ilustrasi. sumber: suara.com |
Oleh: Jumardi Putra*
Publik murka. Ulah candaan Gus Miftah bernada olokan kepada seorang penjual es teh di tengah pengajiannya belum lama
ini mendadak viral di linimasa. Nitizen tanah air ramai mengkritik sikap sang
pendakwah yang juga adalah utusan khusus Presiden bidang kerukunan beragama
dan pembina sarana keagamaan tersebut. Meski Gus Miftah sudah menemui sekaligus
meminta maaf secara langsung kepada pak Sunhaji, itu bukan berarti sepi
dari gunjingan publik. Bahkan, publik mendesak Gus Miftah mundur dari
jabatannya sebagai utusan khusus Presiden Prabowo Subianto. Tak pelak, imbas
dari kritik publik yang belum mereda itu, membuat Gus Miftah memilih melepaskan
jabatan yang belum lama diembannya.
Saat yang sama, Pak Sunhaji justru
banjir sokongan dari pelbagai pihak, sebut saja seperti muncul tawaran umroh
gratis dan bahkan haji furoda, uang
tunai dalam jumlah banyak, beasiswa pendidikan, modal usaha dan bahkan dukungan peralatan guna menunjang
usaha Sunhaji sebagai penjual es teh keliling. Kesemuanya itu tentu di luar
pikiran seorang Sunjahi yang sebelumnya hanya bekerja sehari-hari sebagai
penjual es teh untuk menopang ekonomi keluarga. Singkatnya, terlepas dari niat
di balik segala bentuk dukungan dan donasi yang muncul dari banyak warga, publik figur dan lembaga kepada pak Sunhaji, sejatinya ini adalah sebaik-baiknya i’tibar atau pelajaran bagi kita semua, terutama
bagi pejabat publik di negeri ini agar tidak merendahkan siapapun, apatahlagi golongan orang-orang miskin, bagian dari kebanyakan warga di republik ini.
Saya pribadi tidak mengenal
pak Sunhaji, kecuali hanya melalui berita-berita yang membuat dirinya familiar
di media sosial belakangan ini. Walakin, dari informasi terbatas tentang
pak Sunhaji, saya menjadi mengerti bahwa sebagai seorang ayah, ia adalah pria
yang bertanggungjawab mencari nafkah buat keluarga kecilnya dengan cara-cara
yang halal dan sesuai kemampuannya, yang secara jumlah penghasilan masih jauh
dari kata ideal untuk menghidupi keluarganya.
Begitu juga dengan Gus
Miftah, saya tidak pernah berinteraksi langsung dengan pria berambut gondrong
itu, kecuali hanya mengetahui sepak terjangnya melalui berita-berita di media
mainstream bahwa ia merupakan seorang pengasuh Pesantren “Ora Aji” di Kabupaten Sleman-Yogyakarta, yang memberi tempat bagi anak-anak jalanan, mantan preman, mereka yang pernah
terjebak di “dunia malam” dan elemen dari masyarakat kurang mampu lainnya untuk
nyantri (belajar) agama secara gratis di pesantren tersebut. Selain kerap muncul
di tivi-tivi nasional, ia juga dikenal sebagai pendakwah di klub-klub malam dan kawasan lokalisasi,
sebuah pilihan problematik dan tidak mudah tentunya, yang belum sepenuhnya dapat
diterima oleh masyarakat kebanyakan. Bahkan, jelang Pemilihan Presiden-Wakil
Presiden Periode 2024-2029, Gus Miftah makin populer dan bergabung dalam
barisan pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Makin tidak
terbendung popularitas pria yang bernama lengkap Miftah Maulana Habiburrahman itu di
negeri ini mulai dari mengisi ceramah di daerah-daerah pelosok, gang-gang sempit hingga hotel berbintang. Faktanya, memang ia dikenal luas berinteraksi dengan para elit agama, politik
dan ekonomi serta para influencer ternama di negeri ini.
Tulisan ini tidak bermaksud menjadi
bagian dari para pengkritik yang merasa lebih baik dibanding Gus Miftah lantaran
dirujak publik pasca mengolok-ngolok pak Sunhaji, seorang penjual es teh. Salah
ucap yang dapat menyinggung perasaan seseorang sangat mungkin terjadi dalam pergaulan
kita sehari-hari, apatahlagi bila itu terjadi di tengah keramaian, yang bisa
membuat seorang merasa dipermalukan dan karenanya tersinggung yang tidak
tertanggungkan.
Dari masalah Gus Miftah dan
Pak Sunhaji, saya dapat mengambil sebuah hikmah yaitu kekuasaan dalam
kenyataannya kerap melupa. Kekuasaan yang saya maksud adalah sebuah jabatan
dengan tanggungjawab, fungsi dan kewenangan yang melekat atau dilekatkan pada
seseorang bisa berpotensi berbuat salah, untuk menyebut tidak sejalan dengan tujuan dan
maksud jabatan itu dibuat. Sekalipun kekuasaan itu bersifat temporer
(sementara), pada pelbagai level dan tingkatan, baik itu di ranah politik, ekonomi,
pendidikan, hukum, agama dan sosial (dengan adanya relasi sosial), nyatanya ia kerap menjadi candu, dan akibat dari kecanduan itu membuat seseorang melupa.
Itu kenapa pejabat publik
tidak saja diharapkan memiliki kecakapan secara intelektual, tapi juga cakap
dalam sisi emosional dan spiritual. Ketiga hal pokok itu menjadi bekal bagi
seseorang dalam melakoni jabatan yang diembannya. Sekalipun pintar plus
memiliki kewenangan yang besar dan strategis di sebuah struktur jabatan
kekuasaan, tidak lantas dibenarkan berkata kasar kepada orang lain, termasuk bawahan
di tempatnya bekerja. Ketegasan jelas tidak sama dengan berkata kasar, apatahlagi
jika harus mengeluarkan kata-kata berkonotasi merendahkan harga diri
seseorang. Begitu juga bercanda, sangat diperlukan kehati-hatian dan kesadaran
pada konteks yang melingkupinya sehingga tidak berubah menjadi kontra-produktif.
Saya kerap menerima cerita
berupa keluhan dari seseorang yang merasa diperlakukan tidak menyenangkan oleh
atasannya di tempatnya bekerja sehari-hari. Kata-kata ala “kebun binatang” begitu
mudah keluar dari mulut sang pejabat. Hal demikian itu jelas tidak dibenarkan. Apa
sebab? Usaha mengevaluasi atau mengoreksi individu-individu dalam sebuah manajemen
organisasi modern adalah sebuah keharusan, tetapi itu tidak lantas membenarkan
segala bentuk ucapan maupun tindakan yang merendahkan harga diri seseorang, tidak
terkecuali mereka yang notabene berada di lapisan bawah dalam hirarki pekerjaan
di sebuah perusahaan atau birokrasi pemerintahan.
Begitu juga di ranah agama yaitu saat para penceramah di negeri ini terjebak dengan otoritasnya sebagai pribadi yang mengerti ilmu agama sehingga membuatnya lupa diri, kalau bukan jumawa dengan jubah keagamaan yang disandangnya sehingga merasa paling benar di banding umat biasa yang secara pemahaman keagamaan sangat minim, belum lagi bila hidup mereka dililit kemiskinan. Kelompok agamawan beginian sudah diperingatkan Nabi Muhammad SAW semasa hidup yaitu orang-orang yang bersikap pongah lantaran memiliki pengetahuan tentang agama sehingga bersikap sombong dan seenaknya. Sikap demikian itu bisa jadi tanpa sadar, akibat tidak mawas diri.
ilustrasi. sumber: kompas.com (instagram) |
Kembali ke soal awal. Gus Miftah sudah meminta maaf kepada orang yang dioloknya. Pak Sunhaji sudah pula memaafkan Gus Miftah dan bahkan yang bersangkutan telah menjadi salah satu anggota kehormatan BANSER, sayap dari Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). Tidak hanya itu, bahkan Pak Sunhaji masih terus mendapat dukungan dan bantuan dari banyak orang.
Begitu juga Presiden Prabowo Subianto telah merespon polemik yang seolah tidak berkesudahan ini. Bahkan, selain
polemik Gus Miftah dengan Sunhaji, salah ucap yang dinilai telah merendahkan
masyakat ekonomi kelas bawah dengan sebutan “rakyat jelata”, juga datang dari
salah seorang Juru Bicara dari Kantor Komunikasi Presiden yaitu Adita Irawati yang membuatnya dirundung nitizen lalu meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia.
Energi bangsa sebesar
ini jangan diporsir untuk mempercakapkan peristiwa ini terus menerus. Bahwa kejadian semacam ini perlu dikritik, iya saya setuju. Namun, yang lebih penting adalah menjadi i'tibar atau pelajaran buat
kita semua pada level dan tingkatan apapun agar senantiasa mawas diri dan tidak
merendakan harga diri seseorang. Terutama bagi pejabat publik di negeri ini,
jelas ini alarm agar tidak mengulang
kembali. Bekerjalah dengan sungguh-sungguh sehingga kehormatan yang melekat
atau dilekatkan pada jabatan yang disandang benar-benar menjadi suritauladan. Seraya hal itu, hiduplah dengan kesederhanaan. Nikmatilah sewajarnya segala macam
fasilitas penunjang pekerjaan yang diberikan oleh negara, yang itu bersumber dari pajak dan keringat rakyat kecil di seantero negeri ini. Jangan
sampai kekuasaan membuat para pejabat di negeri ini, dengan harta yang berlebih,
berlaku sombong, gila hormat dan lupa diri dari mana asal muasal jabatan itu
datang.
Saya tahu hal itu mudah
diucapkan, tapi sulit diamalkan, seperti bunyi pepatah dalam bahasa Latin, “Honores
mutant mores”. Secara harfiah, pepatah ini bermakna “kehormatan mengubah
perilaku atau moral”. Sementera itu, arti kiasannya adalah “saat manusia
berkuasa berubahlah perilakunya”. Fatalnya, perubahan perilaku itu cenderung ke
arah negatif yaitu seperti korup, hipokrit, tamak, sombong, suka merendahkan orang lain, berkata kasar dan bentuk tindakan tidak terpuji lainnya.
Wahai pejabat di negeri ini yang kami hormati, berempatilah pada warga kelas akar rumput atau orang-orang seperti pak Sunhaji yang masih banyak di negeri ini. Sejatinya kehidupan yang dilalui oleh orang-orang seperti pak Sunhaji menyadarkan kita bahwa kemiskinan struktural itu adalah kenyataan. Dengan demikian, menjadi tugas Presiden Prabowo Subianto bersama kabinet merah putihnya untuk mengangkat derajat warga negara Indonesia menjadi sejahtera agar tidak mudah direndahkan oleh siapapun.
*Kota Jambi, 07 Desember
2024.
*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:
1) Pilkada Jambi dan Nyanyian Sunyi Sepanjang Oktober
2) Darurat Demokrasi: Memaknai Persinggungan Cendekiawan dan Politik
3) Quo Vadis APBD Jambi 2019-2024?
4) Ketindihan Teknokratis: Problem Akut Perencanaan Pembangunan
5) Pilgub Jambi 2024 dan Peta Jalan Pemajuan Kebudayaan
7) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi
8) Anomali Pembangunan Provinsi Jambi 2023
9) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024
10) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023
11) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023
12) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024
13) Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023
14) Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan
15) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan
16) Artidjo Alkostar: Penegak Keadilan
17) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi
18) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi
19) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi
20) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai
21) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Otokritik
0 Komentar