ilustrasi. sumber: justnicevs.best |
Oleh: Jumardi Putra*
Kota Jambi adalah “latar
depan” dari Provinsi Jambi. Itu artinya,
Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota
Jambi, yang baru saja merayakan hari jadinya ke 623 ini akan menjadi pusat
perhatian di mata daerah-daerah lain di tanah air, setidaknya regional Sumatera.
Setakat hal itu, sesuai urusan dan kewenangan yang dimandatkan oleh
Undang-Undang Tentang Pemerintah Daerah, paradigma pembangunan pasca reformasi memberi
ruang terbuka bagi Kabupaten/Kota di setiap Provinsi untuk berpacu sekaligus
berkolaborasi menjadi daerah maju di pelbagai sektor.
Posisi strategis itu
berimplikasi pada Pemilihan Wali Kota Jambi November mendatang sehingga suhu
politiknya mulai memanas dari sekarang, seiring kemunculan beberapa nama bakal
calon Wali Kota yang menyatakan secara terbuka bakal merebut tampuk kekuasaan
tertinggi di Kota Jambi untuk periode 2024-2029. Sejauh ini, dibanding Pemilihan
Gubernur Provinsi Jambi, dinamika Pilwako Jambi 2024 boleh dikata terasa
ghirahnya. Hal itu setidaknya karena tiga hal yaitu pertama pemilihan Gubernur
maupun Bupati/Wali Kota berbasis multipartai dilaksanakan serentak. Kedua, masing-masing
partai politik memiliki calon kandidat kuat sehingga tidak terpusat pada satu sosok
kontestan (ini ujian berat bagi partai politik yang bermain aman demi “mahar”
dan jejaring pengaman kekuasaan), dan ketiga penopang ekosistem Kota
Jambi itu sendiri. Apatahlagi, di usia Pemerintah Kota Jambi menginjak ke 78
(1946-2024) atau lebih tua 11 tahun dibanding Pemerintah Provinsi Jambi (67
tahun: 1957-2024), pelbagai permasalahan maupun tantangan sebagai konsekuensi dari
gejolak ekonomi-politik nasional maupun di aras
global menuntut jalan keluar yang tepat sekaligus terukur.
Eksosistem Kota Jambi yang
saya maksud yaitu sebuah Kota yang bertumpu pada kualitas (kompetensi dan
kualifikasi) Sumber Daya Manusia (SDM) baik penyelenggaran pemerintah daerah
maupun warganya, tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel
berbasis teknologi, kehadiran banyak perguruan tinggi baik negeri maupun
swasta, keberadaan partai politik dan organisasi kemasyarakatan baik bercorak
kegamaaan, adat, kepemudaan, kemahasiswaan, kesenian, dan kelompok literasi, serta
titik simpul bagi banyak organisasi non pemerintahan (NGO) yang tersebar di
Kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi. Belum lagi sektor penggerak ekonomi di
Kota Jambi mulai dari perbankan, perhotelan, pariwisata, bandar udara,
pariwisata, pasar, dan jaringan pelaku usaha UMKM.
Pilwako Jambi 2024 menjadi ruang
dialektika dari banyak aktor sekaligus kepentingan yang mewakili interesnya
masing-masing, sehingga dalam waktu bersamaan ia menjadi medan juang pelbagai
komponen tersebut untuk bersama-sama menjadikan Pemilihan Walikota Jambi
sebagai manifestasi dari bentuk tanggungjawab pada kehidupan publik dan
demokrasi, bukan pribadi atau kelompok, serta membangun kebiasaan untuk tegas
menolak praktik korupsi, politik uang dan politik kekuasaan ansikh-dengan menghalalkan segala cara-
sehingga mengabaikan etika, moral dan hukum sebagai pemandu cahaya terang.
Konsepsi ideal itu mesti
menjadi komitmen sekaligus bahasa bersama, terutama bagi kelompok sipil
intelektual di seantero Kota Jambi, meski penyelenggaraan Pemilihan Presiden
maupun Pemilihan Anggota Legislatif belum lama ini menunjukkan bahwa orkestrasi
politik uang maupun otak-atik peraturan perundang-undangan yang dijalankan oleh
kekuasaan justru mengantar bangsa ini kembali ke ruang “gelap”, sehingga
membahayakan situasi negara dalam jangka panjang.
Salah satu cara agar Pilwako
Jambi tidak berhenti semata pada suksesi kepemimpinan Kota, sebagaimana yang
sudah-sudah, maka segenap warga Kota Jambi, terutama kelompok sipil intelektual
perlu kritis terhadap konstruksi populisme (ingin dicitrakan merakyat) yang
dipropagandakan oleh setiap Bacawako didukung oleh tim suksesnya melalui
janji-janji politik yang mengawang-ngawang dan karenanya menggiurkan, terutama
bagi masyarakat di akar rumput, sebut saja yang ramai dipercakapkan saat ini yaitu
bantuan keuangan dalam jumlah besar ke jajaran terbawah dari struktur lembaga
pemerintahan. Janji politik model itu sejatinya bukan hal baru, tapi makin
menjadi-jadi karena bersandar pada kekuatan “sihir” uang dengan tujuan elektoral,
sehingga menyeragamkan subjek wilayah/daerah dengan segala kompleksitasnya,
bukan berpijak pada visi-misi, ketepatan program dan kegiatan prioritas yang
masuk akal dengan tetap mengacu pada sistem pengelolaan keuangan daerah yang
diatur di dalam peraturan perundang-undangan, seraya melakukan optimalisasi
sumber pendapatan asli daerah sekaligus menjaga resiko terhadap kemandirian
fiskal.
APBD bukan lahan “bancakan”
yang dikelola seenaknya, tetapi ia mesti berkorelasi dengan permasalahan maupun
tantangan Kota Jambi saat ini hingga ke depan. Itu pun disusun berdasarkan
skema perencanaan secara berjenjang mulai dari level terbawah. Ringkasnya,
banyak program bantuan keuangan yang disalurkan ke tingkat kecamatan, kelurahan
dan Desa, bahkan RT, dengan segala macam kemasan, tetapi karena tidak dilandasi
pertimbangan yang matang baik dari sisi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban, sehingga membuatnya seolah percuma. Memang, dalam setiap laporan
keuangan daerah tahunan, realisasi keuangannya hampir mencapai seratus persen,
tetapi sejatinya gagal mengentaskan masalah yang disasar.
Pola jalan pintas itu tidak
sehat bagi sistem administrasi pemerintahan, lantaran tidak berangkat
berdasarkan kebutuhan untuk menjawab permasalahan yang dirasakan oleh
masyarakat akar rumput. Sialnya lagi, tidak sedikit perangkat Desa di Indonesia
masuk bui lantaran terkesima oleh uang yang digelontorkan tanpa didukung oleh
kesiapan SDM maupun sistem administrasi penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa kasus penindakan korupsi
oleh aparat penegak hukum (APH) paling banyak terjadi di sektor anggaran dana Desa
yakni sebanyak 154 kasus pada 2021
dengan potensi kerugian negara sebesar Rp233 miliar. Bantuan keuangan sejatinya
bukan sesuatu yang terlarang, tapi menimbang asas manfaatnya secara
komprehensif jauh lebih masuk akal demi efektifitas dan efisiensi penggunaan
anggaran yang bersumber dari APBD untuk kemaslahatan masyarakat.
Kota Jambi terdiri dari 11
(sebelas) kecamatan dan 62 (enam puluh dua) kelurahan. Belum lagi jumlah RT/RW.
Dengan demikian, setiap subjek daerah itu tidak dapat diseragamkan melalui
sebuah program “sapu jagat”, meski tujuan yang dicapai melalui visi-misi dan program
prioritas pembangunan yang dicanangkan (RPJMD dan RKPD) dalam sebuah periode
pemerintahan terpilih memuara pada satu keadaan ultima yaitu sebuah kota yang didukung
infrastruktur pelayanan publik yang memadai, sumber daya manusia unggul
didukung inovasi, pertumbuhan ekonomi tinggi sekaligus merata, penyelenggaraan pendidikan
maupun kesehatan yang bermutu sekaligus terjangkau, serta ruang sosial budaya
warga kota yang dinamis, responsif serta memiliki kemampuan resiliensi terhadap
segala bentuk bencana yang menghampiri.
Selanjutnya, Ibu Kota
Kabupaten yang terdekat dari Kota Jambi adalah Sengeti, yaitu Ibu Kota
Kabupaten Muaro Jambi dengan Jarak 29 Km. Dengan kata lain, sebelah Utara, Barat,
Selatan dan Timur Kota Jambi berbatasan dan/atau dikelilingi oleh Kabupaten
Muaro Jambi, sebuah daerah berkultur tua dengan ditandai jejak pemukiman kuno
di sepanjang Aliran Sungai Batanghari dan Kawasan Percandian Muarojambi,
cangkang bagi kecendiakaan di masa lampau.
Meski dibatasi administrasi wilayah,
baik Kota Jambi maupun Kabupaten Muarojambi tidak dapat dipisahkan oleh bentangan
ruang kebudayaan yang menghubungkannya sejak lama, sehingga meniscayakan kolaborasi
yang sama-sama menguntungkan ke depan, terutama pengembangan sektor
transportasi, pariwisata (melalui sektor akomodasi dan konsumsi bagi para
wisatawan), pengembangan UMKM, dan pengelolaan sampah yang menjadi isu krusial
menuju “Green & Smart City”, yang dicanangkan oleh kepemimpinan Kota Jambi periode
sebelumnya.
Dengan demikian, menolak
terhadap janji-janji politik jangka pendek berbasis pada kekuatan uang yang
ditawarkan oleh Bacawako adalah bentuk kesadaran kritis warga Kota Jambi yang bertumpu
pada substansi demokrasi serta kehidupan publik. Dari situ, warga Kota Jambi
menaikan level Pemilihan Wali Kota Jambi 2024 pada urusan-urusan publik yang mendesak
sekaligus berkonsekuensi jangka panjang yakni laju pertumbuhan penduduk; tuntutan
pelayanan publik yang cepat dan tepat; pengentasan jalan buruk; kemiskinan
ekstrem, konvergensi stunting, pengangguran dan inflasi; banjir kerap terjadi dengan
skala mengkhawatirkan seiring lahan serapan air yang terus berkurang; bangunan-bangunan
berada di garis sempadan sungai, transportasi publik, kemacetan parah; parkir liar;
konsumsi energi yang terus meningkat; sampah; kriminal; polusi; dan pelbagi persoalan
khas perkotaan lainnya yang beririsan dengan imbas komunikasi dan informasi
berbasis internet.
*Tulisan ini terbit pertama kali pada portal jamberita.com pada 04 Juni 2024.
*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:
1) Persoalan Funedamental Kepemimpinan Al Haris-Sani
2) Surat Terbuka Untuk Caleg DPR RI Dapil Jambi
3) Kritik, Demokrasi dan Kekuasaan Pasca Pemilu
4) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi
5) Anomali Pembangunan Provinsi Jambi 2023
6) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024
7) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023
8) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023
9) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024
10) Meneroka Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023
11) Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan
12) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan
13) Mengantar Al Haris-Sani Ke Gerbang Istana
14) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi
15) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi
16) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi
17) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai
18) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Otokritik
0 Komentar