ilustrasi. sumber:hukumonline |
Sekarang adalah masa tenang. Proses
kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota yang berlangsung sejak 25 September hingga 23
November 2024, dengan segala dinamikanya berakhir sudah. Masa tenang ini
berlaku hingga hari H pemungutan suara Pilkada 2024 secara serentak pada 27
November 2024 mendatang.
Benarkah masyarakat berada
dalam masa tenang, sebagaimana maksud di balik tersedianya ruang demikian
itu-lalu diharapkan menjadi momentum bagi pemilih untuk “menengok ke dalam
diri” secara kritis atas suksesi kepemimpinan lokal lima tahunan ini?
Saat yang sama, masa tenang adalah juga fase paling kritis. Berkaca pada Pilkada yang sudah-sudah, selama tiga hari itu terbuka ruang terjadinya politik uang dan yang paling penting memastikan distribusi logistik tepat waktu, tepat sasaran dan tepat jumlah. Di tengah sistem politik berbiaya tinggi di negeri ini, tak heran bila banyak yang menyangsikan masa tenang itu. Kalau pun segala bentuk kampanye dinyatakan terlarang dalam masa tenang, sejatinya pelbagai modus kampanye terus bergerak secara sunyi-senyap.
Publik masygul, apatah lagi dua hari jelang masa tenang publik dikejutkan Operasi Tangkap Tangan (OTT) lembaga antirasuah (KPK) terhadap tiga orang terkait dana kampanye di Provinsi Bengkulu. Mereka adalah Rohidin Mersyah (RM), Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu Isnan Fajri (IF), dan Anca (AC) adc Gubernur Bengkulu. Rohidin tak lain dan tak bukan adalah calon petahana pada Pilkada 2024.
Saya tidak akan mengulik lagi
di sini segala macam larangan berkampanye bagi pasangan calon, partai politik
dan tim pemenangan dan bahkan relawan selama masa tenang, seperti telah diatur dalam
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye
Pemilihan Kepala Daerah. Biarlah itu menjadi urusan penyelenggara pemilu baik
KPU maupun Bawaslu dan atau para pengamat politik.
Setelah melewati masa
kampanye yang dipenuhi janji-janji politik, mewabahnya hoax, ujaran kebencian,
pertikaian, dan bahkan potensi segregasi sosial, maka sudah semestinya bagi
kelompok sipil progresif untuk merawat nalar politik kepublikan yang sehat demi
menghasilkan kepemimpinan yang legitimate.
Sedari bersama, sistem
demokrasi tidak imun dari politik tanpa nalar atau politik Machiavellian dalam
wujudnya yang tidak tunggal pada suatu daerah dengan daerah lainnya di republik
ini. Kepentingan jangka pendek calon kepala daerah beserta kaum elit di
sekelilingnya kerapkali menghalalkan segala cara, salah satunya melalui money politic.
Dalam situasi itu, entah
secara terang-terangan maupun sebaliknya, para elit kekuasaan, elit politik,
elit ekonomi, elit agama dan elit sosial-budaya terlibat dalam persekutuan
tidak suci (unholy alliances) dalam menerapkan politik tanpa nalar.
Politik yang tidak
menggunakan atau memanipulasi nalar (unreason politics atau politics of
unreason) sejatinya bukan sesuatu yang baru. Dalam sistem dan proses demokrasi
-- berbagai cara tak bernalar yang manipulatif dan menyesatkan untuk mencapai
tujuan dan kepentingan politik tertentu telah menjadi praktik kalangan kekuatan
politik.
Dalam karyanya, The Prince,
Machiavelli (1469--1527) menggambarkan cara-cara suatu rezim memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan berupa mementingkan diri sendiri, rezim yang ingin
berkuasa memanipulasi, menipu dan mengeksploitasi. Cara-cara yang digunakan itu
jelas bertolak belakang dengan nalar sehat.
Guna menghindari berkuasanya
elit politik yang dilahirkan oleh nalar politik yang tidak sehat tersebut, masyarakat
perlu lebih serius memahami nalar politik yang digunakan oleh peserta pemilu
jelang pencoblosan. Seraya hal itu, dalam masa tenang, masyarakat perlu
sungguh-sungguh mendalami setiap visi, misi dan program prioritas dari calon
kepala daerah yang berkompetisi.
*Kota Jambi.
0 Komentar