Ekonom Bersuara Lantang Itu Berpulang

Faisal Basri. Sumber: democrazy.id

Oleh: Jumardi Putra*

Mendapat kabar cendekiawan atau intelektual publik meninggal dunia karena sakit makin sering kita alami, dan “kematian makin akrab”, begitu kata penyair Subagio Sastrowardoyo. Belum lama negeri ini kehilangan sosok seperti Rizal Ramli (Januari), Mely G. Tan (Maret), dan Salim Said (Mei), kini mengarungi minggu pertama September 2024 giliran ekonom bersuara lantang dan kritis yaitu Faisal Basri menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya pada pukul 03.50 WIB saat menjalani pengobatan intensif di Rumah Sakit Mayapada, Kuningan, Jakarta.

Selain dikenal melalui artikel yang terbit di koran-koran dan media online, Faisal Basri merupakan sosok ekonom yang berani mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo, karena menganggapnya terlalu boros sehingga utang membludak.  

Sulit menyangkal bahwa kehadirannya di banyak seminar, tampil di layar tivi maupun podcast di kanal youtube belakangan ini membuat diskursus politik nasional banjir kritik kepada pemerintah yang dinilai memaksakan program ambisius seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di saat Covid-19 menghantam dan sampai sekarang masih bergantung pada APBN, proyek kereta api cepat Whoosh akan balik modal dalam waktu lama, dan yang terbaru rencana pembentukan Family Office. Tidak hanya itu, ia juga lantang mengkritik cawe-cawe Presiden Jokowi saat Pemilihan Presiden sebelum ini karena mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan mengerahkan bantuan sosial (bansos) secara masif. Ia juga tidak segan-segan ikut turun jalan membersamai demonstrasi para mahasiswa dan elemen sosial progresif lainnya menentang kebijakan pemerintah yang dinilai makin menjauh dari amanat dan cita-cita reformasi.

Bahkan, pria kelahiran Bandung, 6 November 1959 ini tergolong lantang mengkritik program unggulan Jokowi, hilirisasi. Sekalipun ia pernah dipercaya menjadi ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi di era pemerintahan Jokowi, itu tidak lantas menghalangi pandangan kritisnya terhadap kebijakan ekonomi nasional.

Pikiran-pikiran kritis Faisal Basri menyentuh ranah politik, hukum, demokrasi, lingkungan dan ketahanan pangan. Sekalipun demikian, kesemua pandangannya itu bertitimangsa pada satu isu utama yakni kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Itu bisa dipahami karena ekonomi pada kenyataannya selalu bersinggungan dengan permasalahan mendasar lainnya seperti hukum, pendidikan, kesehatan, lingkungan, sosial-budaya dan politik global.

Merujuk pemberitaan pelbagai awak media, sekalipun kondisi fisik Faisal Basri dalam kondisi kurang baik yakni terkena diabetes dan jantung, itu tidak lantas membuat dirinya memilih duduk diam di rumah. Ia justru masih memenuhi pelbagai undangan ke banyak daerah di Indonesia. Terakhir kali ia diundang sebagai ekonom oleh kelompok petani di Dairi, Sumatera Utara, pada Rabu, 28 Agustus. Untuk sampai ke lokasi acara, Faisal sempat menempuh perjalanan selama 6 jam dengan menggunakan mobil. Selama itu pula Faisal tidak menggunakan AC dan memilih membuka kaca jendela di sepanjang perjalanan.

Dari sini lah kondisi fisiknya mulai menurun drastis sehingga berobat sejak 31 Agustus dan akhirnya tutup usia dini hari dalam usia 65 tahun (4/9). Kullu nafsin zaikatul maut. Allah SWT sudah menentukan hidup mati seorang hamba, tidak terkecuali bagi Faisal Basri yang oleh keluarga telah berikhtiar secara maksimal untuk mendapatkan kesembuhan. Faisal Basri wafat dengan mewariskan karya tulis yang menginspirasi banyak citivitas akademika Indonesia, tidak terkecuali saya sendiri ketika menempuh studi di Yogyakarta dua puluh tahun lalu. Tidak hanya itu, ia juga telah memberi contoh bagaimana kritisisme bekerja di tengah kepungan kekuasaan yang bisa membuat sesiapa saja tergiur karena tawaran jabatan dan uang, tetapi itu tidak menjadi faktor penghalang bagi seorang Faisal Basri untuk tetap berkontribusi bagi pembangunan negeri ini.

Faisal Basri bukanlah satu-satunya ekonom yang berani bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, tapi keberadaan orang semacam Faisal Basri juga tidak banyak jumlahnya. Sikap dan pikiran kritis Paisal Basri tidak saja berlaku selama dua periode pemerintah kabinet kerja Presiden Jokowi, tetapi juga berlangsung saat kepemimpinan Presiden sebelumnya-sebelumnya.

Faisal Basri dikenal tanpa tedeng aling-aling dalam menyuarakan pendapat yang tidak selalu populer. Ia kerap menyoroti kelemahan dalam kebijakan pemerintah dan menunjukkan sikap independen dalam analisisnya, sehingga tidak terikat pada kepentingan politik tertentu, dan karena itu pandangannya diterima. Sekalipun keberaniannya kadang-kadang membuatnya berada di posisi berseberangan dengan banyak pihak, tetapi itu justru menunjukkan integritasnya, sebut saja seperti ketegasannya pada isu-isu pemberantasan korupsi. Bahkan, ia termasuk salah satu dari pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) yang secara konsisten mengedepankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas.

Faisal Basri lahir dari keluarga yang memiliki kedekatan dengan dunia politik yaitu keponakan Wakil Presiden RI Adam Malik. Sekalipun begitu, ia memilih menjalani jalur yang berbeda dengan fokus pada ekonomi dan pendidikan. Kiprah akademik Faisal dimulai di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, di mana ia meraih gelar sarjana pada tahun 1985. Selanjutnya, ia melanjukan studi di Vanderbilt University di Nashville, Tennessee, Amerika Serikat, di mana ia menyelesaikan gelar Master of Arts dalam bidang ekonomi pada tahun 1988. Sepulang dari studi di luar negeri, ia mulai mengajar di almamaternya, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, dan terus berkembang dan terlibat di banyak organisasi yang mendukung penguatan demokrasi, penegakan hukum dan transparansi serta akuntabilitas bagi penyelenggara pemerintahan.

Semasa hidupnya, Faisal Basri tidak hanya menyumbangkan pemikiran kritis melalui berbagai penelitian dan pengembangan kebijakan ekonomi, tetapi juga melalui perannya sebagai praktisi yang terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan. Sejak tahun 1995, Faisal Basri turut mendirikan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), sebuah lembaga penelitian yang berkomitmen pada pengembangan kebijakan ekonomi dan pembangunan. INDEF menjadi platform penting bagi diskusi dan penelitian mengenai kebijakan ekonomi di Indonesia, dan kontribusi Faisal dalam lembaga ini mencerminkan dedikasinya terhadap pemecahan masalah ekonomi dan pembangunan negara.

Saya tidak akan menulis ulang deretan judul buku karya Faisal Basri dan sepak terjangnya baik sebagai akademisi, intelektual publik, dan organisatoris. Sudah semestinya menjadi tugas bagi generasi saat ini dan ke depannya mengambil saripati dari gagasan dan sikap beraninya untuk perbaikan pembangunan negeri ini.

Bagi saya, di tangan akademisi cum intelektual publik macam Paisal Basri ini membuat ekonomi bukan melulu menjadi urusan mereka yang sekolah ekonomi ansikh, yang dipenuhi teori-teori dan pendekatan yang njilmet sekaligus ndakik (dan terkadang dari situ pula tipu muslihat kerap beroperasi dengan otoritas keilmuan yang bergandengan dengan kepentingan kekuasan), tetapi olehnya diskursus ekonomi justru menjadi ruang terbuka bagi sesiapa saja untuk bisa membaca sekaligus mempercakapkannya di ruang publik.

Di antara buku-buku yang ditulis oleh pendiri INDEF ini seputar kebijakan ekonomi, setidaknya dua buku yang menarik buat saya pribadi yaitu Hikayat si Induk Bumbu: Jalan Panjang Menuju Swasembada Garam (2018), dimana Faisal Basri menjadi salah satu kontributor di dalamnya. Buku ini menarik karena tidak hanya membentangkan hal-hal yang definitif mengenai garam konsumsi maupun industri, tetapi juga bagaimana dan mengapa garam menjadi komoditas ekonomi yang penting dalam lintasan sejarah yang panjang.

Selanjutnya, karya Faisal Basri berjudul Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa (2019). Boleh dikata ini semacam tanda cinta almarhum bagi republik Indonesia, karena ia menghadirkan tokoh-tokoh yang dengan sadar memilih kesederhanaan sebagai niai dan karenanya menjadi pijakan hidup. Nilai itu membuat mereka merasa cukup meski dipandang kurang, dianggap rugi karena tidak memanfaatkan kekuasaan, dan dianggap sok-sokan. Walakin itulah diri mereka yang otentik. Tidak terpengaruh meski terhimpit. Dengan demikian, buku ini sejatinya menegaskan kegelisahan Faisal Basri di tengah situasi Indonesia, terutama pejabat pemerintah dan elit politik yang semakin krisis nilai dan keteladanan.

Membaca kritik Faisal Basri seputar kebijakan pembangunan ekonomi nasional sejatinya menyadarkan kita bahwa persoalan fundamental pengelolaan ekonomi dewasa ini justru berangkat dari pejabat pemerintah yang diberi amanah tapi justru gagal mengurusinya. Selain itu juga menjadi alarm bahwa telah terjadi krisis kebudayaan di negeri ini yaitu ekonomi sebagai jalan menuju kebahagiaan masih belum sepenuhnya dinikmati seluruh rakyat Indonesia, kecuali bagi sebagian kecil orang kaya yang justru menikmati dan mengendalikan perekonomian secara nasional.

*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik artikel portal jamberita.com pada 5 September 2024.

0 Komentar