Oleh: Jumardi Putra*
Minggu terakhir Oktober 2022, di sela mengikuti Jakarta International
Literary Festival (JILF) di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Bang Aji Najiullah
Thaib menghadiahkan kepada saya sebuah buku tentang ayahnya yaitu H.A. Thaib Hanafiah, seorang pejuang di masa revolusi fisik
sekaligus terlibat mendirikan Provinsi Jambi yang diproklamirkan dinihari 6
Januari 1957 (de facto) sehingga keluar dari Provinsi Sumatera Tengah.
Mungkin generasi milenial, apatahlagi Gen Z Jambi, tidak mengenal pejuang
Jambi kelahiran 1916 di Lubuk Resam, Kecamatan Cermin Nan Gedang, Kabupaten Sarolangun
ini. Masih sangat sedikit, kalau bukan tidak ada, tulisan-tulisan yang
mengangkat sejarah tokoh-tokoh Jambi baik di masa revolusi fisik hingga
pendirian Provinsi Jambi. Jelas ini menjadi tantangan bagi insan kreatif di
Jambi, terlebih bagi pengajar maupun mahasiswa sejarah di perguruan tinggi di
Jambi.
Selain memuat riwayat tentang Thaib Hanafiah, buku karya Ajinatha, nama
pena dari Aji Najiullah Thaib, ini lebih banyak membentangkan pelbagai kisah
yang bertitimangsa pada hubungan personal dirinya dengan Baknya, begitu sang ayah kerap dipanggil oleh Ajinatha semasa hidup.
Selain itu, diakui Ajinatha pada bagian awal di buku ini terdapat tulisan
"Lintas Masa Perjuangan di Kuala Tungkal" (1945-1949) karya Syamsul
Bahri, yang merupakan bagian terpenting dari sejarah perjuangan H. A. Thaib
Hanafiah di masa revolusi fisik. Pada lintasan ini saya membaca nama-nama pejuang
sezaman dengan Thaib Hanafiah di Kuala Tungkal (Tanjung Jabung), sebut saja
seperti Kolonel Abunjani yang menjadi atasannya, Serma Abdullah Sani, Letnan II
Raden Umar, Letda CPM Andi Fattah Laside, Letkol Tituler R. Sudarsono, Mayor tituler
A. Syarnubi, Mayor titular F. Silaen dan Letkol R. Syahbuddin, Kapten A. Thaib
RH, Letda A. Mukti Nasruddin, Letda AN. Alcaf dan M.T. Fachruddin.
Begitu juga termaktub di buku ini beberapa nama tokoh Jambi lainnya seperti
H. Hanafie selaku Ketua Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD), Raden Abdullah, H.
Said, Syamsu Bahrun, Raden Hasan Amin, M. Adnan Kasim, H.A. Manap, Salim, Kemas
H.A. Somad, Raden Suhur, Manan, Imron Nungcik dan Abdul Umar. Terbilang sejak
1946 sampai 1958, bersama pelbagai elemen masyarakat di seantero daerah Jambi, mereka
telah mendedikasikan pikiran dan tenaganya bagi terwujudnya Provinsi Jambi
sebagai daerah tingkat I pada 6 Januari 1957 (de facto) sehingga bisa berdiri sejajar
dengan daerah-daerah lain di Sumatera. Peran dan kontribusi serupa juga berkat
dukungan dari gabungan partai politik di Jambi, Dewan Pertimbangan Marga, DPRD
Merangin dan Batanghari serta dukungan kelompok pemuda seperti Himpunan Pemuda
Merangin Batanghari (HP.MERBAHARI) dan Front Pemuda Jambi (FROPEJA).
H. A. Thaib Hanafiah lahir 10 Juni 1916 di Lubuk Resam, Sarolangun, Jambi. Riwayat pendidikannya mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah agama 5 tahun, Sekolah Taman Dewasa (SMP), pendidikan di Sekolah Menengah Polisi, dan sempat juga kursus Bahasa Inggris (semua diperkirakan Ajinatha berlangsung dalam rentang 1923 sampai 1931).
H.A. Thaib Hanafiah. Dok. Ajinatha |
Waktu terus menggelinding. Pada 1940 Thaib Hanafiah menjabat sebagai
ketua PPKS (Persatuan Pemuda Kita Setia). Sebagai organisasi pemuda di daerah
Sarolangun saat itu, PPKS menerima aksi GAPI, angkatan dari gabungan Politik
Indonesia, di dalamnya tergabung organisasi-organisasi politik yaitu Parindra,
Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, dan PII. GAPI didirikan pada Mei 1939
dan dipimpin oleh Sekretariat yang terdiri dari Abikusumo dari PSII, Amir
Syarifuddin dari Gerindo, dan Muhamad Husni Thamrin dari Parindra. Dalam
hubungan dengan gerakan Indonesia Berparlemen, H.A Thaib Hanafiah selaku Ketua PPKS
menulis artikel di majalah "Penyedar" yang terbit di Medan dan
dipimpin oleh jurnalis Matumona dengan judul "Gerakan Indonesia
Berparlemen dan Nasibnya Rakyat Jambi". Artikel itu mendapat sambutan baik
dari tokoh Jambi ketika itu di antaranya Ahmad Muhi di Kuala Tungkal dan
Nurmuhamad di Jambi.
Mengetahui Matumona itu makin membuat saya bertanya-tanya di
dalam hati. Semoga saya tidak salah orang. Saya pertama kali mengetahui nama
Matumona alias nama samaran dari Hasbulllah Parinduri melalui dua jilid
novelnya yang terkenal berjudul Patjar Merah (terbit 1938), sebuah novel
tentang karier politik Tan Malaka di bawah tanah, terutama saat ia diawasi
dan dikejar intel dan polisi mancanegara. Prof. Ariel Haryanto dalam opininya
di Kompas (10 Juli 2024) mengatakan, “Lokasi peristiwa
dalam novel karya Matumona ini meliputi sejumlah benua. Tempat-tempat itu tidak
disebut selintas. Ada deskripsi rinci tentang berbagai jalan dan gedung.
Bahkan, dipaparkan budaya lokal dan sejarah tempat-tempat itu. Jadinya novel
rasa Wikipedia. Terang saja Ariel Heryanto terpukau
pada novel itu karena ia sendiri belum pernah
menjumpai fiksi Indonesia tercetak atau film dengan lokasi kejadian sebanyak
dan semajemuk novel yang ditulis Matumona ini. Ringkasnya, tulisan Thaib Hanafiah yang terbit di media yang dikelola oleh Matumona ketika itu hemat saya menggaransi mutu tulisan dari ayah Ajinatha.
Kemampuan Thaib Hanafiah itu sepertinya terasah berkat aktivitas jauh sebelumnya yaitu menjadi juru tulis Marga di Lubuk Resam mulai 1936 sampai 1944. Selanjutnya, ia menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR), TNI dengan pangkat Letnan I dalam rentang 1945-1950. Barulah berikutnya ia menjadi Pegawai Korps Polisi Militer (CPM) di Garut selama empat tahun (1950-1954) dan lanjut bekerja sebagai pegawai Djapon selama enam tahun (1954-1960).
Setahun kemudian, Thaib Hanafiah menjabat sebagai sekretaris Front Nasional Jambi. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia selaku Pemimpin Tertinggi Front Nasional Nomor 2 tahun 1961 tanggal 15 April 1961, A. Thaib Hanafiah dilantik sebagai Wakil Sekretaris Front Nasional mewakili Partai Serikat Islam Indonesia (PSII).
Berkat kepiawaiannya berorganisasi, Thaib Hanafiah dipercaya mewakili utusan dari Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) menjadi Wakil Ketua DPRD-GR Provinsi Jambi pada 1972, mendampingi H. Ismail Muhammad selaku ketua yang sebelumya menjabat sebagai Kepala Biro sekretariat DPRD-GR Provinsi Jambi. Sedangkan Wakil ketua DPRD-GR Provinsi Jambi adalah Kapten Saman Indris dari utusan ABRI. Gubernur Jambi saat itu adalah R.M. Noor Admadibrata yang menjabat sejak 1968 sampai 1974 dan estapet kepemimpinan berikutnya dilanjutkan oleh Djamaludin Tambunan sampai tahun 1979.
H.A. Thaib Hanafiah dan istri Sri Nanding. Dok. Ajinatha |
Setelah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD-GR Provinsi Jambi pada 1972, Thaib Hanafiah lebih banyak aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di bawah kepemimpinan Ahmad Rozali (Rozali Pejambon). Hal itu terjadi setelah seluruh partai Islam termasuk juga PSII bergabung ke dalam PPP pada Pemilu 1972.
Menurut Ajinatha, ayahnya harus melepaskan jabatan sebagai wakil ketua DPRD-GR ketika itu imbas sang ayah tidak mau pindah ke GOLKAR. Andai ayahnya mau bergabung dengan Golkar saat itu, maka jabatannya tetap berada di tangannya. Bagi Thaib Hanafiah, jika ia bergabung dengan Golkar (Orde Baru) itu sama halnya mencederai prinsipnya sebagai individu yang lama berjuang di PSII yang sekaligus berseberangan ide dengan Golkar. Tak pelak, atas sikapnya itu seluruh fasilitas yang melekat pada jabatan Thaib Hanafiah otomatis lepas, kecuali rumah dinas yang masih diberi izin untuk ditempati oleh Gubernur Jambi R.M. Noor Admadibrata menimbang jasa Thaib Hanafiah sebagai salah seorang tokoh pendiri Provinsi Jambi. Berjalannya waktu, rumah dinas tersebut dibeli dengan cara dicicil oleh Syahrul Thaib, kakak dari Ajinatha, yang bekerja sebagai PNS di kantor Gubernur Jambi (Hal 111-113).
Masa Sulit
Praktis sejak 1972-1999 suami dari Sri Nanding ini tidak lagi memiliki penghasilan
tetap, dan selama itu pula ia lebih banyak menyibukkan diri di rumah dengan
membaca terutama buku karya Soekarno berjudul Di Bawah Bendera Revolusi dan Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams, Kho Ping Ho, novel dan membaca
koran (Hal 113-115 dan hal 131-133). Tidak lagi menjabat bagi Thaib Hanafiah bukan
berarti kehidupan ikut tamat. Jabatan baginya adalah titipan Tuhan sehingga
tidak perlu dipertahankan secara berlebihan bila sudah waktunya selesai atau
bahkan diberhentikan di tengah jalan. Yang terpenting bagi Thaib Hanafiah jabatan
harus digunakan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan untuk
pribadi dan keluarga.
Menurut Ajinatha, tidak ada yang berubah dari bapaknya baik sebelum atau
sesudah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD-GR Provinsi Jambi. Ia tetap hidup
bersama keluarga dengan sederhana. Bahkan, istrinya sendiri masih berjualan
tape di saat sang suami menjabat aktif. Begitu juga Ajinatha saat berusia 11
tahun memilih jualan es buatan Ibu Saman Idris di Kawasan proyek perumahan di
Telanaipura tahun 1970.
Ajinatha menulis keaktifan Thaib Hanafiah di PPP hanya sebatas
pengabdian terhadap dunia politik, bukan untuk mencari sumber penghidupan. Thaib
Hanafiah sempat mengikuti pemilihan anggota DPRD Provinsi Jambi 1977 dari PPP,
tapi tidak terpilih. Nomor urutnya yang semula 4 tiba-tiba dipindahkan ke
urutan 26. Betul-betul aneh bagi Ajinatha ketika itu, tapi Thaib Hanafiah tidak
ambil pusing alias bersikap santai karena berkeyakinan bahwa jika Tuhan
berkehendak maka tidak ada satupun yang bisa menghalangi (Hal 128-130). Nyatanya,
Tuhan berkehendak lain sehingga ia gagal menjadi Anggota DPRD Provinsi Jambi.
H.A.T. Hanafiah bersama tokoh Jambi (baris belakang urutan ketiga dari kiri) |
***
Saya menyambut baik kehadiran buku memoar ini (juga biasa ditulis
memoir), kenang-kenangan yang menyerupai autobiografi dengan menekankan
pendapat, kesan dan tanggapan pencerita atas peristiwa-peristiwa yang dialami
serta tokoh-tokoh yang berhubungan dengannya. Seluk-beluk sejarah dalam memoar ini
tentu tidak mutlak benar, tapi sangat membantu bagi kerja-kerja penulisan
sejarah bagi sejarahwan profesional ke depan.
Dari buku setebal 173 halaman ini saya membaca kisah seorang Thaib Hanafiah
semasa hidup di mata anak bungsunya yaitu Aji Najiullah Thaib saat berusia 5
tahun hingga ia kuliah dan mencari induk semang di Jakarta, masa-masa sulit membangun
keluarga kecilnya hingga Baknya mangkat pada tahun 1999 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Satria Bhakti di Thehok, Kota Jambi. Ringkasnya, pahit
manis kehidupan Ajinatha bersama sang ayah dan keluarganya diceritakan dalam
buku ini, dan bahkan sampai hal-hal di luar nalar, seperti keberadaan harimau
peliharaan Nek Yasin yang setia menjaga Thaib Hanafiah sejak berjuang di masa
revolusi fisik hingga nonaktif di dunia politik (Hal 88-89). Melalui kisah-kisah
yang dibagi ke dalam 4 bab di buku ini yaitu Sekilas Sejarah Letda A. Thaib
Hanafiah (Bab I), Merah Putih (1964-1967/Bab II), Telanaipura yang sepi
(1968-1980/Bab III), dan Jakarta (1980-1999/Bab IV), saya menangkap benang
merah betapa Thaib Hanafiah memegang kuat prinsip hidup yang dianutnya sampai
akhir hayat yaitu teguh pada agama, berani, berbuat untuk orang banyak, dan
hidup sederhana, yang demikian itu menjadi suritauladan bagi Ajinatha sekaligus
sanak-saudaranya.
Di antara banyak kenangan yang dikisahkan oleh Ajinatha dalam buku ini saya mencatat tiga hal saja di sini yaitu ketika Abunjani meminta Thaif Hanafiah menginap di rumahnya bersama istri dan Aji Najiullah Thaib ketika masih berusia 11 tahun. Kondisi Thaib Hanafiah saat itu sakit sehingga perlu tempat istirahat yang nyaman. Benar saja, rumah kolonel Abunjani saat itu merupakan kediaman mewah di Kota Jambi sehingga begitu terkesan bagi Ajinatha. Di sini terlihat jelas bahwa antara Thaib Hanafiah dengan Abunjani bersahabat baik, dan bahkan Abunjani pernah menjadi atasannya ketika sama-sama berjuang di masa revolusi fisik di Kuala Tungkal periode 1945-1949.
Hal menarik lainnya yaitu Thaib Hanafiah menceritakan kepada Ajinatha bahwa ia pernah bermimpi anaknya (dalam hal ini Ajinatha) digendong oleh Bung Karno, tetapi ia tidak pernah menjelaskan maksud di balik mimpinya itu. Thaib Hanafiah menceritakan mimpi tersebut justru setelah sebelumnya Ajinatha menceritakan kepada ayahnya tentang mimpinya bersama keluarga Soekarno di istana Bogor. Dalam mimpi itu Ajinatha hanya melihat Soekarno dan keluarganya dengan Ibu Fatmawati, sang istri. Begitu juga dalam mimpi yang lain, Ajinatha menyaksikan dari balik pagar Istana yaitu Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Syahrir sedang berdialog dengan di salah satu sudut halaman Istana. Tiba-tiba Bung Hatta dan Bung Syahrir meninggalkan Bung Karno sendirian yang hanya berdiri termangu melihat kepergian Bung Hatta dan Bung Syahrir. Menyaksikan Bung Karno yang ditinggal sendiri, Ajinatha merasa kasihan pada Sang Putra Fajar itu. Dari situ, pelbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, apa gerangan yang terjadi? Kenapa “singa podium” ditinggal begitu saja? (Hal 131-133).
Semasa Pemerintahan Orde Baru, Thaib Hanafiah kerap
menyampaikan protes pada Soeharto melalui surat yang ditulis tangan. Menurut
Ajinatha, dalam satu bulan bisa 1 sampai 3 pucuk surat ia layangan kepada
Presiden Soeharto via Pos dan Giro. Ia tidak terlalu memikirkan apakah
surat-suratnya itu dibaca atau tidak oleh sang Jenderal.
Sebagai anggota Legiun Veteran, Thaib Hanafiah merasa berhak menyampaikan pendapatnya terhadap penyelenggaraan negara. Tidak ada rasa takut sama sekali baginya bersikap demikian, meski Soeharto saat itu dicap otoriter. Tradisi mengirim surat protes itu berlangsung dalam rentang 1975-1979, tepat saat Ajinatha duduk di bangku SMA di Kota Jambi.
Buku karya Ajinatha (2022) |
Puncaknya, sebelum Pemilu 1977, Pangkopkamtib Laksamana Soedomo datang
ke Jambi. Di Jambi Laksamana Soedomo sempat bertemu dengan Drs. Bachtiar dan
bertanya tentang siapa H.Thaib Hanafiah. Ajinatha mengetahui hal itu lantaran
dirinya ada saat Drs. Bachtiar bertamu ke rumah dan membicarakan hal itu
bersama Thaib Hanafiah. Berikut ini saya sertakan percakapan antara Bachtiar
dan Thaib Hanafiah yang ditulis Ajinatha dalam buku ini:
"Pak Utih, tadi pak Soedomo bertanyo kenal dak dengan H.Thaib
Hanafiah. Aku jelaskan pado beliau kalau Pak Utih orang tuo aku," kira-kira
seperti itulah yang ditakan Drs. Bachtiar kepada Bakku (Thaib Hanafiah).
"Ngapo idak perkenalkan aku samo pak Soedomo? Aku hendak nian
ketemu dio, aku nak marah pado dio," ucap Bakku dengan berapi-api.
Dari situlah Thaib Hanafiah berkesimpulan bahwa surat-suratnya benar-benar
dibaca Soeharto. Senang mendapat respon dari Laksamana Soedomo, itu artinya
dalam kunjungannya ke Jambi, Laksamana Soedomo pun diminta oleh Soeharto mencari
tahu siapa sesungguhnya Thaib Hanafiah.
Faktanya, bukannya berhenti menulis surat kepada Soeharto, Thaib
Hanafiah semakin rutin melayangkan kritik pada Pemerintah Orde Baru. Ia menyadari
surat-suratnya tidak memberikan pengaruh apa-apa pada Pemerintahan Soeharto. Namun,
bisa menumpahkan semua uneg-unegnya pada Soeharto sudah sangat melegakan
hatinya (Hal 125-127).
Ajinatha menulis ayahnya memang selalu mengupdate peristiwa-peristiwa
politik di tanah air. Bahkan, kasus pembunuhan yang menewaskan seorang
peragawati kondang asal Bandung bernama Ditje Buadiarsih pada 8 September 1986.
Saat itu, Ditje ditemukan tewas di dalam mobil
dengan lima luka tembak di tubuhnya. Dalam kasus ini, mantan pembantu letnan
satu di Kesatuan TNI, Muhammad Siradjudin alias Pak De, ditetapkan sebagai
tersangka utama. Sayangnya, meski telah divonis penjara seumur hidup, Pak De terus
membantah tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Thaib Hanafiah mendapat informasi kasus Ditje itu dari mantan anak
buahnya semasa masih menjadi tentara yang kebetulan tinggal di Jakarta. Thaib
Hanafiah mendapatkan informasi secara detail saat itu, dan itulah yang membuatnya
semakin sewot pada Soeharto. Ringkasnya, hampir setiap peristiwa yang terjadi
di Ibu Kota Jakarta, Thaib Hanafiah dengan cepat tahu kronologis peristiwa
tersebut. Benar saja, di buku ini Ajinatha menyebutkan nama anak angkat dan
mantan bawahan ayahnya semasa di Kuala Tungkal yang tinggal di Jakarta, kerap
membocorkan informasi di balik setiap peristiwa yang terjadi di Jakarta. Hanya
saja, pada bagian ini tidak disertai bukti berupa dokumen tertulis maupun foto
dan bentuk-bentuk lainnya.
Di luar isi muatan buku ini lebih banyak mengandalkan pada ingatan ansikh Ajinatha, saya juga menemukan
beberapa kesalahan penulisan di buku ini sehingga perlu penyempurnaan ke depan,
termasuk koherensi antara sebuah peristiwa di sebuah tempat dengan periode
tahun tertentu, dan bahkan jika memungkinkan bagi penulis menambah muatan kisah agar lebih panjang dari format
yang sekarang disertai buku-bukti pendukung yang kuat, sehingga menjadi rujukan
bagi publik, terutama kalangan sejarahwan.
***
Mengenal Aji Najiullah Thaib pada mulanya karena kami menaruh minat yang sama pada dunia penulisan, buku-buku, karya seni dan kebudayaan secara umum. Jelas saya juga bersyukur karena bisa melengkapi pengetahuan saya perihal H.A. Thaib Hanafiah, seorang pejuang Jambi yang sebelum ini hanya saya ketahui sepintas melalui buku berjudul Sejarah Kebangkitan Daerah Jambi terbitan Departemen dan Kebudayaan tahun 1978/1979 dan buku Perjuangan Rakyat Tanjung Jabung 1942-1949 karya Syamsul Bahri terbitan 2014 serta dokumen Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD).
Sukacita itu sama halnya dengan saya mengenal sosok Bang Kamal Firdaus, seorang pengacara senior di Yogyakarta yang tidak lain adalah anak dari pejuang sekaligus pendiri Provinsi Jambi yaitu M.T. Fachruddin. Benar saja, kedua orang tua mereka hidup sezaman sekaligus ikut berjuang di masa revolusi fisik di Kuala Tungkal (Tanjung Jabung) hingga berdiri Provinsi Jambi 68 tahun yang lalu. Lahum alfatihah.
*Kota Jambi, 06 Januari 2025. Tulisan-tulisan penulis tentang tokoh-tokoh Jambi lainnya dapat dibaca di website ini juga. Berikut link tulisan saya di bawah ini:
1) Tapak-tapak Sejarah Berdiri Provinsi Jambi
2) Pesan Para Pendiri Provinsi Jambi 68 Tahun Lalu
3) Si "Bulldozer" Masjchun Sofwan (Gubernur Jambi 1979-1989)
4) Kisah Putri Gubernur Jambi Djamaludin Tambunan Bersama Bung Karno
5) Srie Soedewi, Sosok Cemerlang di Balik Gubernur Jambi Maschun Sofwan
6) Jambi Yang Menanti Jamahan, Buah Pikiran Djamaludin Tambunan
7) Hanafie, Gubernur Jambi Terpilih (Gagal) Dilantik
8) Kisah Sepeninggalan Abdurrahman Sayoeti
9) Haji Hasan, Orang Gedang dari Empelu
10) A. Mukty Nasruddin, Penulis Sejarah Jambi Yang Dilupakan
11) Annabel Teh Gallop, Jambi dan Filologi di Zaman Gawai
12) Penggalan Pers Jambi Era Stensilan
13) Emi Nopisah, Dari Ajudan Gubernur sampai Sekretaris DPRD Provinsi Jambi
14) 65 Pemikiran Tokoh untuk 65 Tahun Provinsi Jambi
15) Jambi Tempo Dulu, Catatan Sepulang dari Pameran HUT Provinsi Jambi
16) Kisah Mayloedin ADN dan Buku-bukunya
17) Sosok dan Pemikiran Junaidi T. Noor
0 Komentar