ilustrasi. sumber:pngtree.com |
Oleh: Jumardi Putra*
Di lorong stasiun kereta,
di tengah lalu-lalang manusia berjalan tergesa-gesa, kau berkata, "Sukma,
tunggu aku beberapa purnama lagi. Kan kubawa sebentuk hatiku menggenapi
rasa rindumu. Tunggu aku di sini, saat sorot matamu yang indah kukecupi”.
Purnama itu berkali-kali datang
setelahnya, tapi kereta yang kutunggu tanpa membawamu. Di antara tiang-tiang
penyangga atap kereta yang berdiri mematung, kulihat deret bangku kosong direnggut
sepi, seperti hatiku.
Aku menantimu di peron stasiun biasanya, tapi tak kutemukan senyummu di antara banyak wajah di gerbong itu sebagai penawar rindu. Kereta datang silih berganti, melesat meninggalkan embun mataku yang membisu.
Malam menjelma rute yang teramat panjang, penuh liku. Rembulan redup oleh gundahku. Hanya secarik kertas berisikan puisi darimu tergeletak di ranjangku, berbunyi “Bila malam ini didera sepi, kau boleh meminjam riuh ingatanku. Kuceritakan jika pada kedua telapak tanganmu pernah kutulis sajak-sajak cinta paling masyhur yang belum pernah kau dapati dari pujangga lain di jagad ini.”
Hari ke hari. Di antara sirene keberangkatan dan kedatangan kereta di stasiun yang sama, di antara malam dan siang yang saling bekejaran, aku menitipkan rinduku yang mulai rapuh pada deretan bangku di gerbong kereta api yang bersemedi dalam diam.
Pada suatu purnama tak berbilang, sebelum kereta yang pernah memberangkatkanmu menuju stasiun pemberhentian terakhirmu, saya dihampiri seorang masinis, lalu ia berkata, “Jika kereta yang kau nantikan tidak berhenti di stasiunmu, maka itu bukan keretamu".
***
Peluit kereta sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Kereta
yang akan membawamu segera datang, kekasihku. Makin dekat, roda-roda berderit
panjang.
Dari stasiun ke stasiun, kedatangan dan keberangkatan menabalkan
kenangan. Kesemuanya ditautkan oleh perasaan, bukan tersebab jarak yang memisahkan.
Sebelum kereta berangkat, dari luar gerbong kereta, aku
memandangmu lebih lama, bahkan kata selamat jalan tak terucapkan. Wajahmu
perlahan hilang bersamaan gemuruh kereta bergerak kencang.
Di ujung peron aku termenung lama, teringat kecupanmu di keningku tanpa pesan. Kau pergi untuk waktu yang tidak kuketahui kapan kembali. Selain menantimu di stasiun ini di hari-hari berikutnya, kemana langkahku pergi? Jangan penjara aku dalam jeruji rindu yang membeku.
***
Stasiun demi stasiun terlewati. Kesendirianku menembus rute malam
yang panjang. Kutemui risau pada setiap helaan nafas tanpa kabar baik darimu. Selongsong cahaya di luar kaca jendela kereta menemukan garis
hidupnya sendiri. Semua yang kulihat di luar sana berlalu dengan begitu cepat. Silih
berganti.
Sebelum keretaku tiba di pemberhentian terakhir, bait-bait puisi yang kutulis sepanjang perjalanan tidak cukup menggambarkan kenangan tentang caraku menemukanmu.
Kau di mana sekarang, sayang. Lalu apa yang ada di sini yang terus gemuruh ini? Sunyi dengan bahasa yang tak dipahami bunyi.
*Tulisan-tulisan saya lainnya dapat dibaca di link berikut ini:
0 Komentar