Anugerah Kebudayaan Indonesia 2024. Sumber foto: AKI |
Almanak 2024 sebentar lagi
berganti. Memikirkan ulang capaian bidang kebudayaan setahun berjalan ini
menjadi keharusan bagi Pemerintah Provinsi Jambi dan Kabupaten/Kota sebelum
menapaki lembaran 2025. Sepengamatan saya, beberapa perhelatan kebudayaan terselenggara sepanjang tahun ini baik ditaja oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota maupun komunitas/sanggar seni. Segera muncul pertanyaan, benarkah itu menandai sebuah
capaian kerja kebudayaan atau aktivisme belaka alias asal jalan dengan serapan
anggaran yang mengangumkan?
Faktanya, tidak satu pun
lembaga daerah baik Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi
yang meraih Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024. Bahkan, dalam
rentang 2017 sampai 2024, kecuali 2019 tercatat Nek Maryam asal Kabupaten
Muarojambi sebagai penerima AKI kategori maestro seni tradisi senandung Jolo,
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi hanya sebagai penonton
alias gagal mendapatkan penghargaan di ajang bergengsi bidang kebudayaan tersebut.
AKI bukan satu-satunya
instrumen mutlak untuk mengukur hasil dari kerja-kerja bidang kebudayaan,
tetapi ia bisa menjadi salah satu indikator untuk melihat keselarasan antara
kuantitas dan kualitas program serta dukungan regulasi dan pembiayaan di bawah
agenda pemajuan kebudayaan di daerah-daerah, tidak terkecuali di Provinsi
Jambi.
Bukankah Pemerintah Provinsi
dan Kabupaten/Kota memiliki Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD)?
Sebagai “cetak biru” pemajuan bidang kebudayaan, PPKD menjadi bagian integral
dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), lalu diturunkan ke
dalam RKPD tahunan serta termanifestasikan dalam RAPBD. Pangkal masalahnya
adalah benarkah dokumen itu menjadi rujukan dalam penyusunan rencana
pembangunan daerah atau justru terlewatkan, seiring silih berganti orang-orang
yang ditempatkan oleh kepala daerah bertugas mengurusi bidang kebudayaan,
sehingga menjadi tidak terukur sekaligus tidak tentu arah pelaksanaannya.
AKI merupakan inisiasi dari
Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi (Kini Kementerian Kebudayaan di bawah kabinet Merah-Putih Presiden
Prabowo Subianto) sejak tahun 2017 hingga sekarang, sejalan dengan amanat Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Bahkan, dalam perjalanannya
terbit Permendikbudristek Nomor 47 tahun 2022 tentang Tata Cara Pemberian
Penghargaan Kebudayaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Program apresiasi ini
merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap individu, komunitas/kelompok,
dan/atau lembaga yang berprestasi atau berkontribusi dalam Pemajuan Kebudayaan.
Seiring berjalan waktu, katageori penerima AKI mengalami perluasan, sehingga
diharapkan memotivasi para penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia untuk terus
berkarya.
Merujuk Surat Keputusan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Tentang Penerima Anugerah
Kebudayaan Indonesia 2024, diketahui bahwa AKI terdiri atas kategori Tanda
Kehormatan dari Presiden Republik Indonesia; Maestro Seni Tradisi; Pelestari;
Pelopor dan/atau Pembaru; Anak; Media; dan Lembaga dan Perorangan Asing.
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia Tahun 2024 diberikan penghargaan dalam
bentuk uang, pin emas, piagam, dan/atau plakat.
Ketiadaan perwakilan baik perorangan maupun komunitas dan bahkan lembaga pemerintah daerah di Provinsi Jambi sebagai penerima AKI selama ini, sejatinya menyiratkan sebuah pertanyaan bernada gugatan, “Apo nian gawe bidang kebudayaan baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota selama ini?”. Pertanyaan yang sama juga relevan dialamatkan kepada Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V Jambi, karena selama ini muncul kesan terlalu fokus pada Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi ketimbang pengarusutamaan pelestarian kebudayaan di semua Kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi.
Idealnya capaian AKI ini akan
membuka peluang bagi pemerintah daerah dan senimanya untuk lebih banyak
berkecimpung di ruang-ruang publik, memperluas jejaring, sehingga bermanfaat
bagi penerima dan dapat memperkuat ekosistem kebudayaan, sejalan dengan amanat
UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yaitu pemerintah perlu
mempercepat upaya untuk menghidupkan, menggelorakan, melestarikan, serta
mengembangkan kebudayaan dalam pembangunan nasional, utamanya terhadap 10 objek
pemajuan kebudayaan yakni tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus,
pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat,
dan olahraga tradisional.
Di luar perkara gagalnya Jambi meraih AKI, publik sedikit terobati berkat keberhasilan Desa Air Hitam Laut di Tanjung Jabung Timur dan Desa Rambutan Masam di Batanghari terpilih sebagai Desa Budaya secara nasional bersama tiga desa lainnya dari Provinsi Jawa Tengah dari Kementerian Kebudayaan RI, belum lama ini. Desa-desa tersebut dinilai secara konsisten terus mengembangkan dan memanfaatkan potensi budaya untuk pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
Anugerah
Kebudayaan Daerah
Sejauh ini Provinsi Jambi
belum memiliki penghargaan yang didesain khusus untuk mengapresiasi kerja-kerja
kebudayaan baik untuk perseorangan budayawan/seniman, komunitas seni dan
lembaga senafas lainnya. Kalaupun ada, sifatnya sporadis, tergantung keperluan.
Faktanya, sebuah penghargaan prestesius tahunan yang melibatkan tim penilaian
dengan kriteria ketat, itu sampai kini belum ada.
Dewan Kesenian Jambi (DKJ)
bersama Pemerintah Provinsi Jambi (dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jambi) pada tahun 2013 dan 2014 pernah membuat penghargaan
“Gong Betuah”. Anugerah tertinggi bidang budaya kategori perseorangan tersebut melibatkan tim
ahli/seleksi dengan aturan kriteria dan mekanisme pemilihan yang ketat bagi
calon penerima.
Bentuk penghargaan Gong
Betuah itu, selain berupa uang santunan apresiasi, juga pin emas dengan berat 5
suku 24 karat (berisikan simbol Gong, Lira dan Keris Siginjei) dan piagam
penghargaan. Jumlah uang yang diterima oleh peraih anugerah Gong Betuah masih
tergolong kecil, jauh bila dibandingkan dengan AKI.
Tersebab kepengurusan DKJ
periode 2015-2018 mandek, anugerah itu diteruskan oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jambi dan diberikan saat perhelatan Malam Keagungan Melayu
Jambi, rangkaian dari perayaan Ulang Tahun Provinsi Jambi setiap 6
Januari. Namun, saya tidak mengetahui
persis, bagaimana aturan, mekanisme pemilihan dan bentuk penghargaannya setelah
tidak lagi dikelola Dewan Kesenian Jambi. Apakah masih Gong Betuah atau dengan
nama lain? Sejurus hal itu, bagaimana pula anugerah kebudayaan di tingkat
Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi? Saya juga tidak tahu pasti.
Hal ini penting saya kemukakan agar geliat kebudayaan Jambi tumbuh dan berkembang melalui hasil kerja budayawan/seniman di seantero Provinsi Jambi yang betul-betul diapresiasi pemerintah daerah. Di samping itu, anugerah kebudayaan daerah perlu disiapkan melalui proses pemilihan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan oleh tim ahli sesuai kepakaran, sehingga dapat diterima oleh publik, terutama dari kalangan pegiat maupun komunitas budaya.
Gagasan di atas sejalan
dengan amanat Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jambi
Nomor 5 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor
7 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Melayu Jambi. Begitu
juga amanat Pasal 90 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 Tahun 2021
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan
penghargaan yang sepadan kepada pihak yang berprestasi atau berkontribusi luar
biasa sesuai dengan prestasi dan kontribusinya dalam Pemajuan Kebudayaan.
Dengan demikian, political
will Pemerintah Provinsi Jambi di bawah kepemimpinan Gubenur Al-Haris untuk pemajuan kebudayaan benar-benar diuji.
*Kota Jambi, 26 Desember 2024. Tulisan ini terbit pertama kali di portal Pusat Kebudayaan Jambi.
*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:
- Pilgub Jambi 2024 dan Peta Jalan Pemajuan Kebudayaan
- Pilkada Jambi dan Nyanyian Sunyi Sepanjang Oktober (2024)
- Najwa Sihab dan Peradaban Yang Hilang di Muaro Jambi (2024)
- Polemik di Balik Gelar Adat Melayu Jambi (2024)
- Apa dan Kenapa MWCF Jambi? (2024)
- Batu Bara sebagai Persoalan Kebudayaan: Sebuah Autokritik (2024)
- Festival Literasi Jambi, Dari Militansi ke Retrospeksi (2023)
- Di Balik Layar Beranda Budaya TVRI Jambi (2022)
- Di Balik Panggung Pemilihan Bujang-Gadis Jambi (2022)
- Quo Vadis Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi (2022)
- Al Haris-Sani dan Pengarusutamaan Kebudayaan: Sebuah Autokritik (2021)
- Duta Baca Prov Jambi, Kerja Apa? (2021)
- Mengenal Dr. Fiona Kerlogue dan Batik Jambi (2021)
- Profesor Bill Watson dan Kerinci (2021)
- Quo Vadis Dewan Kesenian Jambi (2020)
- Djang Aisjah Muttalib dan Penelitian Sejarah Sarikat Abang di Jambi (2020)
- Maryam dan Anugerah Maestro Seni Tradisi (2019)
- Menyoal Warisan Budaya Tak Benda Prov Jambi (2018)
- Quo Vadis Taman Budaya Jambi (2017)
- Jambi TUNTAS Defisit Kebudayaan (2016)
- Melampaui Kekisruhan FIB Universitas Jambi (2016)
- Pilgub Jambi: Pariwisata Tunabudaya (2015)
- Kabut Asap dan Ekonomi Tunabudaya (2015)
- Malam Keagungan Melayu Jambi dan Hal-Hal Yang Belum Selesai (2015)
- Jambi EMAS Minus Kebudayaan (2014)
- Urgensi Konferensi Studi Jambi (2013)
- Revitalisasi Budaya Lokal Jambi, Sebuah Catatan (2011)
0 Komentar