Esok, Kita Mesti Menemukan, Sekali Lagi, Kenyataan Dunia Ini

ilustrasi. sumber: kumparan

Oleh: Jumardi Putra*

Tahun ini tidak mudah, walakin Alhamdulillah. Tidak ada perayaan khusus di keluarga kecil kami menutup tahun ini, galibnya tahun-tahun sebelumnya ditandai dengan membakar jagung, bakso dan sosis ayam di pelataran rumah.  

Usai magrib berjamaah, kami melanjutkan membaca surah Yasin dan memungkasinya dengan Isya berjamaah pula, bebarengan menyambut 1 Rajab 1446 Hijriah. Tiada yang membahagiakan pada momen tersebut melainkan menengadahkan tangan kepada Tuhan, Allah SWT, semoga 2025 menjadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya, meski efek dari penerapan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 adalah tantangan yang tidak mudah, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Sembari menikmati suasana malam, saya bersama istri motoran membeli roti bakar dan kelapa muda di pinggiran jalan Mayang, melengkapi menu semur ayam dan terong goreng yang diracik istri siang hari. Lalu lalang kendaraan di sepanjang jalan menandai denyut kehidupan malam di kota tempat kami bermastautin. Dagangan makanan ringan dan berat di kanan-kiri sepanjang jalan lumayan ramai pembeli. Alhamdulillah, di tengah daya beli masyarakat yang menurun, geliat seperti itu menyeruapkan optimisme.  

Kembali ke rumah. Si bungsu dan si sulung main gawai, setelah sebelumnya mereka dengan penuh antusias menyantap semur ayam racikan mamanya, kebetulan itu menu kesukaan kami sekeluarga. Selain murah, harga bumbu dapurnya juga terjangkau. Giliran berikutnya kami semua menyantap roti bakar dan minum air kelapa muda. Alhamdulillah.

Selain menerima kabar dari beberapa kawan yang tengah merayakan akhir sanah, saya juga menyaksikan melalui gawai beragam bentuk dan jenis perayaan menutup tahun di pelbagai kota di tanah air berjalan penuh sukacita. Ada yang memilih mengikuti pesta rakyat di sebuah lapangan luas. Begitu juga sebagian warga mengikuti zikir bersama di sebuah Masjid. Sebagiannya lagi menghabiskan waktu bersama keluarga atau sejawat berlibur ke tempat-tempat wisata. Kehadiran media sosial sekarang memudahkan satu sama lain menyaksikan apa-apa yang dikerjakan setiap orang, terlepas itu benar atau justru sebaliknya, terlebih perilaku flexing sekarang membuat linimasa dipenuhi sampah-sampah virtual. Ringkasnya, semua merayakan akhir tahun ini dengan caranya masing-masing sembari meneguhkan harapan menjemput impian yang lebih baik di tahun mendatang seperti halnya seruan Celine Dion dalam sonata The Power of Dream yang mengajak setiap manusia untuk memiliki the power of dream, the faith in things unseen, and the courage to embrace our fear.

Saya teringat pesan K.H. Zainal Arifin Thoha, pendiri Pesantren Hasyim Asy’ari Yogyakarta dalam sebuah pengajian tutup tahun yang saya ikuti sekira 21 tahun lalu, "Kita yang memilih merayakan pergantian tahun dengan cara muhasabah melalui pengajian begini tidak dibenarkan berprasangka buruk kepada mereka yang mengisi waktu tutup tahun dengan pelbagai acara lainnya yang notebene sarat duniawi. Jangankan mengolok-ngolok, terbesit di hati pun dilarang. Cukuplah buat kita saling mendoakan kebaikan buat sesama muslim maupun sesama warga negara Indonesia”.  Pesan Kiai Zainal itu bukan fatwa, melainkan anjuran kebaikan sarat kedamaian. Pada akhirnya berpulang kepada diri masing-masing.

Jarum jam menunjukkan angka 22.30an, istri dan anak memilih istirahat tanpa harus menunggu tepat pukul 12.00 WIB untuk memastikan malam pergantian tahun ini. Saya sendiri memilih melanjutkan membaca buku dan menulis. Dari kejauhan suara dentuman kembang api memecah keheningan malam. Dalam suasana itu, saya teringat bait-bait puisi penyair Octavio Paz “1 Januari” berikut ini:


Esok, kita mesti menemukan isyarat-isyarat/mengurai lanskap,
Merancang rencana di halaman ganda/helai hari dan kertas kerja
Esok, kita mesti menemukan, sekali lagi, kenyataan dunia ini.

Kenyataan 1 Januari 2025 yaitu kita masih di bawah langit dan matahari yang sama, di bawah pasar dan rezim kapitalisme yang sama. Maka, relevan yang pernah ditulis oleh dua budayawan mbeling tanah air yaitu almarhum Prie GS melalui novelnya berjudul “Hidup ini Keras, maka Gebuklah!” dan buku Cak Nun berjudul “Hidup Itu Harus Pandai Ngegas dan Ngerem”. 

Di tengah kehidupan yang berlari kencang sekaligus tidak mudah, substansi kedua literatur itu relevan menjadi alternatif bacaan membersamai langkah awal 2025. 

 

*Kota Jambi, menutup 2024.

0 Komentar