ilustrasi. sumber:bacajogja.id |
Oleh: Jumardi Putra*
“Ngapain malam minggu kita, Pa,” tanya istri lepas Magrib. “Menjemput kenangan yuk,” imbuhku spontan, lalu dibalasnya dengan senyum datar. “Yang kongkrit donk, ke mana?” tagihnya meminta kejelasan. “Kita makan di Angkringan 3 cerek aja ya,” ujarku langsung diamininya.
Lepas Isya, kami pun berangkat ditemani si bungsu Rendra, minus Kaindra, si sulung yang mulai enggan manut ortu ke mana-mana. Ia seolah sudah
punya dunianya sendiri.
Suasana jalan dari rumah hingga angkringan yang dituju lancar saja,
kecuali di sekitaran perempatan Mayang, lantaran keluar-masuk kendaraan dari
dan menuju pusat perbelanjaan Jamtos dan toko-toko sekitarannya. Hari-hari biasa juga kerap macet di situ, apatahlagi akhir pekan begini. Tersebab kami mengendarai motor sehingga tidak
ada kendala yang berarti untuk menerobos lalu-lalang kendaraan di sepanjang jalan
yang kami lewati.
Saya pikir, baik pemerintah Kota maupun Provinsi Jambi selama ini kurang serius memikirkan sektor transportasi publik dan perluasan maupun penambahan volume panjang jalan serta skema kemungkinan inovasi lainya, sehingga pada beberapa ruas jalan di Kota Jambi sekarang kerap dilanda macet, lebih-lebih pada jam pulang kerja, sedangkan jumlah kendaraan terus meningkat.
Sesampai di angkringan, berada tak jauh dari rumah dinas Wali Kota Jambi, tetiba hujan lebat. Kami tidak mengutuk kedatangannya melainkan menikmati hingga tersisa gerimis mengundang. Tak pelak, kehangatan tempe yang dibakar, mie goreng, sate kerang, sego kucing serta menu pendukung lainnya membuat suasana malam makin nikmat. Sego kucing? Itu istilah untuk menyebut nasi bungkus dibalut daun pisang yang porsinya sedikit (porsi kucing), sehingga biasanya diperlukan 2 atau 3 porsi bagi pelanggan untuk bisa kenyang. Jenisnya ada tiga yaitu nasi sambal telur orak-arik, tempe kering dan sambal teri.
Posisi angkringan 3 Cerek malam ini berada di dalam pekarangan sebuah rumah, karena sedang ada pengerjaan bahu jalan, tempat biasanya mangkal. Galibnya angkringan, ia ditandai dengan keberadaan gerobak beratap terpal disertai sebuah papan kecil yang berfungsi sebagai meja dan sebuah kursi panjang. Di atas gerobak itu tersaji tiga jenis sego kucing, gorengan tempe, tahu dan bakwan, ceker dan jeroan ayam (hati, usus dan sosis), telur puyuh dan indomie. Selain itu, tentu saja minuman jahe, kopi, teh angat, es teh, dan minuman tradisional lainnya.
Angkringan 3 Ceret, Taman Jaksa Kota Jambi |
Beberapa anak muda dan keluarga sudah lebih dulu datang di angkringan ini. Sebelum hujan datang, mereka umumnya menggelari tikar sehingga menikmati menu angkringan sambil lesehan. Galibnya si pemilik angkringan menyiapkan beberapa tikar, karena kursi panjang di dekat gerobak terbatas buat diisi pelanggan.
Dibilang sering ke angkringan tidak juga, tapi kerap menjadi pilihan buat saya bila suntuk dan bosan makan malam hari di tempat-tempat lainnya di pinggir jalan. Selain 3 ceret, angkringan yang pernah saya kunjungi berlokasi di depan Kantor Dinas ESDM Jambi. Angkringan itu juga selalu ramai didatangi pelanggannya.
Harga makanan di angkringan jelas terjangkau bila dibanding resto bermerk. Angkringan 3 ceret milik Pak De Maslah dan Bu Yanti ini sudah ada sejak 2012 dan pertama kali mulai berjualan di laman kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Jambi sampai tahun 2021. Barulah hampir tiga tahun belakangan ini angkringan 3 cerek mangkal di sebelah Rumah Dinas Wali Kota Jambi atau familiar dengan sebutan Kawasan Taman Jaksa Kota Jambi.
"Tiga tahun pertama, kami benar-benar harus bisa bertahan, lantaran belum mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. Modal pun kempas-kempis. Alhamdulillah, berjalannya waktu sampai kini bisa bertahan dan menikmati sedikit keuntungan dari penjualan. Pengunjung setia pun ada hingga saat ini. Lagian, semua menu jualan yang disajikan adalah masakan kami sendiri sehingga bisa menekan pengeluaran," ungkap bu Yanti.
Angkringan 3 cerek boleh dikata warna lain dari fenomena tumbuh-suburnya
Café-café besar di sekitaran taman jaksa sekarang. Di taman jaksa sekarang juga
terdapat café satunama, sebuh café sederhana yang cocok buat kantong mahasiswa
dan pelajar. Saya sesekali mangkal di cafe ini, sekedar ngobrol lepas dengan sejawat
atau mengisi waktu dengan menulis.
Diakui pak Maslah, bisnis angkringan ini di masa-masa awal tidak langsung ramai pelanggan, bahkan beberapa angkringan di Kota Jambi sudah tidak terlihat lagi di sudut-sudut jalan. Dengan kata lain, banyak angkringan sudah gulung tikar. Hari-hari, angkringan 3 cerek mulai buka pukul 17.00 WIB sampai sekitar pukul 13.30 WIB (bahkan bisa lebih cepat tutup bila jualan ludes). Pak de Maslah tidak sendirian meladeni para pelanggan, tapi dibantu anaknya yang tamatan SMK 1 Jambi dan ponakan bocah pria kelas enam esde.
"Kenapa dinamai angkringan tiga cerek?" tanya saya. "Sederhana mas, itu menandai tiga buah cerek minuman yang dijerang di atas gerobak angkringan. Dua ceret berisikan air putih mendidih dan satu lagi minuman jahe," tukas bu Yanti.
Saya dan istri pun jatuh dalam obrolan bersama mereka. Bahkan, ada satu pelanggan yang bersetia datang sejak 2017 sampai sekarang hanya untuk menikmati sego kucing dan menu lainnya. Menariknya lagi, yang bersangkutan itu (saya lupa menanyakan namanya) tidak pernah sekolah atau kuliah di Jogja, sesuatu yang kerap disematkan pada seseorang yang pernah tinggal di Kota Pendidikan itu sehingga dirasa wajar memilih makan di angkringan. Nyatanya pelanggan angkringan datang dari pelbagai latar belakang.
Suasana di angkringan 3 cerek ini mengingatkan semasa saya di Jogja. Begitu juga istri saya yang sama-sama pernah kuliah di Jogja 20 tahun yang lalu. Angkringan ketika itu menurut saya bukan semata urusan perut, melainkan ruang budaya yaitu tempat segala hal, mulai dari perkara remeh temeh sampai ke hal-hal serius dipercakapkan dengan santai dan penuh canda. Ringkasnya, sebagai ikon kuliner, angkringan menjadi tempat orang berkumpul, berdiskusi, dan bercengkerama, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.
Begitu juga relasi yang terbangun antara penjual dengan pembeli tidak berada dalam takaran transaksi yang berlebihan, melainkan saling pengertian sekaligus meneguhkan persaudaraan dengan penuh kegembiraan. Sebuah landskap perjumpaan di wilayah ekonomi- kultural, dimana gaya hidup dan hasrat dirawat-ruwat sehingga tidak menjadi beban hidup di era serba berlari kencang.
Nah, saya tidak tahu bagaimana warga memaknai keberadaan angkringan di
Kota Jambi kini di tengah merebaknya cafe-cafe modern ? Perlu ada penelitian soal itu.
*Kota Jambi, 15 September 2024.
0 Komentar