tidak luntur di tengah tantangan ekonomi-politik global sekarang," pungkasnya.
*Kota Jambi, 23 Juni 2024.
0 Komentar