Mengatur Hidup Sederhana Sangatlah Tidak Sederhana

ilustrasi. sumber: harianaceh.co.id

Oleh: Jumardi Putra*

Momen pelantikan anggota DPR RI yang berlangsung beberapa waktu lalu menjadi sorotan publik. Bukan tanpa sebab, dari deretan tokoh kenamaan yang hadir, netizen ramai menyoroti penampilan orang terdekat anggota DPR RI saat diambil sumpah janjinya sebagi wakil rakyat, lantaran diketahui menenteng barang mewah seperti tas branded  merk Hermes Kelly Desordre, Lady Dior Medium, dan Mini Lady Dior Patent, yang harganya dibandrol mulai dari puluhan sampai ratusan juta rupiah. Belum lagi gaun yang dikenakan maupun aksesori mahal tur membahana lainnya. Siapa saja yang menjadi buah bibir saat itu, tak perlu saya kemukakan lagi di sini. Sila tuan dan puan berselancar di jagad maya, niscaya ditemukan portal media online yang memberitakan paradoks saat pelantikan wakil rakyat di senayan.

Tidak sedikit nitizen merujaki tingkah orang-orang yang memamerkan kemewahan saat pelantikan tersebut, seperti berikut ini:

"Menyala uang pajakku!"

“Ini arisan apa pelantikan DPR, mewah benar?”

"Kok bisa gak ada yang demo harga tas dewan vs gaji guru honorer?"

“Apa gak malu, ya? Di mana-mana para pejabat atau tokoh publik dihimbau agar hidup sederhana supaya disegani rakyat, ini kok malah pamer kemewahan?"

"Asli, sih. Kenapa gak dituntut sederhana sih? Kalau mau pakai, jangan dilihatin ke acara publik buat diliput"

"Kan berlomba-lomba kesederhanaannya sudah waktu kampanye, sekarang kembali ke setelan pabrik."

"Janji tuh emang manis di awal doang, Nder. Makin ke sini ya ngelunjak lah."

Mengatur agar pejabat hidup sederhana sangatlah tidak sederhana. Ruwet. Sejak dari zaman Presiden Soekarno hingga rezim pemerintahan sekarang terbit surat edaran maupun instruksi agar jajarannya hidup sederhana dan tak gemar pamer harta. Walakin, aturan yang dibuat itu selalu ada celah bagi pejabat untuk tidak mengindahkannya. Bahkan, dewasa ini publik kerap disuguhi tingkah pejabat di hampir semua kementerian/lembaga dan jajaran BUMN sampai ke level pemerintah daerah yang hidup bermewah-mewahan dan bahkan, secara terang-terangan mempublikasikannya di media sosial di saat rakyat sedang terhimpit kesusahan ekonomi.

Masih segar dalam ingatan saya (dan tentu saja tuan dan puan), sebelum ini masyarakat Indonesia digegerkan karena seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Rafael Alun Trisambodo (RAT), memiliki harta yang berlimpah. Sejurus kemudian, istri dan anaknya kerap memamerkan gaya hidup yang hedon di pelbagi platform media sosial. Begitu juga gaya hidup mewah keluarga mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang terungkap dalam persidangan tindak-pidana korupsi, karena menggunakan fasilitas dan uang yang bersumber dari APBN. Intinya, tidak sedikit contoh pejabat yang mempertontohkan kehidupan yang bertolak belakang dengan anjuran hidup bersahaja di pelbagai platform media sosial sekarang. Bedanya, ada yang keluarga pejabat yang ketahuan sehingga terjerat hukum dan berujung bui, tapi ada juga yang sembunyi-sembunyi. Faktanya, bukan sesuatu yang sulit bagi publik untuk melacak gaya hidup mewah keluarga pejabat di negeri ini.

Sejurus kemudian, bukan hal aneh bila publik menyangsikan instruksi Presiden Jokowi yang meminta pejabat negara untuk tidak gemar pamer harta. Apatahlagi, seperti yang dikeluhkan banyak orang, larangan pamer harta sesungguhnya belum menukik akar permasalahan. Artinya, gemar pamer harta hanyalah permasalahan yang tampak di permukaan, sementara penegakan hukum atas dugaan korupsi dan pencucian uang adalah akar masalah yang perlu diperhatikan. Potensi tindakan koruptif bisa jadi bermula dari sini.

Dalam tulisan ini penulis tidak membahas mengenai ketidakwajaran harta kekayaan para pejabat negara, tetapi bagaimana para pejabat dan kita semua mengambil i’tibar dari potret buram ini secara bijak dengan memahami akar dari persoalan di baliknya. Bila gaya hidup hedon dan suka memamerkan kemewahan terus-terusan begini, erosi kepercayaan terhadap integritas Kementerian/Lembaga/jajaran BUMN makin dalam. Puncaknya, bisa mengganggu stabilitas negara.

Kesederhaan hidup selalu berkait erat dengan etika, kejujuran, transparansi dan profesional dalam menjalani tugas sebagai pejabat negara, apapun level dan tingkatannya. Bersamaan hal itu, yang tidak kalah penting adalah empati kepada rakyat kebanyakan yang sedang kesusahan secara ekonomi. Maka, bekerjalah dengan sepenuh hati. Nikmati sepantasnya terhadap apa-apa yang diberikan oleh negara untuk menunjang kualitas pekerjaan yang dimandatkan kepada tuan dan puan, sehingga hasilnya dapat dirasakan riil oleh masyarakat. Bukan sebatas slogan dan tumpukan janji-janji politik belaka.

Terlintas di pikiran saya sosok Bung Hatta, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, untuk menyebut salah satu contoh nyata, yang memilih secara sadar hidup sederhana hingga akhir hayatnya. Saya tidak akan mengulang lagi di sini cerita betapa sederhana hidupnya bersama keluarga di masa itu. Yang jelas, bukan hal yang sulit bagi dirinya beserta keluarga untuk hidup mewah di masanya, tetapi itu tidak ia lakukan. Maka, pada contoh pribadi yang demikian, tidak diperlukan semacam surat instruksi atau edaran untuk hidup sederhana. Namun, faktanya kini memang tidak banyak lagi pejabat negara yang siap hidup demikian.   


*Kota Jambi, 07 Oktober 2024.

0 Komentar