Gubernur Jambi, Forkopimda dan personil grup NDX. Sumber: tribunjambi |
Oleh: Jumardi Putra*
Benar-benar pecah dan tidak terbendung, begitu Gen Z menyebut suasana konser musik yang dihadiri ribuan warga pada Sabtu malam, 11 Januari 2025, di lapangan kantor Gubernur Provinsi Jambi. Riuh rendah dan berbalas-cakap antara pewara dengan kerumunan massa yang hadir, umumnya generasi milineal dan Gen Z, tiada henti menggema.
Belum lagi, dari arah kantor
Bank Indonesia Jambi sampai komplek perkantoran Gubernur Jambi sesak oleh
antrian kendaraan dan lalu-lalang warga yang hendak menyaksikan penampilan grup
musik NDX
A.K.A asal Yogyakarta
malam itu. Saya sendiri belum begitu akrab dengan kelompok musik yang mengusung
genre hip hop & Pop itu, tetapi lagu-lagu karya gubahan mereka maupun hasil
cover ciptaan musisi lain (dominan
berbahasa jawa), yang mudah dijumpai di beranda media sosial seperti tik-tok dan Instagram, sangat relate
dengan kehidupan Gen Z yang mudah galau dan kerap dirundung kesedihan akibat patah
hati yang tidak tertanggungkan.
Mumpung akhir pekan, istri mengajak
saya dan si bungsu Rendra menyaksikan konser musik malam itu,
setelah sebelumnya kami berjuang menembus kemacetan mulai dari arah Kampus Universitas
Islam Negeri (UIN) Sultan Taha Saifuddin (STS), Telanaipura, sampai ke parkiran
halaman depan kantor Kesbangpol Provinsi Jambi. Dentuman musik plus kemilau
cahaya lighting dari panggung konser melengkapi
kerlap-kerlip lampu komedi putar yang berada tidak jauh dari patung Sultan Taha
Saifuddin Jambi, sang pahlawan Jambi.
Selain konser musik, keramaian
malam itu juga bebarengan dengan malam terakhir bagi stand-stand pameran hasil pembangunan
pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Jambi dan pasar malam. Tidak heran
sehingga terjadi pemusatan warga di sepanjang jalan Jendera Ahmad Yani, Telanaipura,
Kota Jambi, lokus pameran sekaligus pesta rakyat tahunan Provinsi Jambi ke 68 tahun
ini.
Benar saja, beberapa lagu hitz yang dibawakan oleh personil NDX
A.K.A, sebut saja seperti Remuk Hati, Janji Teman, Kelingan Mantan, dan Piwalas
Tresno, disambut gemuruh suara penonton malam itu. Saya menyaksikan langsung
bahwa lirik lagu-lagu berbahasa jawa yang dibawakan itu bukan menjadi kendala
bagi warga Jambi yang menonton. Bahkan, kaula muda di sekeliling saya umumnya
hafal lirik lagu-lagu tersebut sehingga menjadikan konser malam itu benar-benar
hidup sekaligus membuat saya terheran-heran. Di sini terlihat jelas bahwa musik berhasil menjembatani perjumpaan antar warga masyarakat di Provinsi Jambi yang memiliki
latar belakang bahasa daerah yang berbeda-beda.
Konser musik NDX A.K.A. HUT Prov Jambi ke 68. Sumber: Diskominfo Jambi |
Niat saya melihat langsung aksi Yonanda Frisna Damara dan Fajar Ari, dua personil NDX A.K.A, menggenapi pengamatan saya atas hajatan kebudayaan sebelumnya-bagian dari rangkaian perayaan HUT Provinsi Jambi ke 68, yaitu pergelaran Malam Keagungan Melayu Jambi (MKMJ) pada Selasa, 7 Januari 2025, sebuah pertunjukan seni musik-tari berakar budaya Melayu Jambi yang ditautkan pada sejarah Provinsi Jambi mulai dari Melayu Kuno hingga saat ini dengan segala kompleksitasnya.
Hal ini perlu menjadi
evaluasi dan refleksi bersama agar perhelatan kebudayaan yang mengusung agenda
pelestarian dan pengembangan budaya Jambi sepanjang tahun berjalan ke depan di Provinsi
Jambi mendapat sokongan dari masyarakat seantero Provinsi Jambi maupun
pemerintah pusat, dan tentu saja meniscayakan kolaborasi dan sinergisitas dengan
pelbagai elemen masyarakat dan stakeholder
terkait lainnya. Bahkan, jika memungkinkan juga melibatkan buyers dari luar negeri untuk memperluas jaringan (network) antara
pelaku/komunitas seni di Jambi dengan pasar seni di kancah global.
MKMJ, 7 Januari 2025. Sumber: pariwara.com |
Saya masih ingat betul nawaitu pertama kali kehadiran MKMJ yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Jambi (DK-Jambi) periode 2011-2014 yaitu bagian penting dari usaha menuju “industrialisasi budaya” dengan tetap berpijak pada akar kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di wilayah Provinsi Jambi, dengan segala keunikan dan keragamannya, seraya tetap menemukan kebaruan untuk menjaga relevansinya dengan kebutuhan serta dinamika perkembangan zaman. Makanya, MKMJ untuk pertama kalinya didahului oleh serangkaian riset terhadap seni budaya lokal di pelbagai wilayah Provinsi Jambi dan selanjutnya dialihkreasikan ke dalam medium seni pertunjukan modern, seraya tetap membentangkan versi temuan awal yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat (contoh di awal MKMJ mengangkat seni vokal tradisional Krinok).
Berjalannya waktu, seiring kevakuman kepengurusan DK-Jambi periode 2015-2018, MKMJ (sempat berganti menjadi Malam Apresiasi Melayu Jambi dan kembali lagi mengusung MKMJ) dilanjutkan oleh UPTD Taman Budaya Jambi (TBJ) dan sekarang dipegang penuh oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Sayangnya, sepanjang pergelaran MKMJ hingga sekarang tidak muncul perayaan gagasan atau wacana kritis terhadapnya sebagai bagian dari upaya menghidupkan iklim pembangunan kesenian di Provinsi Jambi yang dinamis dan memberi manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat, terutama akademisi seni, pelaku seni dan penikmat seni.
Di atas itu semua, saya mengapresiasi Gubernur Al Haris pada MKMJ 2025 memberikan penghargaan Maestro Seni Tradisi kepada seniman Malim (79 tahun) dengan karya Dinggung Domain Sastra Lisan, asal Rantau Pandan, Kabupaten Bungo. Begitu juga penyerahan Sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) kepada sepuluh penerima dan tujuh Sertifikat Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yaitu Dinggung, asal Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Tari Kelik Elang Pusako Lamo, asal Pulau Temiang, Kecamatan Tebo Ulu, Kabupaten Tebo, Tari Kelik Elang Kuamang, asal Desa Kuamang, Kabupaten Tebo, dan Nyanyi Panjang Dusun Baru, asal Dusun Baru, Kabupaten Tebo, Upacara Pengobat Makan di Kelung, asal Kampung Laut, Mendahara, dan Nipah Panjang, Tanjab Timur, Ngarak Garudo oleh Datuk Ismail, Ketua LAM Mersam, Batanghari dan Lapik Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi serta Sulam Benang Emas, Kota Jambi.
Capaian tersebut perlu kita apresiasi bersama, meski setelahnya segera muncul pertanyaan bernada retoris, “Usai ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, lantas diapakan?” (Lebih lanjut baca tulisan saya seputar WBTB di sini: Menyoal Warisan Budaya Tak Benda Indonesia).
*Kota Jambi, 15 Januari 2025.
*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:
1) Artidjo Alkostar: Penegak Keadilan
2) Kamal Firdaus: Kerisauan Seorang Advokat
3) Pilkada Jambi dan Nyanyian Sunyi Sepanjang Oktober
4) Darurat Demokrasi: Memaknai Persinggungan Cendekiawan dan Politik
5) Quo Vadis APBD Jambi 2019-2024?
6) Ketindihan Teknokratis: Problem Akut Perencanaan Pembangunan
7) Pilgub Jambi 2024 dan Peta Jalan Pemajuan Kebudayaan
9) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi
10) Anomali Pembangunan Provinsi Jambi 2023
11) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024
12) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023
13) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023
14) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024
15) Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023
16) Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan
17) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan
18) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi
19) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi
20) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi
21) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai
22) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Autokritik
23) Malam Keagungan Melayu Jambi dan Hal-hal Yang Belum Selesai
24) Malam Keagungan Melayu Jambi: Tanggapan Atas Komentar Budayawan Maizar Karim
0 Komentar