sumber: kompas.id. |
Oleh: Jumardi Putra*
Berikut ini patahan-patahan narasi reflektif berdasarkan pemahaman sekaligus pengalaman saya pribadi dalam usaha menjaga tradisi baik dalam urusan membaca buku maupun menulis. Tentu saja usaha itu tidak boleh berhenti, sekalipun muncul banyak aplikasi teknologi yang memudahkan orang untuk menulis dalam tempo cepat dan singkat. Mungkin saja berguna.
***
Pilih karya fiksi atau non-fiksi? Jangan dipertentangkan. Baca keduanya. Keseimbangan antara bacaan nonfiksi dan fiksi penting bagi penulis dan profesi apapun. Tulisan dibuat untuk dibaca, dan itu artinya berkomunikasi. Maka, ada dua hal yang sama-sama penting yaitu substansi dan kemasan. Nonfiksi bisa memperkuat pemahaman atas substansi topik yang dibahas, sedangkan fiksi memberi ruang bagi kita mengakrabi gaya bertutur renyah, gurih dan efektif sehingga enak dibaca. Ringkasnya, isi dan kemasan sama-sama memiliki kedudukan. Dengan begitu, tulisan sebagai tindakan berkomunikasi akan mendatangkan banyak kejutan. Jangan pernah berhenti membaca buku. Dan, menulislah dengan riang-gembira.
(12 September 2024)
Gali ide sebanyak mungkin. Bergembiralah dengan kehadiran ide-ide itu. Namun, jangan langsung bertindak dan menyudahinya dalam waktu cepat. Tuliskan semuanya dan endapkan selama beberapa waktu. Kemudian, tinjau ulang apa yang menjadi prioritas dengan pikiran tenang. Mengendapkan ide akan membantu menghindari sikap tergesa-gesa dan memberikan waktu bagi kreativitas untuk menghasilkan pikiran segar sekaligus mengejutkan. Di situ tulisanmu selalu dinantikan. Yakinlah!
(1 September 2024)
Saya kerap dibuat termenung saat berhadapan dengan buku-buku catatan perjalanan karya generasi terdahulu maupun beberapa penulis kontemporer, sebut saja seperti Eric Weiner dan Agustinus Wibowo. Betapa stamina dan kemampuan menulis saya tidak lebih tangguh dan sungguh-sungguh, apatah lagi bila dibanding generasi intelektual muslim terdahulu, seperti penjelajah ulung Ibnu Batutah, ahli sejarah, geografi, sastra dan ulama besar Andalusia Ibnu Jubair, dan sosiolog kenamaan Ibnu Khaldun. Mereka menulis catatan perjalanan (rihlah) dengan begitu baik sehingga dapat dibaca dan menginspirasi generasi jauh setelah mereka wafat.
Saat ini, dengan didukung teknologi komunikasi
dan informatika, justru membuat perjumpaan orang-orang sekaligus perpindahan
secara fisik dari satu tempat ke tempat lainnya dalam tempo yang begitu cepat,
menjadikan kemampuannya untuk memaknai lebih dalam tentang "space"
dan "place" acapkali tersangkut pada lapisan yang serba dangkal dan
sebatas kulit luar, padahal realitas itu berlapis-lapis. Jangankan menulis catatan
perjalanan untuk rentang waktu maupun jarak yang panjang, sekadar menuliskannya
secara detail, meski singkat, kerap jatuh dalam kejumudan. Galibnya, pada
setiap perjalanan berakhir hanya dengan swafoto untuk dipasang di insta-story
dan beranda aplikasi media sosial lainnya.
(Juli 2024)
Menulis itu bukan semata bergantung pada data, sudut pandang dan argumentasi yang menopangnya, tetapi juga tentang bagaimana ia dirangkai sehingga enak dibaca dari sejak kalimat pembuka sampai penutup. Pada yang terakhir itu ia mensyarakatkan jam terbang dalam urusan membaca pelbagai sumber literatur, membaca karya sastra sebagai pintu masuk untuk menemukan "rasa" berbahasa sebagai strategi literer dalam membuat sebuah tulisan yang renyah dengan tidak kehilangan bobot kedalaman/substansi.
Sejurus kemudian, kudu aktif terlibat dalam diskusi sebagai salah satu cara untuk mengasah pemikiran sampai pada tahap menemukan perspektif baru atau unik yang terlewatkan oleh orang kebanyakan. Hal itu demikian itu adalah tradisi kepenulisan yang tidak bisa dibentuk dalam tempo instan.
(Juni 2024)
Bre Redana, jurnalis senior cum sastrawan, terheran-heran (kalo bukan mumet) mencermati apa yang muncul di era “post-truth” sekarang ini. Segala sesuatu menjadi seolah serba penting dan genting, semuanya perlu disampaikan sesegera mungkin, secepatnya, pikir-belakangan.
Dulu, kata Bre Redana, menulis butuh beberapa waktu untuk selesai karena disertai membaca buku, diskusi, dan keahlian begitu dihargai. Sekarang semua orang bebas bicara tentang apa saja. Kita sedang di era "the end of expertise". Segalanya cukup dengan atas nama kritik. Apa itu kritik? Apa itu fakta? Apa itu fiksi? Apa itu cemoohan, uneg-uneg, mood, perasaan? Kesemuanya itu tumpah ruah di era teknologi yang mengubah cara kita berkomunikasi.
Di titik ini kita perlu bertanya ulang, siapa aku (dan kita) di tengah airbah informasi sekarang ini? Mungkin saja dengan cara begitu ukuran akal sehat masih memerlukan kerja berpikir secara matang ketimbang kecepatan jari-jemari memberi komentar dan sharing informasi kepada orang lain atas apa yang sejatinya belum kita ketahui.
(Maret 2024)
Percayalah, bahkan buku yang tuan dan puan
baca bertahun-tahun lampau, akan datang begitu mudah bila diperlukan untuk
melengkapi susunan fazel pengetahuan kita sekarang. Saya sendiri sudah
membuktikannya. Kehadirannya tidak saja melengkapi, tapi membantu kita
menemu-kenali hal-ihwal di balik pelbagai peristiwa maupun lapisan-lapisan
narasi yang rumit dan kompleks.
Dengan demikian, hasil bacaan kita tidak sepenuhnya lenyap, melainkan tersimpan rapat dan akan datang sejauh diperlukan, lebih-lebih saat ide bergumuruh datang. Ambil buku, buka laptop, dan mulailah fokus menulis. Ojo keakehan teori bila benar-benar ingin menjadi penulis yang jelas-jelas mensyaratkan stamina terjaga dan nafas yang panjang.
(Mei 2024)
Artikel atau opini bagus itu tidak semata bersandar pada data dan argumentasi, tapi juga enak dibaca. Nah, pada yang terakhir itu abai diasah oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai penulis. Enak dibaca itu merupakan gabungan dari kepiawaian menggunakan diksi yang tepat sekaligus memperkaya kosakata bagi pembaca, menyusun kalimat secara efektif (tidak bertele-tele), menghadirkan kritik sekaligus refleksi dalam satu belanga gagasan, dan puncaknya berhasil membuat orang betah membaca tulisan sejak kalimat pembuka hingga penutup. Jika itu berhasil, maka tulisan-tulisan kita kerap dinanti kehadirannya. Bagaimana supaya sampai pada tahap itu? Jawabannya adalah penulis bagus adalah juga pembaca buku yang tekun.
(Februari 2024)
Sejak melimpah ruah beragam emoji maupun stiker di aplikasi perpesanan pribadi maupun media sosial sekarang ini, agaknya orang-orang mulai kehilangan kemampuan menulis dan sekaligus membaca buku-buku (apalagi berhalaman tebal).
Betapa tidak, terhadap informasi maupun gagasan yang datang, acapkali direspon cukup dengan mengirim balik emoji atau stiker yang dinilai senafas dengan substansi informasi. Tidak ada lagi ruang diskusi yang dapat memantik imajinasi dan pemikiran secara berkelanjutan.
Tentu kita tidak sepenuhnya melihat kehadiran emoji sebagai hantu yang menakutkan dan karenanya dirasa niscaya untuk dihindari. Sama sekali bukan. Pointnya adalah membaca dan menulis merupakan tradisi penting untuk menjaga nalar di tengah surplus informasi sekarang.
Saya pikir emoji maupun stiker, itu tidak lebih untuk sekadar mengendurkan urat saraf dalam menjalani kehidupan yang serba tunggang langgang. Dengan demikian, kerja penalaran tetap penting dan urusan emoji sebatas untuk keperluan candaan maupun hiburan. Tak lebih.
(13 Agustus 2021)
Dulu semasa mahasiswa menulis lebih didorong dan bertujuan mengubah dunia (di luar ingin terlihat intelek di antara civitas akademika, lebih-lebih di hadapan mahasiswi. hehe), tetapi berjalannya waktu menulis tidak lagi dodorong untuk tujuan-tujuan besar, melainkan memungut hal-hal kecil dalam keseharian yang mungkin terlewatkan oleh kebanyakan dari kita, terlebih di tengah zaman yang berlari kencang.
Selain itu, menulis tak lain dari usaha menjaga kewarasan dan berharap dapat memantik sesiapa saja untuk melakukan kerja-kerja lanjutan, ambil misal mendiskusikan, meneliti dan mengembangkan pada hal-hal yang bermanfaat dan menemukan kemungkinan-kemungkinan solusi terhadap persoalan kehidupan yang kompleks.
Hanya itu? Ya, dan bisa jadi setiap penulis punya macam-macam alasan. Prinsip utamanya yaitu dengan menulis masing-masing kita bisa terhindar dari penyakit lupa yang kemudian kerap terjadi. Di situlah, makna belajar sekaligus menjadi pembelajar menemukan konteksnya.
(14 Juni 2021)
Membaca adalah sebuah peristiwa, tidak semata kerja kognisi. Multisisi. Karenanya sukar untuk membayangkan bilamana kesimpulan terhadap suatu hal didapati tanpa disertai membaca secara sungguh-sungguh. Sehingga apa kesungguhan dalam membaca berlaku niscaya? Tersebab serba hitam putih adalah penanda bahwa kita masih berkacamata kuda.
(14 Mei 2021)
Sejarah setiap tulisan macam-macam. Ada tulisan selesai dibuat tidak lama setelah melakukan permenungan mendalam, mengikuti konferensi, seminar, diskusi, dan baca buku. Ada juga tulisan dibuat membutuhkan waktu yang panjang seperti setelah melakukan penelitian mendalam. Bisa juga karena didorong oleh hal-hal lain yang menarik perhatian si penulis untuk segera mengabadikannya sehingga bisa dibaca publik.
Bahkan, ada juga tulisan yang tidak pernah jadi dibuat. Sebabnya juga macam-macam. Bisa jadi merasa tidak ada hal baru yang mampu ditorehkan sehingga untuk apa mengulang yang telah ditulis oleh orang lain. Bisa juga karena stag dan jatuh dalam kejumudan, dan mungkin juga karena alasan kesibukan ini dan itu sehingga memilih untuk mengabaikannya.
Maka, sebaik-baiknya tulisan adalah tulisan yang selesai dibuat, menyuguhkan hal-hal baru, dan enak dibaca dan pelu. Pada hal-hal yang demikian itu saya masih harus terus belajar.
(13 Mei 2021)
Penulis yang bagus adalah juga pembaca buku yang tekun. Anda tentu boleh tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Apatahlagi sebuah ide atau gagasan pada sebuah tulisan, bisa saja datang dari yang bukan melulu buku sebagai sumber pengetahuan satu-satunya di jagad ini.
(10 Mei 2021)
Menulis sajalah bila ingin menjadi penulis (biasa). Tetapi menulislah dengan selalu belajar bagaimana teknis menulis yang tidak saja baik, tetapi juga apik. Demikian itu jauh lebih memberikan kesempatan bagi pembaca memahami sekaligus memaknai lembar-lembar gagasan yang kongkrit, dan karenanya penulis mendapat tempat di hati dan pikiran para pembacanya.
Bukan penulis yang sedari awal diinterupsi oleh pembaca lantaran terusik oleh perkara semata belum kelarnya sang penulis memahami perkara EYD dan aspek teknis kepenulisan standard lainnya.
Sampaikanlah pandangan dengan tulisan secara terang benderang, argumentatif dan sekaligus didukung dengan data, untuk menguatkan sudut pandang. Mari merayakan gagasan!
(11 Februari 2021).
Masing-masing kita tentu pernah membaca buku. Tak peduli seberapa tipis atau pun tebal halaman buku. Pointnya adalah pernahkah kita menjadikan membaca buku sebagai sebuah pengalaman dan pernahkah kita mencatat pengalaman tersebut? Sungguh sangat disayangkan bila membaca sebagai sebuah pengalaman abai kita abadikan ke dalam sebuah catatan. Mari menuliskannya.
(10 Februari 2021)
*Kota Jambi, 2024.
0 Komentar