Tak Ada yang Lebih Tabah dari Hujan Bulan Juni

ilustrasi. sumber: pxfuel.com

Oleh: Jumardi Putra*

Tak Ada yang Lebih Tabah dari Hujan Bulan Juni/Dirahasiakannya Rintik Rindunya Kepada Pohon Berbunga Itu

Demikian penggalan sajak penyair Sapardi Djoko Damono yang terkenal itu. Sajak yang sederhana, tapi sarat makna. Sajak yang berhasil memungut saripati ketabahan, kebijaksanaan, kearifan, dan puncaknya cinta yang melampaui konvensi, sekalipun tidak terungkapkan tapi dapat dirasakan.

Bukan kebetulan pula Juni yang sedang kita arungi, minimal merujuk cuaca di Kota Jambi, tempat saya mukim sekarang kerap dilanda hujan, meski terkadang diserang suhu panas tak ketulungan. Anomali cuaca tersebut yang mungkin menjadikan sajak itu populer sampai sekarang. Meskipun begitu, di ranah persajakan, penggalian makna tiap lariknya dapat menyingkap sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perubahan iklim yang tak bisa ditebak.

Maka, di kala hujan tiba, acapkali terlintas di pikiran saya, “Andai dipertemukan dengan Sapardi Djoko Damono, sekalipun dalam mimpi, saya ingin bertanya apa resep keberhasilan dirinya menulis sajak semenarik Hujan Bulan Juni?”

Tahun lalu, Senin, 20 Maret 2023, Guru Besar Sastra Universitas Indonesia itu tampil di halaman muka Google dengan desain doodle spesial. Google Doodle tersebut dibuat khusus untuk merayakan hari ulang tahun ke 83 Sapardi Djoko Damono yang wafat pada 19 Juli 2020 sebagai salah satu sosok penting dalam jagad kesusastraan Indonesia.

Google Doodle merupakan perubahan logo khusus dan bersifat sementara di beranda Google yang dimaksudkan untuk merayakan momen penting, peristiwa unik maupun riwayat hidup para tokoh ternama dunia, seperti juga memperingati kehidupan para seniman, pelopor dan ilmuwan hebat.

Ilustrasi doodle sosok Sapardi yang tengah berdiri di tengah rintik hujan sambil membawa sebuah buku dan payung mengingatkan saya pada salah satu kumpulan sajaknya yang populer pada tahun 1994 berjudul Hujan Bulan Juni, seperti judul tulisan ini. Penggambaran demikian itu terasa pas bagi sosok yang kerap disebut penyair romantis itu. Bahkan, sajak-sajak romantisnya kini terus dijadikan bacaan oleh masyarakat, khususnya kaum remaja. Apatah lagi di era media sosial sekarang, larik sajak-sajaknya kerap berseliweran di beranda facebook, instagram dan tiktok.

Buku Puisi karya SDD

Merujuk Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (1988) karya Pamusuk Eneste, pria kelahiran 20 Maret 1940 di Surakarta itu digolongkan ke dalam kelompok pengarang angkatan 1970-an. Sedangkan dalam Sastra Indonesia Modern II (1989) karya Prof. A Teeuw, Sapardi digambarkan sebagai cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar tahun 1960.

Salah satu sajak SDD yang familiar adalah Aku Ingin (1989) yang dimasukkan ke dalam buku kumpulan puisi berjudul "Hujan Bulan Juni" (terbit 1994) berikut ini:  Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api, yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan, yang menjadikannya tiada. Sekali lagi, cinta yang tak terucap agaknya menjadi motif utama puisi Sapardi. Walakin, Aku Ingin sedikit berbeda dari sajak Hujan Bulan Juni lantaran jadi pengakuan cinta yang tak kuasa dibendung lagi.

Berikut sajak hujan bulan juni secara lengkap:

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

 

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu


Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu.


Menafsirkan bait-bait sajak Hujan Bulan Juni tentu akan berbeda bagi setiap pembaca, sangat bergantung pada kedalaman emosi dan bentang pengalaman masing-masing individu. Akan tetapi, secara garis besar dapat dipahami jika puisi itu bercerita tentang cinta yang tidak terucap: rintik rindu yang dirahasiakan kepada pohon dan bunga, tapi bisa dirasakan.

Selain itu, pada sajak Hujan Bulan Juni pembaca dapat mengetahui berpadunya elemen alam dengan rangkaian kata puitis nan romantis, tapi tidak jatuh pada kegenitan atau sikap gombal yang mudah ditebak. Di situlah kekuatan Sapardi Djoko Damono, karena berhasil menyuling peristiwa di dalam maupun di luar dirinya melalui kata-kata (bahasa) sehingga menjadi sesuatu yang bermakna intens.

Tak syak, Hujan Bulan Juni—dan pengarangnya—terus diapresiasi dan mendapat banyak penggemar, salah satunya ia memeroleh Anugerah Buku Asean 2018 kategori Anugerah Kompilasi Buku Terbaik untuk Hujan Bulan Juni yang diselenggarakan Kuala Lumpur International Book Fair.

Selain sebagai sajak, Hujan Bulan Juni juga telah diadaptasi menjadi novel, komik, lagu, hingga film. Diakui Sapardi, puisi Hujan Bulan Juni bermula dari kumpulan puisi yang kemudian berkembang menjadi sebuah novel trilogi. Sapardi menulis sajak tersebut medio 1964-1994. Kumpulan sajak Hujan Bulan Juni telah dialihbahasakan ke dalam 4 bahasa yakni Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin.

Saya termasuk pembaca sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Tak syak, sajak-sajaknya turut menjadi sumber ide bagi saya untuk menulis sepilihan sajak berikut ini:

Hujan sudah berhenti. Aku khawatir kau juga akan begitu. Makin jauh dari penglihatanku. Pada setiap hujan kusediakan payung. Tidak untuk menolak kehadirannya. Melainkan aku ingin melihat dari jarak terdekat saat rerintik hujan jatuh perlahan di bucunya, lalu berlabuh di pipimu. Sanggupkah aku menjumlahkan rintik hujan di sabana pipimu? Bukan itu yang kutuju, karena jernih hujan tidak lain adalah bening matamu.

**

Hutan senang bila kau menjelajahinya dengan kaki telanjang. Begitu juga pepohonan riang tak kepalang melihat rambut panjangmu terurai disaksikan riuh dedaunan. Bersamaan rinai hujan, angin meliuk-liuk tak tergapai mengabadikan sepotong bibirmu yang piawai merapalkan tembang rindu dalam balutan kenangan.

**

Hujan bukan perlambangan dari kesedihan mahapanjang. Sama sekali bukan. Hujan adalah bahasa paling purba tentang kesediaan mengasihi. Ia hadir tidak lantas menggantikan senja maupun malam yang disertai purnama. Hujan, sebagaimana takdirnya jatuh berkali-kali, dan tidak pernah mengeluh karenanya.

** 

Senja keburu berganti malam, tetapi sukar membayangkan bila satu hari penuh tanpanya. Tersebab fajar memercikkan embun sebelum mentari menyiangi, senja juga begitu, yang bersukacita membersamai matahari pulang ke peraduannya sekaligus menyambut bintang-bintang dan rembulan menjalani takdirnya. Senja, sekalipun singkat, darinya kita memungut serpihan makna, yang bila tanpanya tiada berguna.

Sebagai peristiwa metafor, apa yang bisa dipetik dari hujan? Jernih air hujan yang turun dari langit tidak melulu dalam makna tunggal yaitu bening sebagaimana umumnya kita ketahui, dan demikian itu disebut sebagai semata putih-bersih, tetapi sejatinya air hujan juga datang dari mendung hitam yang tebal. Karenanya bening melampaui makna harfiahnya.

Tidak saja pada hujan, bahkan pada mendung hitam dan petir yang menggelegar kita bisa memetik pelajaran bahwa hidup ini tidak untuk jatuh tersungkur pada satu manifesto, melainkan menempatkan diri secara terbuka pada yang beragam, selain dengan tujuan untuk menemukan sudut yang tepat untuk mengartikannya, juga menemukan kemungkinan-kemungkinan keberartian.

Demikian parenungan saya tentang hujan baik sebagai peristiwa faktual maupun metafor. Maka, masuk dan masyuklah ke dalam hujan itu sendiri. Tidak hanya untuk membasuh pikiran yang dangkal, tetapi juga untuk melepas tubuh dari lilitan aktivisme yang seolah-olah telah menemukan jawaban atas persoalan kehidupan yang bersegi banyak.


*Kota Jambi, 24 Juni 2024.

0 Komentar