Berbohong Dengan Statistik

ilustrasi. sumber: beritajakarta.id
Oleh: Jumardi Putra*

Melek informasi juga mensyaratkan melek statistik. Sebegitunya urgensi statistik, sehingga kerap dipakai oleh banyak orang atau lembaga ketika mengambil sebuah keputusan, lebih-lebih saat dihadapkan pada beberapa pilihan dalam waktu bebarengan. Statistik berhasil membentangkan persoalan yang kompleks ke dalam angka-angka yang mudah dicerna. Tak pelak, mulai dari urusan belanja dapur sampai belanja negara berkait erat dengan angka-angka statistik sebagai sebuah tolak ukur (kalau bukan pertimbangan). 

Pangkal masalahnya justru karena dinilai sangat berguna itu, statistik mudah dipakai untuk memanipulasi/berbohong. Laiaknya angka-angka, ia tidak sepenuhnya mampu merepresentasikan konteks sekaligus kedalaman dari sebuah gejala/peristiwa, kecuali sebagai salah satu cara yang memudahkan.

Buku tipis berjudul Berbohong dengan Statistik karya Darrel Huff (terbit dalam bahasa Inggris pertama kali tahun 1954 dan direvisi 1973) mencatat usaha-usaha bagaimana statistik "dimutilasi" sesuai kepentingan, dan karenanya data yang publik baca tidak lain adalah produk sebuah kebohongan. Darrel Huff mengajarkan kita bahwa dengan cara yang simpel, statistik kadang membuat banyak orang terkecoh, apalagi bila disengaja oleh individu maupun lembaga yang tidak bertanggungjawab demi memuluskan kepentingan terselubung, entah itu politik, birokrasi pemerintahan dan bisnis. 

Jauh sebelum Darrell Huff, politikus cum novelis Benjamin Disraeli (1804-1881) mengatakan ada tiga macam kebohongan: bohong, bohong banget, dan statistik. Bahkan, kendati pernyataan perdana menteri Inggris itu telah berusia lebih dari seabad, statistik yang mengecoh (dan berbohong) masih kerap kita jumpai hingga sekarang.

Buku karya Darrell Huff

Statistik semestinya disajikan untuk menampilkan realita, membuat realita mudah dibaca, dipahami, dan lebih menarik perhatian. Namun, faktanya statistik juga kadang menyembunyikan hal-hal lain karena kekeliruan-kekeliruan baik yang disengaja maupun tidak, sehingga malah menutupi realita atau konteks yang melatari peristiwa sebenarnya. 

Ada beberapa kondisi dimana statistik bisa mengecoh publik dengan mengutak-atik sampel. Begini, seseorang bisa salah memahami angka statistik yang sedari awal memang bersumber dari sampel yang bias dari dua hal utama yaitu besar sampel kurang atau pemilihan sampel yang tidak representatif. Selain besar sampel, bias yang terkait dengan sampel yang lainnya adalah cara pengambilan sampel, apakah betul merepresentasikan populasi.

Selanjutnya, ketidakpahaman publik dengan istilah-istilah dalam dunia statistik. Pada ranah ini tidak sedikit orang dibuat terkecoh, atau sengaja membuat agar publik terkecoh. Mulai dari margin error, rata-rata, perbandingan, hubungan sebab-akibat. Hal remeh atau sepele yang acapkali diributkan biasanya dikarenakan publik belum paham bahwa sebuah penelitian memiliki margin error. Itu artinya, angka yang (di)muncul(kan) galibnya tidak begitu absolut, karena angka tertentu ada di kisaran plus minus sekian, tergantung margin error. Sebut saja seperti, sebuah survei politik dengan margin error +/- 3% menghasilkan Partai A memperoleh dukungan sebesar 51% dan Partai B sebesar 49%. Pendukung partai A dan partai B seharusnya tak perlu pusing tujuh keliling apalagi ribut dan bahkan berujung perkelahian tentang siapa yang lebih unggul, karena angka-angka mereka masih dalam rentang margin error.

Sejurus kemudian, penggunaan angka rata-rata juga sering mengecoh. Rata-rata bisa berasal dari angka mean, median, mode (modus). Kekeliruan lainnya perkara perbandingan. Ambil misal, angka kemiskinan ekstrem Indonesia bisa saja diklaim menurun tahun ini jika dibandingkan tahun tertentu (misal tahun 2021 saat terjadi pandemic Covid-19), namun akan jelas berbeda jika dibandingkan angka tahun lalu, yang malah naik.

Penggunaan perbandingan itu sah-sah saja dan bergantung tujuan yang melatarbelakanginya. Walakin, itu akan mempengaruhi pemahaman kita yang membaca angka-angka tersebut, apalagi didukung dengan desain grafis menarik seturut propaganda lainnya secara masif. Begitu juga bila kita mencermati hubungan sebab-akibat dalam laporan hasil survei. Tidak jarang muncul angka yang menjelaskan dua hal yang tidak saling berhubungan sebab-akibat, tetapi bermakna secara statistik.

Dari sini kita menjadi paham bahwa sebuah angka statistik yang walaupun mencerminkan realita di lapangan, tidak secara otomatis benar karena harus juga direkonstruksi di atas teori yang kuat tentang apakah dua hal yang diukur benar sebuah sebab akibat, atau dua hal tersebut sejatinya merupakan akibat dari hal lain yang tidak diukur.

Potensi terkecoh tersebut di atas juga terjadi dalam persingan bisnis. Sebut saja seperti kemasan pelbagai iklan yang berhamburan di layar tivi atau media sosial saat ini. Betapa angka-angka yang muncul kerapkali merupakan usaha untuk mensugesti para pemirsa ketimbang membentangkan angka-angka berdasarkan realitas survei yang sebenarnya. Fatalnya lagi, ambil misal, survei yang dilakukan hanya mengandalkan fitur polling di twitter dan aplikasi lainnya. Bahkan sebelum adanya fitur polling, pengguna twitter bisa menggunakan jumlah retweet dan favorit/like untuk menentukan sesuatu produk lebih unggul dibanding yang lain.

Meski karya Darrel Huff ini berangka tahun lama (1954), ia tetap relevan dibaca oleh khalayak Indonesia saat ini. Kekurangan dari buku ini lebih karena perbedaan ruang sekaligus rentang waktu antara penerbitan dalam bahasa asli (1954) dan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia (2022), sehingga terdapat kasus-kasus atau istilah yang dirasa masih kurang populer di tanah air. Namun, yang tersajikan dalam buku ini sangat bermanfaat lantaran kita sedang berada di sebuah perkampungan global, dimana penggunaan statistik telah menyebar luas ke segala sektor kehidupan sekaligus lintas teritori.

Relevan yang dikatakan profesor Aaron Levenstein berikut ini, “statistics are like bikinis. What they reveal is suggestive. But what they conceal is vital”. Meski pernyataan Levenstein itu lebih terkait bidang bisnis, tetapi bisa diterapkan pada ranah statistik. Dengan demikian, buku ini boleh dikata cocok menjadi salah satu pilihan menu bacaan membersamai perayaan Hari Statistik Nasional 2024.

*Kota Jambi.

0 Komentar