Metaforfosa logo Bank Indonesia |
Oleh: Jumardi Putra*
Jika tidak macet,
itu bukan Jakarta, Bung! Begitu kelakar sahabat saya, yang itu sulit disangkal.
Tak syak, Jumat, 23 Agustus 2024, selain kendaraan yang berlalu lalang di
sepanjang jalan, cuaca di kota bekas Batavia itu juga panas menyengat.
Sekalipun begitu tidak menyurutkan niat saya bepergian ke kawasan Kota Tua
Jakarta beralamat di Jalan Pintu Besar Utara No. 3, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari. Makanya,
gojek menjadi pilihan bagi saya agar lekas
sampai lokasi tujuan dari arah Pasar Baru. Ndilalah kunjungan saya kali ini masih
dalam suasana Agustusan (HUT RI ke 79), jadi boleh dikata cukup sentimental
karena saya niatkan mengambil saripati dari pernak-pernik perjalanan sejarah bangsa
ini.
Sebenarnya, ini
bukan kali pertama saya ke kawasan Kota Tua Jakarta, tapi perdana bagi saya
mengunjungi bangunan
Museum Bank Indonesia (disingkat MBI) yang merupakan cagar budaya Indonesia peninggalan institusi
perbankan kolonial De Javasche Bank, yang selesai dibangun pada
tahun 1828. Selain Museum Bank Indonesia, dalam satu Kawasan kota
tua ini juga berdiri Museum Fatahillah atau yang familiar dikenal Museum
Sejarah Jakarta, Museum Wayang, dan Museum Keramik dan Seni Rupa. Ketiga meseum
itu pun sudah pernah saya kunjungi.
Berbekal sekeping tiket masuk harga 5 ribuan, saya bisa menyusuri seisi bangunan gedung sekaligus melihat dari dekat koleksi barang-barang bersejarah yang tersimpan rapi di bangunan seluas 22.75 x 19,5 m (443,625 m2) itu. Bangunan yang digunakan oleh Museum Bank Indonesia ini adalah salah satu bekas gedung peninggalan Belanda yang dibangun masa pemerintahan Perusahaan Hindia Timur Belanda di Batavia. Bangunan bergaya neo-klasik ini pernah digunakan sebagai gedung Bank Indonesia Kota semenjak 1953 dan pada akhirnya resmi menjadi museum pada 15 Desember 2006 dan telah ditetapkan menjadi cagar budaya Indonesia melalui SK KDK Gubernur Jakarta Nomor Cb 11/1/12/1972 Tanggal 10 Januari 1972 (Lembaran daerah Nomor 60 1972).
Bangunan Museum Bank Indonesia |
Jauh sebelum menginjakkan kaki di museum ini,
saya pernah membaca karya Erwin Kusuma berjudul dari De Javasche Bank Menjadi
Bank Indonesia (Kompas, 2014), sebuah fragmen sejarah populer pertama yang
membahas Bank Indonesia, salah satu bank sentral tertua di Kawasan Asia. Dengan
demikian, kunjungan ini melengkapi pengetahuan sekaligus untuk mendapatkan “feel
history” dari perjalanan institusi perbankan nasional di republik ini.
Kunjungan saya kali ini sendirian sehingga
leluasa bagi saya menyusuri banyak ruangan serta koleksi di gedung megah tersebut. Sebut
saja seperti ruang pelayanan nasabah, ruang metamorfosis logo Bank
Indonesia, ruang emas
moneter, ruang numismatik, ruang
Immersive cinema, ruang rempah-rempah khas Indonesia yang dijadikan alat barter, Patung-patung
yang menggambarkan transaksi di masa kolonial Belanda, Gubernur Bank Indonesia
dari masa ke masa, dan masih banyak lainnya lagi.
Dari sini saya mengerti sejarah pendirian
gedung Bank Indonesia Kota yang dalam perjalanan menjadi museum seperti sekarang.
Ringkasnya begini, jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah
menjadi pusat perdagangan internasional. Sementara di daratan Eropa,
merkantilisme telah berkembang menjadi revolusi industri dan menyebabkan
pesatnya kegiatan dagang Eropa. Pada saat itulah muncul lembaga perbankan
sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda. Sistem perbankan ini
kemudian dibawa oleh bangsa barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang
sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian
menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank
pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa
selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank
sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank
tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa
Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922. Dari sinilah cikal
bakal pendirian institusi perbankan nasional dibentuk dan berkembang sampai
sekarang.
Penulis di ruang numismatika |
Melalui koleksi bersejarah di gedung MBI ini saya
juga bisa mengetahui peran Bank Indonesia dalam sejarah bangsa Indonesia terutama mengenai kebijakan-kebijakan Bank Indonesia dari masa ke masa,
terhitung sejak 1953. Apatahlagi dukungan diorama, tata ruang pameran koleksi
dan suasana gedung yang nyaman, bersih serta kental akan suasana tempo dulu, membuat
saya betah berlama-lama di gedung peninggalan Belanda itu. Tak pelak, dari situ
saya mengetahui gambaran umum perihal kebijakan moneter, perbankan dan sistem
pembayaran yang dikelola oleh pemerintah dalam lintasan sejarahnya.
Ruangan yang menarik perhatian saya di MBI yaitu
ruangan replika tumpukan emas yang memberikan gambaran tentang cadangan devisa
yang dimiliki oleh Indonesia. Tumpukan emas tersebut masing-masing memiliki
berat sebesar 13,5 kg per batangnya. Nilai satu batang emas tersebut setara
dengan Rp6,7 miliar hingga Rp7 miliar. Selain itu, ruangan koleksi numismatika yakni sejumlah mata uang dalam bentuk uang logam dan uang kertas. Koleksi numismatika yang dimiliki oleh Museum
Bank Indonesia ada yang berasal dari masa kerajaan-kerajaan di Nusantara. Di ruangan ini saya seolah diajak bernostalgia ke
lembah masa kecil saya, terutama uang logam sezaman maupun melihat langsung
uang logam yang berlaku jauh sebelum kelahiran saya, yang notabene tumbuh dan
besar di kampung halaman nun jauh dari pusat kota.
Tidak terasa hampir 3 jam saya menyusuri dari satu ruangan ke ruangan
lainnya di gedung ini. Jauh sebelum meninggalkan gedung MBI itu saya
tersadarkan bahwa selama ini umumnya kita hanya bisa memakai mata uang sebagai
alat transaksi jual-beli sehari-hari saja tanpa tahu sejarah bank sentral yang
didirikan pada 1953 sebagai lembaga vital dalam kehidupan perekonomian
nasional.
*Jakarta, 24 Agustus 2024.
0 Komentar