ilustrasi. sumber: kompas.com |
Oleh: Jumardi Putra*
Salah pilih, menyesal kemudian. Pilkada Jambi 2024 (Nol) Gagasan, begitu tajuk artikel yang saya tulis belum lama ini (selengkapnya baca di sini:Pilkada Jambi 2024 (Nol) Gagasan). Tulisan tersebut sejatinya sebuah autokritik atas kondisi high cost democracy, ditandai dengan politik transaksional (kerap diplesetkan menjadi nomor piro wani piro), seraya menagih komitmen bagi sesiapa saja yang berniat menjadi calon kepala daerah harus dibarengi isi kepala (untuk menyebut program dan inovasi).
Maka, segala upaya dari pelbagai elemen masyarakat (di luar penyelenggara Pemilu), yang menjadikan Pilkada sebagai ajang adu gagasan antar para kontestan, baik itu pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Wali Kota/Wakil Wali Kota dan Bupati/Wakil Bupati, perlu disambut dengan penuh sukacita.
Baru-baru ini muncul inisiatif dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Jambi dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kota Jambi mengundang pasangan calon Wali Kota dan Wakil Walikota untuk hadir memaparkan pokok-pokok pikirannya seputar arah pembangunan Kota Jambi ke depan sesuai tugas dan fungsi lembaga penaja.
Di luar soal teknis
penyelenggaraan (dengan syarat menjaga prinsip setara, adil, terbuka dan
non-partisan), saya mengapresiasi hajatan “sisik-siang” semacam itu. Saya
berharap dialog publik (apapun nama lainnya) makin banyak ditaja oleh pelbagai lembaga/komponen
masyarakat di wilayah Provinsi Jambi dan menyasar topik-topik fundamental-strategis
serta mempertemukan pelbagai kalangan masyarakat seperti akademisi, asosiasi
pengusaha, budayawan/seniman, jurnalis, NGO, kelompok pemuda dan organisasi profesi
publik lainya. Dengan kata lain, di forum dialog publik itu, baik petahana maupun
si penantang memiliki kesempatan yang sama untuk mempertahankan atau mengoreksi
program pembangunan yang telah ada. Maju, mundur atau berjalan di tempatkah
selama ini? Semua mendapat tempat untuk dipercakapkan secara terbuka.
Muncul pandangan bahwa kegiatan
semacam dialog publik tidak memengaruhi peraihan suara di TPS secara signifikan
dan bahkan bisa menciptakan polarisasi di kalangan pemilih. Bagi saya pandangan
demikian itu, selain tidak berpijak pada substansi dan prinsip demokrasi, juga bagian
dari paradigma usang (untuk menyebut kemunduran) pasca 25 tahun usia reformasi
di negeri ini.
Bukankah kita sedang
memilih orang yang bakal diamanahkan memimpin sebuah Provinsi/Kota/Kabupaten
selama lima tahun ke depan? Dengan demikian, publik perlu menguji isi kepala
mereka bakal ke mana pembangunan daerah ini ditambatkan. Jangan sampai seperti
bunyi pepatah “beli kucing dalam karung”.
Dialog publik setidaknya memiliki
tiga peran strategis yaitu mengembangkan politik programatik pada Pilkada 2024,
memfasilitasi publik untuk memahami visi, misi dan program serta inovasi yang
ditawarkan oleh calon kepala daerah pada Pemilu serentak 2024, dan mendorong
proses kandidasi yang partisipatif baik oleh partai politik maupun melalui
jalur perseorangan di dalam konteks regenerasi kepemimpinan di tingkat lokal.
Pada yang terakhir itu, perlu
menjadi renungan kita bersama, yaitu calon-calon kepala daerah yang diusung partai
politik masih berpatokan pada kekuatan finansial. Tak syak, rumor jor-joran uang
mahar yang disiapkan oleh bakal calon kepala daerah untuk mendapatkan rekomendasi
dari partai politik sehingga bisa mengikuti Pilkada berseliweran. Semestinya,
selain kesiapan modal, individu-individu yang diharapkan muncul di arena
kontestasi Pilkada adalah mereka yang mengakar-kuat secara sosiologis, memiliki
pengalaman manajerial dan intelektual yang memadai. Sedari bersama, pada diri seorang
leader tidak mungkin terdapat semua kafasitas
seperti yang diidealkan, tapi setidaknya ia mampu menjadi orkesrator atau orang
yang bisa mempertemukan banyak kekuatan perubahan untuk mencapai tujuan
pembangunan yang kelak disusun secara teknokratis menjadi dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) per lima tahun dan turunannya per tahun
yaitu Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Faktanya, visi-misi dan
program prioritas yang bom-bastis agar tampak populis dan didaftarkan ke KPU serta
tersebar luas saat kampanye berubah setelah menjadi dokumen resmi perencanaan
pembangunan daerah. Perubahan itu bisa terjadi karena banyak faktor yaitu selain
tidak sesuai urusan dan kewenangan, bisa juga tidak didukung regulasi seputar
pengelolaan keuangan daerah. Karena itu, di tengah kemampuan APBD yang
terbatas, kemampuan masing-masing calon kepala daerah dalam mengartikulasikan visi-misi
dan program prioritas serta inovasi yang ditawarkan kepada masyarakat harus
diuji terlebih dahulu melalui banyak forum dialog publik sebelum akhirnya
masyarakat menentukan pilihannya di TPS-TPS.
Dialog publik, apalagi bagi
kelompok pemilih muda, menjadi niscaya di tengah demokrasi yang berhadap-hadapan
dengan kekuatan uang dan disrupsi. Berbagai negara demokrasi telah mengalami
kemunduran dan bergerak menjauh dari nilai-nilai dasar demokratis, sehingga terjerembab
dalam politik identitas sempit, politik uang dan bertemunya pelbagai
kepentingan antara penguasa dan elit partai politik dengan oligark, yang ujung-ujungnya
kian menjauh dari maksud dan tujuan awal diadakan Pilkada yaitu untuk menciptakan
kesejahteraan semua elemen masyarakat.
Kondisi tersebut menandai
situasi politik global sekarang ini, sehingga Indonesia juga tidak terbebas
dari tantangan yang ada dan bahkan telah menjadi garda terakhir penerapan
demokrasi dalam konteks regional. Karena itu, kehadiran ruang dialog menjadi sarana
tumbuhnya demokrasi yang sehat dan berkualitas. Ruang dialog ini bertujuan mendorong
demokrasi yang berbasis politik programatik, sebuah pendekatan politik yang
dibangun berbasis ide dan inovasi.
Semakin sehat dan berkualitas proses Pilkada Jambi 2024 dapat mengubah perlahan-lahan dari high cost democracy menjadi affordable democracy. Keterjangkauan ini menjadi penting dalam menjamin adanya keterlibatan dari setiap elemen masyarakat untuk bersama-sama memastikan arah pembangunan daerah ke depan dimulai sejak kandidasi calon kepala daerah, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk kita.
*Tulisan ini terbit
pertama di portal jamberita.com pada Senin, 23 September 2024.
*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:
1) Pilkada Jambi dan Nyanyian Sunyi Sepanjang Oktober
2) Darurat Demokrasi: Memaknai Persinggungan Cendekiawan dan Politik
3) Quo Vadis APBD Jambi 2019-2024?
4) Ketindihan Teknokratis: Problem Akut Perencanaan Pembangunan
5) Pilgub Jambi 2024 dan Peta Jalan Pemajuan Kebudayaan
6) Persoalan Fundamental di Ujung Kepemimpinan Al Haris-Sani
7) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi
8) Anomali Pembangunan Provinsi Jambi 2023
9) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024
10) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023
11) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023
12) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024
13) Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023
14) Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan
15) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan
16) Mengantar Al Haris-Sani Ke Gerbang Istana
17) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi
18) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi
19) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi
20) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai
21) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Otokritik
0 Komentar