ilustrasi. sarapan pagi. |
Oleh: Jumardi Putra
Tidak ada dering telepon dari rekan kerja, lalu tidak ada chat WhatsApp yang harus saya balas segera. Pagi itu, saya terbangun di kamar hotel bersiap-siap untuk memulai pekerjaan yang dijadwalkan lepas zuhur. Pagi yang lapang. Waktu yang tepat untuk melepas penat setelah seminggu sebelumnya disibukkan urusan kantor.
Usai membasuh muka dan merapikan setumpuk dokumen kerjaan yang terserak di atas kasur, hal pertama yang saya lakukan adalah sarapan. Kali ini saya sendirian, tidak ditemani sahabat kantor sebagaimana biasanya. So, tidak ada yang perlu ditunggu untuk sarapan bersama. Tetiba saya teringat ucapan John Gunther, “All happiness depends on a leisurely breakfast”.
“Selamat istirahat, nomor kamarnya 509. Ini password internetnya. Besok breakfast sudah bisa dinikmati
mulai pukul 06:30 pagi di restoran di lantai satu,” begitu pesan resepsionis pada
saya saat check in sehari sebelumnya.
Sarapan itu tidak gratis. Tarif yang saya bayar untuk kamar hotel sudah
mencakup biaya untuk sarapan pagi. “So, all you can eat yang
seolah-olah gratis itu,” batinku.
Saya segera turun menggunakan lift
menuju lantai satu. Restoran mulai ramai. Berselang menit meninggalkan pintu
masuk restoran, saya mendengar concierge
memanggil seorang lelaki paruh baya di sebelah saya yang lagi menaruh nasi ke piringnya.
Saya pun sempat terhenti saat asyik memilih menu makanan kesukaan saya.
Staf hotel itu mengingatkan si bapak bahwa
reservasi hotelnya tidak termasuk sarapan pagi. Sontak, bapak itu terdiam dengan
mimik muka kebingungan dan piring masih di tangan. Ia lantas berusaha meyakinkan
bahwa pesanan hotel oleh temannya sudah termasuk sarapan. Namun,
bukti pemesanan hotel yang dipegang oleh staf hotel tadi itu menunjukkan si bapak
hanya menginap tanpa disertai sarapan. Yang dilakukan staf hotel tadi itu sudah
sesuai SOP untuk memastikan fasilitas yang didapat para pengunjung selama
menginap. Andai si bapak tadi itu tetap ngotot sarapan, biasanya saat check out kena cas tambahan biaya. Tak
pelak, percakapan dua orang itu menjadi perhatian bagi pengunjung lainnya yang
lalu lalang. Tidak terkecuali Waitress
yang bekerja melayani makan dan minum tamu restoran.
Saya yang berada dekat dengan dua orang itu lantas memotong pembicaraan mereka berdua, lalu mempersilakan si bapak agar menggunakan nomor kamar saya. Kebetulan jatah kamar saya untuk dua orang. Suasana pun kembali hening seketika. Si bapak mengucapkan terimakasih kepada saya, lalu dirinya melanjutkan memilih menu makanan yang tersedia. Begitu juga staf hotel mengamini permintaan saya, lalu ia meninggalkan kami.
Saya pun melanjutkan sarapan di sebuah meja, sendirian. Menikmati pagi dengan tenang tanpa tergesa-gesa untuk setangkup nasi, sayuran, kentang goreng, telor dadar, salad, tiga potong roti, dan secangkir susu plus air putih. Pagi dengan segala keriuhannya, tetapi saya senang berkesempatan berbagi pada seseorang yang saya tidak kenal sekalipun, sehingga ia bisa sarapan sebelum beraktivitas.
Merasa kenyang, saya pun meninggalkan restoran menuju kamar di lantai 5. Di luar hotel, jalanan dipenuhi oleh orang-orang berkendara ke tempat kerja. Sedangkan si bapak tadi masih menikmati pelbagi menu makanan yang disajikan oleh hotel. Jelas saya bahagia melihatnya.
Sesampai di kamar, sembari rebahan saya mengabarkan
peristiwa pagi itu ke sahabat saya, entah di mana posisinya ketika itu.
“Alhamdulillah. Sudah benar yang kau lakukan itu sehingga piring si bapak tadi itu tidak berhenti hanya diisi setangkup nasi yang hampir tidak jadi disantap. Cerita yang apik tentang sepotong hati di suatu pagi. Saya yakin, si bapak tadi itu akan mengingat dirimu, sekalipun tidak sempat berkenalan satu sama lain. Kebaikan tetap tercatat sebagai kebaikan,” ujarnya di ujung gawai menutup percakapan.
*Jakarta, cerita suatu pagi.
0 Komentar