Injit-Injit Semut, dari Bunda Corla Sampai Alif Fakod Kutai Kartanegara

Musisi Alif Fakod tampil di MWCF 2024

Oleh: Jumardi Putra*

Siapa tak kenal Bunda Corla, tiktoker sekaligus selebgram asal Sumetara Utara-Indonesia yang kini tinggal dan bekerja di Jerman. Tingkah-polahnya yang “pancaroba” di laman media sosial miliknya kerap diparodikan oleh para penggemarnya, tidak terkecuali lagu injit-injit semut yang belum lama ini dinyanyikannya sembari menangis sedu-sedan. Meski bakal tergantikan dengan hiruk-pikuk informasi baru lainnya, dan begitulah platform media sosial, pilihannya mendendangkan injit-injit semut menjadikanya viral setanah air. Apa sebab? Corla yang biasanya kocak habis dan blak-blakan, tetiba terisak menahan tangis, lalu segera setelahnya kembali riang, langsung joget dan sebagainya. Susah ditebak.

Konon lagu injit-injit semut berasal dari daerah Jambi (bagian dari Sumatera Tengah-era sebelum menjadi daerah otonom tingkat satu tahun 1957), genah saya tinggal dan bekerja sekarang. Memang lagu itu populer saat saya masih kanak-kanak, meski saya sendiri belum tahu persis asal muasalnya. Merujuk pemberitaan media online mainstream seperti Kompas.com dan Detik.com, lagu itu lebih familiar bagi kalangan anak-anak dan sering dinyanyikan dalam bentuk permainan, tapi kini bisa dinikmati generasi lintas usia dengan didukung pelbagai macam aransemen. 

Gayung pun bersambut, dua hari lepas lagu itu kembali menggema di ruang arena Taman Budaya Jambi (TBJ) lantaran dibawakan oleh musisi muda Alif Fakod dalam rangkaian Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024. Bukan saja karena sepilihan lagu yang dibawakannya itu (injit-injit semut salah satunya), tetapi alat musik Sape’ yang melekat di tubuhnya yaitu sebuah alat musik tradisional masyarakat Suku Daya, Kalimantan. Alif, begitu ia disapa, tampil memukau secara tunggal di hadapan penonton yang memadati arena TBJ. Kehadirannya melengkapi penampilan tim kesenian BSB pada Malay Stage MWCF, sesama delegasi dari Kalimantan Timur yang difasilitasi oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah Kalimantan Timur dan Utara.

Usut punya usut, Alif Fakod adalah salah satu peserta Indonesia Got Talent 2022 yang pernah masuk babak semifinal. Namanya hangat diperbincangkan karena kepiawaiannya memainkan alat musik tradisional Sape', sehingga tak heran ia pernah diundang oleh Presiden RI bersama talenta muda lainnya asal Kalimantan saat puncak HUT ke-77 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta (2022). Setidaknya, dari kanal instagramnya publik bisa mengetahui usahanya sampai saat ini mempopulerkan musik tradisional Sape’ asal Samarinda itu hingga ke kancah nasional-internasional. Tidak hanya itu, musisi muda yang belum lama ini berhasil menyelesaikan magister bidang etnomusikologi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, juga sukses menciptakan lagu Bright Sky dan Light. 

Malam itu, pria kelahiran 16 Agustus 1998 tersebut benar-benar berhasil membius para penonton. Kesuksesannya mengolaborasikan musik tradisional asal Samarinda dengan musik-musik kekinian menjadi senjata ampuh sehingga penonton betah menyaksikan sampai akhir pertunjukan. Tak syak, seisi ruang Teater Arena TBJ riuh-rendah oleh umumnya generasi mileneal dan gen Z. Sebuah bekal yang baik untuk tetap melestarikan musik tradisional khas Kutai Kartanegara di pentas global dengan tetap tidak tercerabut dari akar historis-budayanya.

Alif Fakod menjadi bukti nyata, khasanah kebudayaan daerah perlahan-lahan akan tersingkir bila tidak disertai usaha melestarikan seraya tetap menemukan relevansinya dengan perkembangan global sekarang. Faktanya, dunia teknologi digital telah merubah cara orang berpikir dan menikmati kebudayaan, apatahlagi seni tradisi yang berjarak jauh dengan generasi sekarang. Empat hari selama penyelenggaraan Malay Stage, bagian dari rangkaian MWCF, saya melihat secara langsung perlunya usaha merawat seni tradisi dalam bentuknya aslinya dan saat bersamaan menghadirkan wujudnya yang baru (hasil kreasi) adalah cara terbaik untuk memajukan kebudayaan Indonesia.

Penulis bersama musisi Alif Fakod

Enam Provinsi rumpun wilayah Melayu se Indonesia yang menampilkan seni tradisinya pada Malay Stage, mulai 14 sampai 17 Oktober 2024, yaitu Kepulauan Riau (Gambus Talang Mamak, Syair Cendrawasih dan Syair Cecah Inai), Sumatera Selatan (Guritan Basemah dan Sembah Panjang ), Jakarta dan Banten (Zapin dan Tari Samrah Betawi), Sumatera Utara (tari 8 etnis), Jambi (Senandung Jolo), dan Kalimantan Timur dan Utara (Tari Jepen, Tingkilan dan Musik Sape), selain telah berhasil menganggit kekayaan budaya (melalui musik, tari dan seni tutur) yang merepresentasikan cara pandang sekaligus karakteristik masyarakat setempat, juga menabalkan bahwa kebudayan tidak bersifat statis, melainkan dinamis. 

Seni tradisi baik itu berupa tuturan, tari, musik dan pelbagai dukungan instrumen alat lainnya menunjukkan adanya pengaruh dari daerah-daerah di luarnya yang beririsan dalam konteks sejarah maupun faktor geografis, yang sejatinya itu memberi pesan bagi generasi saat ini untuk tidak terjerambab pada cara pandang dan sikap enggan berinteraksi dengan dunia luar. Dengan kata lain, sikap tertutup pada kebudayaan di luar dari daerah tempat kita lahir dan tumbuh adalah sikap yang bertolak belakang pada watak kebudayaan itu sendiri. Bahwa kemudian tetap memegang erat jatidiri, itu tidak lantas menapal-batas ruang interaksi dengan dunia luar dengan segala pernak-perniknya. 

Sejurus kemudian, sekalipun umumnya sudah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) nasional, dari Malay Stage tersebut saya juga melihat sebuah kenyataan tentang seni tradisi Melayu dihadapkan dengan tantangan berat yaitu regenerasi yang mandeg, terutama terlihat pada Guritan Basemah dan Sembah Panjang asal Provinsi Sumatera Selatan. Sekalipun demikian, itu tidak lantas mengajak publik, terutama masyarakat seni untuk pesimis. Setidaknya, pada Senandung Jolo (Muarojambi) dan seni tradisi dari rumpun wilayah Melayu lainnya, saya juga melihat bahwa proses regenerasi masih terus berlangsung, meski dengan intensitas yang jarang.

Saya teringat yang dikatakan budayawan Yudistira AN. Massardi, bahwa kepada seni budaya yang masih hidup, berikan energi baru (berdayakan, lahirkan kembali, pertahankan orisinalitasnya sambil ciptakan varian baru dengan warna dan kemasan baru). Untuk yang sudah punah dan terkubur, lakukan penelitian dan penggalian, petakan anatominya, tuliskan sejarahnya, lantas ciptakan replikanya, agar bisa menjadi sumber inspirasi bagi generasi baru.

Melalui musisi muda seperti Alif Fakod dan seniman lainnya yang telah memeriahkan event MWCF 2024, publik kembali diingatkan tentang sebuah kesadaran yaitu tidak menjadikan kekayaan budaya sebatas barang antik yang dapat membuat sesiapa saja terbelalak lalu terjerembab dalam romantisme masa lampau belaka, tetapi menjadikannya sebagai ruang terbuka untuk ditilik kembali sehingga menjadi pengetahuan sekaligus mewujud dalam bentuk karya seni kreatif yang berguna sekaligus menginspirasi. Dengan cara itu, tidak berlebihan kiranya, para futurolog meyakini bahwa hanya masyarakat yang berusaha keras mempertahan sekaligus mengembangkan kebudayaan lokal lah yang mampu hidup dan mewarnai abad globalisasi saat ini dan ke depannya.


*Kota Jambi, 19 Oktober 2024.  

0 Komentar