Film Seni Memahami Kekasih. Sumber: IDNpictures |
Oleh: Jumardi Putra*
“Tugasku hanya membuatmu tertawa, kalau ternyata kamu mau menikah
denganku. Itu terhitung bonus”. – Demikian Agus Mulyadi, yang begitu percaya diri
mengisahkan jalinan asmaranya dengan Kalis Mardiasih ke dalam buku bertajuk Sebuah
Seni Memahami Kekasih dengan anak judul persis seperti judul tulisan saya kali ini.
Bahkan, menutup sekapur sirihnya dalam buku terbitan 2019 itu, Agus
menuliskan begini, “Buku ini penuh dengan kenarsisan dan sangat megalomaniak”. Bagi
pria asal Magelang itu, kisah-kisah perjalanan cinta dan segala kelucuannya
bersama Kalis sangat sayang jika hanya disimpan untuk dirinya sendiri.
Tak dinyana, buku itu kini telah diadaptasi menjadi sebuah film bergenre
roman-komedi dan sedang tayang di bioskop-bioskop tanah air. Meski saya sendiri
belum sempat nonton film yang mengangkat episode-episode kasmaran Agus Mulyadi dengan Kalis Mardiasih asal Blora--tapi keduanya bersua dan kini tinggal-bekerja
di Yogyakarta--saya sudah membaca buku itu terlebih dahulu.
Buku setebal 98 halaman itu saya beli di toko buku Toga Mas di Kota
Bandung, medio Agustus lalu. Harganya 45.000, lumayan terjangkau buat kantong
saya. Tersebab tidak begitu tebal, buku berisi 38 potongan kisah pendek itu tuntas
saya baca saat menempuh perjalanan Bandung-Jakarta.
Ceritera di dalamnya sangat dekat dengan keseharian orang kebanyakan, utamanya anak muda yang lagi kasmaran. Yang membedakannya karena Agus Mulyadi berhasil meramu pengalaman empiris-emosional seputar hubungannya dengan Kalis dengan bahasa yang mengalir, jahil dan jenaka, sehingga pada beberapa bagian berhasil membuat saya tersenyum, dan bahkan sesekali tertawa lepas. Sebut saja kisah seperti fondasi keluarga sakinah (hal 97), kekuatan pelet (hal 87), mantel hujan (hal 79), Kompromi, seputar cita-cita masa kecil yang tak tergapai, tapi justru membuatnya tetap berkepala tegak dan bahagia menginjak remaja sampai kini (hal 71), debat seputar mobil yang paling disukai, tapi tak mampu beli (hal 59), pramuka: kisah gembira sekaligus kekesalan sepanjang mengikuti gerakan kepanduan itu mulai sejak SD sampai SMA (hal 55), ketemu orang gila yang membuat Agus panik ketimbang Kalis yang justru tampak heroik (hal 51), baju bagus dan kisah masa kecil yang pelik (hal 49), Asu, kisah Kalis yang jauh lebih berani dan barbar ketimbang Agus yang kaget tak kepalang oleh motor dengan suara knalpot sangat nyaring dan nyaris membuat keduanya jatuh (hal 45), tragedi di Pasar Kangen (hal 43), Kecemburuan (hal 7), dan ketinggalan pesawat (hal 3).
Ringkasnya, bila selama ini publik kerap membaca esai-esai yang dibuat oleh
Agus maupun Kalis menyoal perkara-perkara serius, kini di dalam buku Seni Memahami Kekasih, mereka
berdua justru tampil seadanya. Kadang konyol, penuh canda, dan bahkan membuat
kesal, tapi itu semua memuncak menjadi episode-episode nan romantis. Di luar
soal itu, penyebutan beberapa lokasi, nama gedung/toko maupun nama jalan di
daerah Yogyakarta oleh Agus dalam bukunya itu makin mengakrabkan saya kembali, yang
pernah tingal dan studi di Jogja sekitar 21 tahun lalu selama 7 tahun.
Karya Agus Mulyadi |
Diakui Agus, strategi penulisan buku itu di beberapa bagian memakai
bahasa jawa, disertai diksi-diksi kocak khas Magelangan-Jogja, dan guyonan ala anak
muda yang doyan nulis dan membaca buku, tapi kesemuanya itu dibalut dalam
suasana kasmaran sehingga ingin selalu tampil bak pahlawan di hadapan
kekasihnya, sekalipun nyatanya (dan ini yang membuat ketawa) justru Kalislah
yang berhasil merebut banyak momen dalam banyak cerita tersebut. Sekalipun kerap
membuat kesal, di mata Agus, kekonyolan sang Kalis adalah jalan ninjanya untuk
meneguhkan cinta pada sang kekasih.
Baik Agus maupun Kalis adalah sama-sama penulis, sehingga tak heran episode kisah perjumpaan dan perjalanan cinta kasih mereka kerap mengejutkan, meski di beberapa terasa datar saja. Setidaknya, dari episode kehidupan masing-masing, saya mendapati sosok mereka berdua apa adanya, tidak terkecuali kondisi ekonomi mereka yang serba terbatas, tapi itu tidak lantas menjadikan mereka sosok mager lantas jatuh dalam pesimisme akut. Justru sebaliknya, keadaan menempa mereka agar gigih berjuang memenuhi kebutuhan sekaligus menerimaan keadaan.
Ceritera demikian tidak saja terjadi saat mereka masih berstatus pacaran (dan kini mereka telah menikah), tapi juga sepintas mengungkai kisah pribadi masing-masing dalam proses tumbuh kembang sebagai anak-anak dari keluarga pas-pasan. Menariknya, dalam situasi ekonomi terbatas pun, mereka masih bisa tersenyum dan bahkan saling mentertawakan. Waktu terus berjalan. Kini, melalui jalan kepenulisan, Agus dan Kalis mulai menapaki tangga kesuksesan.
*Kota Jambi, 12 September 2024.
2 Komentar
Mantap luar biasa, salam kenal bang, izin kalo ada waktu boleh di ajak ngopi, mau ngambil barokahnya
BalasHapusterima kasih. salam kenal juga. posisi dmn skrg?
Hapus