Di Balik Kisah Aku dan Bakku: H. A. Thaib Hanafiah, Pejuang Jambi

H.A. Thaib Hanafiah. Dok. Ajinatha

Oleh: Jumardi Putra*

Minggu terakhir Oktober 2022, di sela mengikuti Jakarta International Literary Festival (JILF) di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Bang Aji Najiullah Thaib menghadiahkan kepada saya sebuah buku tentang ayahnya yaitu H.A. Thaib Hanafiah, seorang pejuang di masa revolusi fisik sekaligus terlibat mendirikan Provinsi Jambi yang diproklamirkan dinihari 6 Januari 1957 (de facto) sehingga keluar dari Provinsi Sumatera Tengah.

Mungkin generasi milenial, apatahlagi Gen Z Jambi, tidak mengenal pejuang Jambi kelahiran 1916 di Lubuk Resam, Kecamatan Cermin Nan Gedang, Kabupaten Sarolangun ini. Masih sangat sedikit, kalau bukan tidak ada, tulisan-tulisan yang mengangkat sejarah tokoh-tokoh Jambi baik di masa revolusi fisik hingga pendirian Provinsi Jambi. Jelas ini menjadi tantangan bagi insan kreatif di Jambi, terlebih bagi pengajar maupun mahasiswa sejarah di perguruan tinggi di Jambi.

Selain memuat riwayat tentang Thaib Hanafiah, buku karya Ajinatha, nama pena dari Aji Najiullah Thaib, ini lebih banyak membentangkan pelbagai kisah yang bertitimangsa pada hubungan personal dirinya dengan Baknya, begitu sang ayah kerap dipanggil oleh Ajinatha semasa hidup. Selain itu, diakui Ajinatha pada bagian awal di buku ini terdapat tulisan "Lintas Masa Perjuangan di Kuala Tungkal" (1945-1949) karya Syamsul Bahri, yang merupakan bagian terpenting dari sejarah perjuangan H. A. Thaib Hanafiah di masa revolusi fisik. Pada lintasan ini saya membaca nama-nama pejuang sezaman dengan Thaib Hanafiah di Kuala Tungkal (Tanjung Jabung), sebut saja seperti Kolonel Abunjani yang menjadi atasannya, Serma Abdullah Sani, Letnan II Raden Umar, Letda CPM Andi Fattah Laside, Letkol Tituler R. Sudarsono, Mayor tituler A. Syarnubi, Mayor titular F. Silaen dan Letkol R. Syahbuddin, Kapten A. Thaib RH, Letda A. Mukti Nasruddin, Letda AN. Alcaf dan M.T. Fachruddin.

Begitu juga termaktub di buku ini beberapa nama tokoh Jambi lainnya seperti H. Hanafie selaku Ketua Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD), Raden Abdullah, H. Said, Syamsu Bahrun, Raden Hasan Amin, M. Adnan Kasim, H.A. Manap, Salim, Kemas H.A. Somad, Raden Suhur, Manan, Imron Nungcik dan Abdul Umar. Terbilang sejak 1946 sampai 1958, bersama pelbagai elemen masyarakat di seantero daerah Jambi, mereka telah mendedikasikan pikiran dan tenaganya bagi terwujudnya Provinsi Jambi sebagai daerah tingkat I pada 6 Januari 1957 (de facto) sehingga bisa berdiri sejajar dengan daerah-daerah lain di Sumatera. Peran dan kontribusi serupa juga berkat dukungan dari gabungan partai politik di Jambi, Dewan Pertimbangan Marga, DPRD Merangin dan Batanghari serta dukungan kelompok pemuda seperti Himpunan Pemuda Merangin Batanghari (HP.MERBAHARI) dan Front Pemuda Jambi (FROPEJA).

H. A. Thaib Hanafiah lahir 10 Juni 1916 di Lubuk Resam, Sarolangun, Jambi. Riwayat pendidikannya mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah agama 5 tahun, Sekolah Taman Dewasa (SMP), pendidikan di Sekolah Menengah Polisi, dan sempat juga kursus Bahasa Inggris (semua diperkirakan Ajinatha berlangsung dalam rentang 1923 sampai 1931).

H.A. Thaib Hanafiah. Dok. Ajinatha

Waktu terus menggelinding. Pada 1940 Thaib Hanafiah menjabat sebagai ketua PPKS (Persatuan Pemuda Kita Setia). Sebagai organisasi pemuda di daerah Sarolangun saat itu, PPKS menerima aksi GAPI, angkatan dari gabungan Politik Indonesia, di dalamnya tergabung organisasi-organisasi politik yaitu Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, dan PII. GAPI didirikan pada Mei 1939 dan dipimpin oleh Sekretariat yang terdiri dari Abikusumo dari PSII, Amir Syarifuddin dari Gerindo, dan Muhamad Husni Thamrin dari Parindra. Dalam hubungan dengan gerakan Indonesia Berparlemen, H.A Thaib Hanafiah selaku Ketua PPKS menulis artikel di majalah "Penyedar" yang terbit di Medan dan dipimpin oleh jurnalis Matumona dengan judul "Gerakan Indonesia Berparlemen dan Nasibnya Rakyat Jambi". Artikel itu mendapat sambutan baik dari tokoh Jambi ketika itu di antaranya Ahmad Muhi di Kuala Tungkal dan Nurmuhamad di Jambi.

Mengetahui Matumona itu makin membuat saya bertanya-tanya di dalam hati. Semoga saya tidak salah orang. Saya pertama kali mengetahui nama Matumona alias nama samaran dari Hasbulllah Parinduri melalui dua jilid novelnya yang terkenal berjudul Patjar Merah (terbit 1938), sebuah novel tentang karier politik Tan Malaka di bawah tanah, terutama saat ia diawasi dan dikejar intel dan polisi mancanegara. Prof. Ariel Haryanto dalam opininya di Kompas (10 Juli 2024) mengatakan, “Lokasi peristiwa dalam novel karya Matumona ini meliputi sejumlah benua. Tempat-tempat itu tidak disebut selintas. Ada deskripsi rinci tentang berbagai jalan dan gedung. Bahkan, dipaparkan budaya lokal dan sejarah tempat-tempat itu. Jadinya novel rasa Wikipedia. Terang saja Ariel Heryanto terpukau pada novel itu karena ia sendiri belum pernah menjumpai fiksi Indonesia tercetak atau film dengan lokasi kejadian sebanyak dan semajemuk novel yang ditulis Matumona ini. Ringkasnya, tulisan Thaib Hanafiah yang terbit di media yang dikelola oleh Matumona ketika itu hemat saya menggaransi mutu tulisan dari ayah Ajinatha. 

Kemampuan Thaib Hanafiah itu sepertinya terasah berkat aktivitas jauh sebelumnya yaitu menjadi juru tulis Marga di Lubuk Resam mulai 1936 sampai 1944. Selanjutnya, ia menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR), TNI dengan pangkat Letnan I dalam rentang 1945-1950. Barulah berikutnya ia menjadi Pegawai Korps Polisi Militer (CPM) di Garut selama empat tahun (1950-1954) dan lanjut bekerja sebagai pegawai Djapon selama enam tahun (1954-1960).

Setahun kemudian, Thaib Hanafiah menjabat sebagai sekretaris Front Nasional Jambi. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia selaku Pemimpin Tertinggi Front Nasional Nomor 2 tahun 1961 tanggal 15 April 1961, A. Thaib Hanafiah dilantik sebagai Wakil Sekretaris Front Nasional mewakili Partai Serikat Islam Indonesia (PSII).

Berkat kepiawaiannya berorganisasi, Thaib Hanafiah dipercaya mewakili utusan dari Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) menjadi Wakil Ketua DPRD-GR Provinsi Jambi pada 1972, mendampingi H. Ismail Muhammad selaku ketua yang sebelumya menjabat sebagai Kepala Biro sekretariat DPRD-GR Provinsi Jambi. Sedangkan Wakil ketua DPRD-GR Provinsi Jambi adalah Kapten Saman Indris dari utusan ABRI. Gubernur Jambi saat itu adalah R.M. Noor Admadibrata yang menjabat sejak 1968 sampai 1974 dan estapet kepemimpinan berikutnya dilanjutkan oleh Djamaludin Tambunan sampai tahun 1979.

H.A. Thaib Hanafiah dan istri Sri Nanding. Dok. Ajinatha

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD-GR Provinsi Jambi pada 1972, Thaib Hanafiah lebih banyak aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di bawah kepemimpinan Ahmad Rozali (Rozali Pejambon). Hal itu terjadi setelah seluruh partai Islam termasuk juga PSII bergabung ke dalam PPP pada Pemilu 1972.

Menurut Ajinatha, ayahnya harus melepaskan jabatan sebagai wakil ketua DPRD-GR ketika itu imbas sang ayah tidak mau pindah ke GOLKAR. Andai ayahnya mau bergabung dengan Golkar saat itu, maka jabatannya tetap berada di tangannya. Bagi Thaib Hanafiah, jika ia bergabung dengan Golkar (Orde Baru) itu sama halnya mencederai prinsipnya sebagai individu yang lama berjuang di PSII yang sekaligus berseberangan ide dengan Golkar. Tak pelak, atas sikapnya itu seluruh fasilitas yang melekat pada jabatan Thaib Hanafiah otomatis lepas, kecuali rumah dinas yang masih diberi izin untuk ditempati oleh Gubernur Jambi R.M. Noor Admadibrata menimbang jasa Thaib Hanafiah sebagai salah seorang tokoh pendiri Provinsi Jambi. Berjalannya waktu, rumah dinas tersebut dibeli dengan cara dicicil oleh Syahrul Thaib, kakak dari Ajinatha, yang bekerja sebagai PNS di kantor Gubernur Jambi (Hal 111-113). 

Masa Sulit

Praktis sejak 1972-1999 suami dari Sri Nanding ini tidak lagi memiliki penghasilan tetap, dan selama itu pula ia lebih banyak menyibukkan diri di rumah dengan membaca terutama buku karya Soekarno berjudul Di Bawah Bendera Revolusi dan Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams, Kho Ping Ho, novel dan membaca koran (Hal 113-115 dan hal 131-133). Tidak lagi menjabat bagi Thaib Hanafiah bukan berarti kehidupan ikut tamat. Jabatan baginya adalah titipan Tuhan sehingga tidak perlu dipertahankan secara berlebihan bila sudah waktunya selesai atau bahkan diberhentikan di tengah jalan. Yang terpenting bagi Thaib Hanafiah jabatan harus digunakan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan untuk pribadi dan keluarga.

Menurut Ajinatha, tidak ada yang berubah dari bapaknya baik sebelum atau sesudah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD-GR Provinsi Jambi. Ia tetap hidup bersama keluarga dengan sederhana. Bahkan, istrinya sendiri masih berjualan tape di saat sang suami menjabat aktif. Begitu juga Ajinatha saat berusia 11 tahun memilih jualan es buatan Ibu Saman Idris di Kawasan proyek perumahan di Telanaipura tahun 1970.

Ajinatha menulis keaktifan Thaib Hanafiah di PPP hanya sebatas pengabdian terhadap dunia politik, bukan untuk mencari sumber penghidupan. Thaib Hanafiah sempat mengikuti pemilihan anggota DPRD Provinsi Jambi 1977 dari PPP, tapi tidak terpilih. Nomor urutnya yang semula 4 tiba-tiba dipindahkan ke urutan 26. Betul-betul aneh bagi Ajinatha ketika itu, tapi Thaib Hanafiah tidak ambil pusing alias bersikap santai karena berkeyakinan bahwa jika Tuhan berkehendak maka tidak ada satupun yang bisa menghalangi (Hal 128-130). Nyatanya, Tuhan berkehendak lain sehingga ia gagal menjadi Anggota DPRD Provinsi Jambi.

H.A.T. Hanafiah bersama tokoh Jambi (baris belakang urutan ketiga dari kiri)

Saat itu sumber penghasilan Thaib Hanafiah berasal dari uang bulanan yang diberikan Legiun Veteran. Menurut Ajinatha, uang itu baru diterima oleh Thaib Hanafiah di atas tahun 1980, tepat saat dirinya lulus SMA pada 1980 dan melanjutkan kuliah di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) di Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki, Cikini (kini Institut Kesenian Jakarta/IKJ), sebuah kampus seni yang telah menghasilkan banyak sutradara, pemeran, musisi dan sastrawan kenamaan tanah air yaitu antara lain seperti musisi Iwan Fals, sutradara Garin Nugroho, aktor Dedi Mizwar, dan sastrawan Seno Gumira Adjidarma.

***

Saya menyambut baik kehadiran buku memoar ini (juga biasa ditulis memoir), kenang-kenangan yang menyerupai autobiografi dengan menekankan pendapat, kesan dan tanggapan pencerita atas peristiwa-peristiwa yang dialami serta tokoh-tokoh yang berhubungan dengannya. Seluk-beluk sejarah dalam memoar ini tentu tidak mutlak benar, tapi sangat membantu bagi kerja-kerja penulisan sejarah bagi sejarahwan profesional ke depan.

Dari buku setebal 173 halaman ini saya membaca kisah seorang Thaib Hanafiah semasa hidup di mata anak bungsunya yaitu Aji Najiullah Thaib saat berusia 5 tahun hingga ia kuliah dan mencari induk semang di Jakarta, masa-masa sulit membangun keluarga kecilnya hingga Baknya mangkat pada tahun 1999 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Satria Bhakti di Thehok, Kota Jambi. Ringkasnya, pahit manis kehidupan Ajinatha bersama sang ayah dan keluarganya diceritakan dalam buku ini, dan bahkan sampai hal-hal di luar nalar, seperti keberadaan harimau peliharaan Nek Yasin yang setia menjaga Thaib Hanafiah sejak berjuang di masa revolusi fisik hingga nonaktif di dunia politik (Hal 88-89). Melalui kisah-kisah yang dibagi ke dalam 4 bab di buku ini yaitu Sekilas Sejarah Letda A. Thaib Hanafiah (Bab I), Merah Putih (1964-1967/Bab II), Telanaipura yang sepi (1968-1980/Bab III), dan Jakarta (1980-1999/Bab IV), saya menangkap benang merah betapa Thaib Hanafiah memegang kuat prinsip hidup yang dianutnya sampai akhir hayat yaitu teguh pada agama, berani, berbuat untuk orang banyak, dan hidup sederhana, yang demikian itu menjadi suritauladan bagi Ajinatha sekaligus sanak-saudaranya.

Di antara banyak kenangan yang dikisahkan oleh Ajinatha dalam buku ini saya mencatat tiga hal saja di sini yaitu ketika Abunjani meminta Thaif Hanafiah menginap di rumahnya bersama istri dan Aji Najiullah Thaib ketika masih berusia 11 tahun. Kondisi Thaib Hanafiah saat itu sakit sehingga perlu tempat istirahat yang nyaman. Benar saja, rumah kolonel Abunjani saat itu merupakan kediaman mewah di Kota Jambi sehingga begitu terkesan bagi Ajinatha. Di sini terlihat jelas bahwa antara Thaib Hanafiah dengan Abunjani bersahabat baik, dan bahkan Abunjani pernah menjadi atasannya ketika sama-sama berjuang di masa revolusi fisik di Kuala Tungkal periode 1945-1949.

Hal menarik lainnya yaitu Thaib Hanafiah menceritakan kepada Ajinatha bahwa ia pernah bermimpi anaknya (dalam hal ini Ajinatha) digendong oleh Bung Karno, tetapi ia tidak pernah menjelaskan maksud di balik mimpinya itu. Thaib Hanafiah menceritakan mimpi tersebut justru setelah sebelumnya Ajinatha menceritakan kepada ayahnya tentang mimpinya bersama keluarga Soekarno di istana Bogor. Dalam mimpi itu Ajinatha hanya melihat Soekarno dan keluarganya dengan Ibu Fatmawati, sang istri. Begitu juga dalam mimpi yang lain, Ajinatha menyaksikan dari balik pagar Istana yaitu Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Syahrir sedang berdialog dengan di salah satu sudut halaman Istana. Tiba-tiba Bung Hatta dan Bung Syahrir meninggalkan Bung Karno sendirian yang hanya berdiri termangu melihat kepergian Bung Hatta dan Bung Syahrir. Menyaksikan Bung Karno yang ditinggal sendiri, Ajinatha merasa kasihan pada Sang Putra Fajar itu. Dari situ, pelbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, apa gerangan yang terjadi? Kenapa “singa podium” ditinggal begitu saja? (Hal 131-133). 

Semasa Pemerintahan Orde Baru, Thaib Hanafiah kerap menyampaikan protes pada Soeharto melalui surat yang ditulis tangan. Menurut Ajinatha, dalam satu bulan bisa 1 sampai 3 pucuk surat ia layangan kepada Presiden Soeharto via Pos dan Giro. Ia tidak terlalu memikirkan apakah surat-suratnya itu dibaca atau tidak oleh sang Jenderal.

Sebagai anggota Legiun Veteran, Thaib Hanafiah merasa berhak menyampaikan pendapatnya terhadap penyelenggaraan negara. Tidak ada rasa takut sama sekali baginya bersikap demikian, meski Soeharto saat itu dicap otoriter. Tradisi mengirim surat protes itu berlangsung dalam rentang 1975-1979, tepat saat Ajinatha duduk di bangku SMA di Kota Jambi.

Buku karya Ajinatha (2022)

Puncaknya, sebelum Pemilu 1977, Pangkopkamtib Laksamana Soedomo datang ke Jambi. Di Jambi Laksamana Soedomo sempat bertemu dengan Drs. Bachtiar dan bertanya tentang siapa H.Thaib Hanafiah. Ajinatha mengetahui hal itu lantaran dirinya ada saat Drs. Bachtiar bertamu ke rumah dan membicarakan hal itu bersama Thaib Hanafiah. Berikut ini saya sertakan percakapan antara Bachtiar dan Thaib Hanafiah yang ditulis Ajinatha dalam buku ini:

"Pak Utih, tadi pak Soedomo bertanyo kenal dak dengan H.Thaib Hanafiah. Aku jelaskan pado beliau kalau Pak Utih orang tuo aku," kira-kira seperti itulah yang ditakan Drs. Bachtiar kepada Bakku (Thaib Hanafiah).

"Ngapo idak perkenalkan aku samo pak Soedomo? Aku hendak nian ketemu dio, aku nak marah pado dio," ucap Bakku dengan berapi-api.

Dari situlah Thaib Hanafiah berkesimpulan bahwa surat-suratnya benar-benar dibaca Soeharto. Senang mendapat respon dari Laksamana Soedomo, itu artinya dalam kunjungannya ke Jambi, Laksamana Soedomo pun diminta oleh Soeharto mencari tahu siapa sesungguhnya Thaib Hanafiah.

Faktanya, bukannya berhenti menulis surat kepada Soeharto, Thaib Hanafiah semakin rutin melayangkan kritik pada Pemerintah Orde Baru. Ia menyadari surat-suratnya tidak memberikan pengaruh apa-apa pada Pemerintahan Soeharto. Namun, bisa menumpahkan semua uneg-unegnya pada Soeharto sudah sangat melegakan hatinya (Hal 125-127).

Ajinatha menulis ayahnya memang selalu mengupdate peristiwa-peristiwa politik di tanah air. Bahkan, kasus pembunuhan yang menewaskan seorang peragawati kondang asal Bandung bernama Ditje Buadiarsih pada 8 September 1986. Saat itu, Ditje ditemukan tewas di dalam mobil dengan lima luka tembak di tubuhnya. Dalam kasus ini, mantan pembantu letnan satu di Kesatuan TNI, Muhammad Siradjudin alias Pak De, ditetapkan sebagai tersangka utama. Sayangnya, meski telah divonis penjara seumur hidup, Pak De terus membantah tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Thaib Hanafiah mendapat informasi kasus Ditje itu dari mantan anak buahnya semasa masih menjadi tentara yang kebetulan tinggal di Jakarta. Thaib Hanafiah mendapatkan informasi secara detail saat itu, dan itulah yang membuatnya semakin sewot pada Soeharto. Ringkasnya, hampir setiap peristiwa yang terjadi di Ibu Kota Jakarta, Thaib Hanafiah dengan cepat tahu kronologis peristiwa tersebut. Benar saja, di buku ini Ajinatha menyebutkan nama anak angkat dan mantan bawahan ayahnya semasa di Kuala Tungkal yang tinggal di Jakarta, kerap membocorkan informasi di balik setiap peristiwa yang terjadi di Jakarta. Hanya saja, pada bagian ini tidak disertai bukti berupa dokumen tertulis maupun foto dan bentuk-bentuk lainnya.

Di luar isi muatan buku ini lebih banyak mengandalkan pada ingatan ansikh Ajinatha, saya juga menemukan beberapa kesalahan penulisan di buku ini sehingga perlu penyempurnaan ke depan, termasuk koherensi antara sebuah peristiwa di sebuah tempat dengan periode tahun tertentu, dan bahkan jika memungkinkan bagi penulis menambah muatan kisah agar lebih panjang dari format yang sekarang disertai buku-bukti pendukung yang kuat, sehingga menjadi rujukan bagi publik, terutama kalangan sejarahwan.    

***

Mengenal Aji Najiullah Thaib pada mulanya karena kami menaruh minat yang sama pada dunia penulisan, buku-buku, karya seni dan kebudayaan secara umum. Jelas saya juga bersyukur karena bisa melengkapi pengetahuan saya perihal H.A. Thaib Hanafiah, seorang pejuang Jambi yang sebelum ini hanya saya ketahui sepintas melalui buku berjudul Sejarah Kebangkitan Daerah Jambi terbitan Departemen dan Kebudayaan tahun 1978/1979 dan buku Perjuangan Rakyat Tanjung Jabung 1942-1949 karya Syamsul Bahri terbitan 2014 serta dokumen Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD). 

Sukacita itu sama halnya dengan saya mengenal sosok Bang Kamal Firdaus, seorang pengacara senior di Yogyakarta yang tidak lain adalah anak dari pejuang sekaligus pendiri Provinsi Jambi yaitu M.T. Fachruddin. Benar saja, kedua orang tua mereka hidup sezaman sekaligus ikut berjuang di masa revolusi fisik di Kuala Tungkal (Tanjung Jabung) hingga berdiri Provinsi Jambi 68 tahun yang lalu. Lahum alfatihah.

 

*Kota Jambi, 06 Januari 2025. Tulisan-tulisan penulis tentang tokoh-tokoh Jambi lainnya dapat dibaca di website ini juga. Berikut link tulisan saya di bawah ini:

1)  Tapak-tapak Sejarah Berdiri Provinsi Jambi

2) Pesan Para Pendiri Provinsi Jambi 68 Tahun Lalu

3) Si "Bulldozer" Masjchun Sofwan (Gubernur Jambi 1979-1989)

4) Kisah Putri Gubernur Jambi Djamaludin Tambunan Bersama Bung Karno

5) Srie Soedewi, Sosok Cemerlang di Balik Gubernur Jambi Maschun Sofwan

6) Jambi Yang Menanti Jamahan, Buah Pikiran Djamaludin Tambunan

7) Hanafie, Gubernur Jambi Terpilih (Gagal) Dilantik

8) Kisah Sepeninggalan Abdurrahman Sayoeti

9) Haji Hasan, Orang Gedang dari Empelu

10) A. Mukty Nasruddin, Penulis Sejarah Jambi Yang Dilupakan

11) Annabel Teh Gallop, Jambi dan Filologi di Zaman Gawai

12) Penggalan Pers Jambi Era Stensilan

13) Emi Nopisah, Dari Ajudan Gubernur sampai Sekretaris DPRD Provinsi Jambi

14) 65 Pemikiran Tokoh untuk 65 Tahun Provinsi Jambi

15) Jambi Tempo Dulu, Catatan Sepulang dari Pameran HUT Provinsi Jambi

16) Kisah Mayloedin ADN dan Buku-bukunya

17) Sosok dan Pemikiran Junaidi T. Noor

18) Sejarah Gedung Wakil Rakyat Provinsi Jambi

19) Syamsul Watir dan Pers Jambi (Tanpa) Pusat Dokumentasi

0 Komentar