Batanghari, 1877-1879. |
Pucuk atau (se)pucuk, mana yang sahih?
Bila tuan dan puan mencermati lambang daerah Provinsi Jambi, khususnya kalimat
yang tertera di dalam sebuah pita bergulung tiga dan kedua belah ujungnya
bersegi dua, diketahui berbunyi “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”.
Kalimat itu meneguhkan tujuh komponen pada lambang resmi Jambi yaitu bidang dasar persegi lima, masjid, enam lobang dalam masjid, keris siginjei, cerana pakai kain penutup persegi sembilan, gong, dan empat garis, yang keseluruhannya disebut identitas Provinsi Jambi dan telah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 1 tahun 1969 atau tepatnya 55 tahun lalu dihitung dari sekarang (2024). Merujuk buku karya H.A.M. Husni berjudul Catatan Sang Tokoh: Menelusuri dan Meniti Perjalanan Sejarah Jambi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Sepanjang Masa (2001), disebutkan pemenang lambang daerah Provinsi Jambi adalah Azwir AS, BE, seorang staf PU Jambi. Sayangnya, Husni tidak menjelaskan secara detail sosok tersebut sekaligus proses sayembara pembuatan lambang daerah Jambi.
Tak pelak, kalimat itulah yang masyhur di kalangan pejabat
pemerintah daerah dan warga Jambi umumnya, tidak terkecuali bagi orang-orang
dari luar Jambi. Masuk akal pula lembar publikasi resmi Pemerintah Provinsi
Jambi dan tulisan-tulisan yang bertitimangsa pada daerah Jambi selalu
bersinggungan dengan kalimat sloganik tersebut. Kalimat itu dimaksudkan
melambangkan kebesaran kesatuan wilayah geografis 9 Daerah Aliran Sungai (DAS)
dan lingkup wilayah adat dari Jambi seperti bunyi Seloko “Sialang Belantak Besi Sampai Durian Batakuk Rajo dan Diombak
nan Badebur, Tanjung Jabung”. Dengan kata lain, penempatan lambang daerah itu menggambarkan
wilayah Provinsi Jambi pada saat ini tidak berubah dari batasan wilayah
kerajaan Jambi yang melingkupi sembilan daerah aliran sungai yaitu Batang
Jujuhan, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Tabir, Batang pelepat, Batang Sumai,
Batang Merangin, Batang Asai, dan Batang Tembesi. Yang menyatu dengan
Batanghari sampai ke muara Kuala Jambi. Sedangkan Batang Pengabuan sudah
menyatu di bagian ulu di Batang Sumai.
Hingga tulisan ini tayang, saya belum menemukan dokumen naskah akademik
atau semacam nota penjelasan penggunaan kalimat “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”,
kecuali penggalan-penggalan narasi dalam buku-buku yang menganggit sejarah
Jambi, itu pun tidak memadai untuk mendapatkan jawaban yang seterang-terangnya.
Namun, penting diketahui, di tengah familiar bunyi kalimat itu (dan itu jelas
merupakan sebuah konstruksi seperti arti pada tujuh logo yang dipakai), muncul
pendapat yang menilai ada kejanggalan dalam penulisan kalimat tersebut, khususnya
pemakaian kata “Sepucuk” dan “Pucuk”, sehingga perlu diluruskan (untuk menyebut
dikoreksi). Agaknya, jika itu disebut salah ketik, jelas itu tindakan
gegabah. Atau mengatakan dengan enteng yaitu terlalu panjang bila harus
menyebut keseluruhan dari wilayah Jambi mulai
dari Tanjung Samalidu: 1. Wilayah Tujuh Koto - menyusuri Sungai Lang Sisip
Tebo, 2. Sembilan Koto sampai wilayah Bungo, 3. Tanah Pilih, dan 4. Puncak
(Pucuk) Jambi 9 Lurah.
Seraya menelusuri sumber sejarah Jambi, saya kerap mendengar ucapan beberapa tokoh pendiri Jambi menyebut kata “Pucuk” ketimbang “Sepucuk”, dan bahkan sayup-sayup terdengar sampai sekarang dari orang-orang tua di Jambi baik saat dikusi maupun bincang-bincang santai. Sebut saja tokoh Jambi yaitu Hanafie, Ketua Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) dalam sambutannya bertepatan peresmian Provinsi Jambi dan Pelantikan Acting Gubernur Jambi pada 8 Februari 1957 yaitu jelas menyebutkan hubungan masyarakat (sosiologi) daerah Djambi adalah satu daerah yang bersatu dalam persatuan Pucuk Djambi Sembilan Lurah, satu adat istiadat, satu perasaan dan cita-cita tak mau dipisahkan mempunyai sejarah sejak bahari berdiri sendiri serta mempunyai batas yang masih dapat disaksikan kebenarannya yaitu dari Sialang Belantak Besi (Tanjung Samalindu) dari Durian Ditakuk Radjo (Ulu Siau Bangko) sampai ke ujung Berhala.
Begitu juga sejarahwan Fachruddin Saudagar dalam makalahnya pada Seminar Melayu Kuno tahun 1992 berjudul Perkembangan Sejarah Melayu Kuno di Jambi Pada Zaman Sejarah Melayu Kuno menulis “...masyarakat adat Jambi terdapat istilah Pucuk Jambi Sembilan Lurah (halaman 219-220). Pandangan Fahruddin merujuk pendapat Djakfar (1958) dan Mukty Nasruddin (1989). Hal itu pernah saya konfirmasi langsung kepada Fakhruddin saat kami bersama tokoh Jambi lainnya bergiat di Dewan Kesenian Provinsi Jambi dalam rentang waktu 2011-2013.
Tidak hanya itu, 2001 Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi menerbitkan
buku jilid I dan jilid II Sejarah Adat Melayu dan Hukum Adat Jambi berjudul Pokok-Pokok
Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Begitu juga saya temukan dalam buku Sejarah
Provinsi Sumatera Tengah terbitan Kementerian Penerangan pada 1953 halaman 1013
tertulis “Pucuk Jambi Sembilan Lurah” dan buku Sejarah Kebangkitan Nasional
Daerah Jambi pada halaman 26 berbunyi "......wilayah administrasi Kerajaan
Jambi meliputi daerah sebagaimana tertuang dalam adagium adat Pucuk Jambi
Sembilan Lurah Batangnyo Alam Berajo. Ringkasnya, masih banyak lagi saya temukan
bunyi kalimat serupa lainnya yang merujuk pada kata “Pucuk”, bukan “Sepucuk”,
baik itu ditulis dalam rentang waktu sebelum maupun setelah Perda lambang
daerah Provinsi Jambi resmi ditetapkan. Benar saja, implikasi dari pemakaian kata
itu lebih dari sekadar urusan memakai kata “se” dan atau tanpa melekatkannya
pada kata "pucuk".
Berdasarkan penelusuran atas sumber kepustakaan, koreksi terhadap kalimat yang tertera dalam sebuah pita pada logo Provinsi Jambi itu datang dari penulis sejarah Jambi yaitu A. Mukty Nasruddin pada 1989 atau setelah 20 tahun perda itu ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) pada 7 April 1969. Meski monografnya tentang sejarah Jambi berjudul “Jambi dalam Sejarah Nusantara: Mulai 694 sampai 1949” banyak dirujuk sejarahwan baik dalam maupun luar negeri, sosok pria kelahiran Desa Gurun Tuo, Kab. Sarolangun Bangku (kini Merangin) 1925 ini tidak banyak diketahui publik Jambi, apatah lagi generasi sekarang (Tulisan saya tentang sosok ini dapat dibaca di sini https://www.jumardiputra.com/2020/08/a-mukty-nasruddin-penulis-sejarah-jambi.html).
Dalam bukunya, Mukty konsisten menggunakan kata “Pucuk” ketimbang
“Sepucuk”. Menurutnya Pucuk Jambi adalah bagian uluan di dataran tinggi yang
disebut Belanda “het bovenland”. Pada zaman Kerajaan Melayu Jambi/Kesultanan,
di daerah pegunungan Bukit Barisan itu dibagi dalam IX Negeri dengan istilah IX
Lurah. Mencermati kepada istilah nama asal wilayahnya tentu kepala negerinya
sebelum itu adalah Lurah, dimana jabatan tersebut pada bagian daerah lainnya di
Jambi saat bersamaan tidak dipakai, melainkan lazim juga disebut Rio, Depati,
dan lain-lain. Usai tunduk kepada Raja Jambi, kepala pemerintahan IX Lurah ini
bergelar Depati dengan rincian sebagai berikut: empat di bagian atas di Kerinci yaitu (1) Depati
Rencong Telang, (2) Depati Muaro Langkap, (3) Depati Biang Seri, dan (4) Depati
Atur Bumi. Selanjutnya, tiga di bagian tengah yaitu di Bangko tinggi yaitu (1) Depati
Setio Nyato, (2) Depati Setio Rajo, dan (3) Depati Setio Beti (bakti).
Kemudian, dua di baruh (bagian bawah) di Bangko rendah yaitu Pamuncak Pulau
Rengas dan Pembarap Pemenang.
Bagi Mukty Nasruddin, menimbang geografi dan strukturnya, maka yang
disebut Pucuk Jambi IX Lurah adalah daerah sembilan Depati tersebut dan dirinya
meyakini hal itu bukan untuk menyebutkan seluruh daerah Jambi seperti termuat
dalam lambang daerah Provinsi Jambi yang ditetapkan pada 1969. Hal itu karena susunan
kekuasaan pemerintahan Kerajaan Jambi ini dulu terdiri dari Alam Berajo, Batin
dan IX Lurah, yang dijelaskan oleh Mukty secara detail dalam bukunya dengan merujuk
sumber Belanda dan lokal. Begitu juga dirinya menyoal lambang daerah Provinsi
sekarang (1969) memuat gambar sebuah mesjid, keris, sebuah gong, lantas ada air
dan ada tanah, kemudian tersimpul dalam satu kata Sepucuk Jambi Sembilan Lurah,
yang bukan main banyaknya. Dalam tulisannya, ia seperti berkelakar “untung
tidak semua dimasukkan setiap yang ada semula dulu itu ke dalam lambang,
seperti kayu, rakit, senjata tulup, seligi, dan lain-lain”.
Mukty menyadari bagi orang-orang umum, mungkin soal lambang daerah ini
bukan menjadi persoalan dan sangat mungkin permisif, terserahlah. Tetapi, dalam
kacamata Mukty, bagi orang berpendidikan, mereka akan bingung karena mana
sebenarnya dari gambar itu menjadi pangkal pegangan awal bagi identitas
Provinsi Jambi, mesjidkah, keriskah, gongkah, airkah, dan kiranya
dioplos/campuradukkan seperti bahan kimia/parmasi sehingga hasilnya menjadi
obat apa?
Masih menurut Mukty Nasruddin, kata "sepucuk” menurut bahasa
lazimnya dipakai atau dimajmukan kepada surat dan bedil seperti sepucuk surat
dan sepucuk bedil. Maka, bila sekarang dikatakan sepucuk Jambi maka jelas itu menimbulkan
kerancuan. Ia lantas mengumpamakan sembari menegaskan bahwa tidak pernah mendengar orang mengatakan Sepucuk Medan atau Sepucuk Palembang. Begitu juga kejanggalannya
pada kata IX Lurah yang diartikan sungai. Merujuk kamus Melayu, Lurah itu
adalah di antara dua tebing yang dalam/curam, seperti selalu diucapkan orang
“mendaki gunung, menurun lurah”. Kalau juga dipaksakan kata lurah di sini
dikategorikan pada sungai, maka terdapat puluhan sungai yang dapat dilayari
motor (ketek) dan ratusan perahu di seantero wilayah Provinsi Jambi. Dengan
demikian, dalam padangan A. Mukty Nasruddin (1989: halaman 111-113) yaitu Pucuk
Jambi Jambi IX Lurah merupakan satu wilayah dalam daerah Jambi yang terdiri
dari sembilan adat distrik atau negeri pemerintahan adat.
Berselang 23 tahun setelahnya, muncul pandangan senafas dari Usman Meng,
tokoh Jambi yang menulis buku berjudul Napak Tilas Liku-Liku Provinsi Jambi
(Kerajaan Melayu Kuno sampai dengan Terbentuk Provinsi Jambi) terbit 1996.
Tahun 2012 pria kelahiran Muaro Tebo, 16 Februari 1921 ini menyoal pemakaian
kata “Sepucuk” pada logo resmi Provinsi Jambi yang diterbitkan menjadi perda
tahun 1969 (Ulasan saya tentang sosok Usman Meng dapat
dibaca di link https://www.jumardiputra.com/2021/01/napak-tilas-sejarah-jambi-warisan-usman.html). Dalam tulisannya, Usman Meng condong memakai
kata “Pucuk” ketimbang “sepucuk”, dengan bersandar pada pemakaian kata-kata itu
oleh tokoh atau generasi maupun buku yang ditulis jauh sebelum maupun setelah
Perda tersebut ditetapkan.
Usman Meng pun membentangkan data-data yang memakai kalimat "Pucuk
Jambi Sembilan Lurah” ke dalam dua kategori utama yaitu rentang waktu sebelum
dan sesudah Perda 1969 tentang Logo Provinsi Jambi diterbitkan, berikut ini:
- Raden Bangga Meartawijaya, menulis: “Pemerintahan Pangeran Rengas Pandak (yang memerintah Kerajaan Jambi dari tahun 1540-1565, pen) kerajaan Raja itu adalah seluruh Pucuk Jambi Sembilan Lurah belum tunduk kepadanya. Tulisan ini dimaktubkan pada 1841 atau 128 tahun sebelum perda itu dikeluarkan.
- Piagam Jujuhan: Tebo, Bungo, Pelepat, Senamat, Limun, Batang Asai, Merangin, Tembesi, Asam. Demikianlah yang dinamakan “Pucuk Jambi Sembilan Lurah”. Tulisan ini dibuat pada 1850 atau 119 tahun sebelum perda lambang daerah Provinsi Jambi diterbitkan.
- V. E Korn’s (dalam bahasa Belanda: memorie van overgave) terjemahannya lebih kurang “bahwa Tujuh Koto dan Sembilan Koto, Jebus, Air Hitam, Petajin, Mara Sebo. Demikian itu Pucuk Jambi Sembilan Lurah, ditulis pada 1936 atau 33 tahun sebelum perda itu dikeluarkan.
Sedangkan tulisan-tulisan yang menggunakan kata “Pucuk” setelah perda lambang daerah Provinsi Jambi diterbitkan, sebagai berikut:
- Raden Syarief bin Raden Kasim: ".......bagian ke-1, adapun Daerah Pucuk Jambi Sembilan Lurah ini......" Tulisan ini ditulis pada 1976 atau 7 tahun setelah Perda itu dikeluarkan.
- DR. Yang (tesis untuk mengambil gelar doktor) dalam Bahasa Inggris, halaman 98. Terjemahannya adalah sebagai berikut: "......suatu pernyataan mengakui wewenang Sultan mencakup seluruh bagian Jambi, seperti " Pucuk Jambi dan Sembilan Lurah", yang meliputi beberapa wilayah swatantra dari sembilan sungai....." Tulisan ini dibuat pada tahun 1985, 16 tahun setelah Perda itu dikeluarkan. Pada bagian ini saya belum mendapatkan sumber literatur yang pasti. Sependek yang saya tahu adalah Dr. Jang Aisjah Muttalib menulis disertasi di Columbia University (1977) dengan judul "Jambi 1900-1916: From War to Rebellion". Disertasi ini membahas dinamika gerakan perlawanan rakyat Jambi sebagai respon atas kebijakan baru Belanda dalam menghadapi situasi Jambi. Fokus kajiannya menganalisis bagaimana perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan sosio-religius memicu pemberontakan seta tahapan-tahapan pergerakan yang terjadi. Dalam satu tarikan nafas, sebaran wilayah dan struktur masyarakat Jambi ikut disinggung. Karena itu, literatur yang dirujuk oleh Usman Meng masih perlu divalidasi karena tidak disebutkan secara detail angka tahun sumber yang dirujuknya. Ulasan saya lebih lanjut mengenai Jang Aisjah Muttalib dapat di baca di link berikut ini: https://www.jumardiputra.com/2020/03/jang-aisjah-muttalib-sejarawan-yang.html
- Raden H. Abdullah, Riwayat Ditemukannya Tanah Pilih " Yayasan Tanah Pilih Jambi " "......lambang Jambi memakai Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, namun masyarakat tetap memakai istilah Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Tulisan ini dibuat pada 1995, 26 tahun setelah Perda itu dikeluarkan.
Bersandar pada hal-hal di atas, Usman Meng menghimbau agar publik Jambi merefleksikan pepatah lama "Kalau sesat di ujung jalan, mari kita kembali ke pangkal jalan ". Lantas ia mencontohkan pada zaman reformasi dimana Makasar yang semula diganti menjadi Ujung Pandang pada 31 Agustus 1971, lalu dikembalikan oleh masyarakatnya menjadi Makassar, tepatnya pada 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999. Begitu juga Papua diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto sewaktu meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, lalu dikembalikan oleh rakyatnya menjadi Papua tahun 2001. Dengan demikian, merujuk pepatah lama yang berbunyi “Jangan ditalakkan jalan ka aek dialih oleh orang lalu, jangan dibiakkan cupak gantang dirobah oleh orang datang,“ sejatinya Usman Meng ingin mengajak publik Jambi berani untuk mengoreksi dari semula “Pucuk” menjadi “Sepucuk” dan dikembalikan lagi ke “Pucuk Jambi Sembilan Lurah”.
Kemunculan pandangan dua tokoh Jambi ini perlu disambut dengan pikiran terbuka sekaligus menarik diungkai kembali, dan sejatinya demikianlah kerja pengetahuan, sebuah iklim yang
sekarang justru sayup-sayup dipercakapkan, bahkan di kalangan akademisi sendiri.
*Kota Jambi, 4 Juli 2024. Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik jejak portal www.kajanglako.com
0 Komentar