Kamal Firdaus (1948-2025) |
Oleh: Jumardi Putra*
Kaget, lalu terdiam. Berselang menit kemudian berkelebat di pikiran saya mengenang sosoknya. Begitulah respon saya setelah mendapat kabar duka bahwa pengacara senior Kamal Firdaus
yang mukim di Yogyakarta menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya pada Senin
petang, 13 Januari 2025.
Sebulan terakhir Bang Kamal Firdaus, begitu ia akrab disapa, menjalani serangkaian
pengobatan baik di rumah maupun di sebuah rumah sakit di Yogyakarta, tapi saya tidak pernah menyangka
kepergian pria berambut putih penuh seluruh itu secepat ini. Komunikasi terakhir saya dengan beliau pada 3 Januari
2025, setelah sebelumnya kami bertukar informasi melalui aplikasi perpesanan WhatsApp seputar kondisi kesehatannya yang terus
menurun. Masih teringat jelas pesan beliau kepada saya belum lama ini, “Semoga
Kando biso bertemu lagi dengan Dindo”.
Pihak keluarga sudah berupaya maksimal, tetapi Allah SWT berketetapan
lain: Kullu nafsin dzaiqotul maut. Innnalillahi Wainnailaihirojiun. Kepergian
Kamal Firdaus jelas kehilangan bagi dunia advokat Indonesia. Saya mengenal
beliau saat masih studi di Yogyakarta dalam rentang 2003 hingga 2010. Putra
dari pejuang di masa revolusi fisik sekaligus salah satu pendiri Provinsi Jambi, M.T. Fachruddin, ini sempat menjadi pengajar di Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) serta dikenal luas sebagai aktivis hukum dan pengacara yang sudah
malang melintang dalam dunia penegakan hukum di tanah air. Selain itu, ia juga
telah memberikan kontribusi bagi Organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Almarhum juga diketahui aktif mengisi Materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat
(PKPA) yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan
PERADI.
Nama kamal Firdaus tidak berlebihan bila disandingkan dengan sejawatnya sesama penegak hukum di negeri ini, sebut saja seperti mendiang Adnan Buyung Nasution (ABN) dan Artidjo Alkostar, Todung Mulya Lubis, Mahfud MD, Abdurrahman Saleh, Purwoto Gandasubrata, Salman Luthan, Busyro Muqoddas, Suparman Marzuki, Saldi Isra, Denny Indrayana, Maqdir Ismail, dan Imam Anshori Saleh. Beberapa tokoh lainnya yang saya tahu berinteraksi dengannya yaitu Emha Ainun Najib (Cak Nun), As’ad Said Ali, Manuel Keseipo, Anas Urbaningrum, Arie Sudjito, Landung Simatupang, dan Ons Untoro. Jelas masih banyak tokoh lainnya yang tidak saya ketahui baik itu dari kalangan akademisi, diplomat, tokoh masyarakat, aktivis NGO dan politisi.
Ki-ka: Kamal Firdaus, Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, dkk, 1993 |
Saya bukan ahli hukum, tapi menaruh minat pada buku-buku seputar ilmu hukum dan mengikuti wacana praktik penegakan hukum tanah air. Dalam konteks itu, suara kritis Kamal Firdaus kerapkali muncul bersama aktivis hukum lainnya dari Yogyakarta yang merisaukan praktik hukum dan krisis demokrasi di negeri ini, yang dalam istilahnya “makin astaga saja”. Ulasan-ulasan singkatnya mudah ditemui di kanal facebook pribadinya menyoal maraknya mafia di pengadilan, korupsi kekuasaan, krisis demokrasi dan kehidupan advokat yang bergelimang harta dengan menggadaikan moral, kejujuran dan integritas sehingga mencederai asas hukum yaitu keadilan.
Kerisauan Kamal Firdaus terhadap wajah buram penegakan hukum di republik ini bukan baru-baru ini saja, melainkan seiring pendidikan strata satu yang ia tempuh di jurusan ilmu hukum dan aktif di Dewan Mahasiswa (DEMA) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Setelah lulus dari FH UGM pada 1978, kritisismenya makin terasah berkat keaktifannya di mimbar demokrasi, menjadi wartawan hingga wakil pemimpin redaksi Surat Kabar Mingguan (SKM) Eksponen (medio 1980an) dan terlibat mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada 1981 bersama pengacara jalanan Artidjo Alkostar (kelak menjadi Hakim di Mahkamah Agung dan terahkir sebagai Dewan Pengawas KPK) dan aktivis hukum lainnya. Di bawah rezim Orde Baru pemerintahan Soeharto, nalar kritis sekaligus keberanian lulusan SMAN 1 Kota Jambi pada 1970an ini benar-benar ditempa.
Bukunya berjudul Seraut Wajah Hukum, terbit 1980 oleh penerbit Alumni,
Bandung, berisikan kumpulan tulisan Kamal Firdaus saat masih mahasiswa S1 FH
UGM yang dimuat di berbagai koran nasional terkemuka kala itu seperti Kompas,
Sinar Harapan dan lain-lain adalah bentuk perhatian seriusnya terhadap
sengkarut penegakan hukum di tanah air. Salah satu perkara besar menutup tahun
1999 dan mengawali tahun 2000; menjadi milestone
dalam sejarah hukum dan pers Indonesia, yang ikut ditangani oleh Kamal
Firdaus bersama pengacara Todung Mulya Lubis, dkk, yaitu Soeharo VS Majalah Time.
Pengantar Todung Mulya Lubis dalam buku terbitan Kompas berjudul Soeharto VS
Time: Pencarian dan Penemuan Kebenaran tahun 2021 jelas menyebutkan alasan
mengikutsertakan Kamal Firdaus ke dalam Tim Kuasa Hukum lantaran ia pernah
berkecimpung di dunia pers yang dikenal berintegritas (Hal III).
Kamal Firdaus bersama kedua orang tua (sisi kiri), lulus di FH UGM, 1978 |
Persinggungan saya dengan pria kelahiran Merlung, Tanjung Jabung Barat, Jambi, 28 April 1948 ini tentu tidak seintim para aktivis dan praktisi hukum yang berinteraksi langsung dengannya semasa hidup, seperti beberapa nama yang saya sebutkan di atas. Walakin, sepanjang saya berinteraksi dengannya baik saat di Yogyakarta atau setelah saya mukim di Kota Jambi, sosoknya tergambar jelas sebagai pribadi yang sederhana, egaliter, tidak pelit ilmu dan menghargai pandangan sekalipun datang dari mereka yang berusia lebih muda darinya. Bahkan, kediamannya di Dusun Jeruk Legi, Banguntapan Bantul, Pinggiran Kota Yogyakarta, kerap menjadi tempat para ahli dan aktivis hukum berkumpul dan tentu saja mempercakapkan dinamika penegakan hukum, HAM dan demokrasi di tanah air. Mereka yang datang ke padepokan jeruk legi itu tidak hanya dari kalangan tua, melainkan kelompok usia muda. Padepokan itu boleh dikata sebagai oase, sebuah ruangan bagian sisi kanan rumahnya yang dipenuhi rak-rak berisikan ribuan buku serta halaman depannya yang rindang dilengkapi sebuah langgar kecil tidak jauh dari situ.
Ketegasannya sebagai praktisi hukum terletak pada kebepihakannya pada
penegakan hukum yang jujur, bersih dan berintegritas. Itu kenapa, untuk
menyebut contoh, ia begitu keras mengkritik praktik suap, gratifikasi
dan pencucian uang yang dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar (2014) serta Sekretaris Mahkamah Agung yaitu Nurhadi Abdurrachman (2020) dan Hasbi Hasan
(2023). Termasuk belum lama ini kasus suap yang melibatkan Zarof Ricar, Mantan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan
Peradilan Mahkamah Agung, setelah sebelumnya
jaksa mencokok tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan Gregorius
Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan, karena menerima suap 20 miliar.
Surat Kabar Harian Kompas pernah mengangkat sosok dan pemikiran Kamal Firdaus pada 4 Maret 2006. Dari liputan itu tergambar pandangan, sikap
tegas dan kontribusi Kamal Firdaus bagi dunia penegakan hukum dan usaha mengerem praktik korupsi
di tanah air, sesuatu yang sangat ia risaukan, tidak terkecuali harapannya
kepada Jaksa Agung Abdurrahman Saleh era Pemerintahan Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) ketika itu agar melakukan bersih-bersih di
internal Kejaksaan dari gurita korupsi, kolusi dan nepostisme (KKN).
Selain pengakuan langsung dari Kamal Firdaus, muatan Kompas 18
tahun yang lalu itu kembali meyakinkan saya bahwa suami dari Titi Aminah ini memang sosok yang sederhana. Faktanya, ia baru bisa memiliki rumah permanen pada tahun
2006 hasil dari tabungan dan bantuan dari para sejawatnya, setelah sebelumnya
ia menjadi kontraktor alias berpindah dari satu rumah kontrakan ke kontrakan
lainnya bersama sang istri dan anak. Jika membandingkannya dengan beberapa
pengacara kondang yang dewasa ini ini kerap flexing
memiliki harta berlimpah, tentu itu tidak akan dijumpai pada sosok Kamal
Firdaus.
Kamal Firdaus saat aktif di SKM Eksponen (medio 1980an) |
Dalam hubungan itu saya membaca tulisan pribadi Kamal Firdaus di beranda facebooknya, sebuah kisah yang sebetulnya sudah lama ingin ia ungkapkan ke publik karena,-- mana tahu,--ada manfaatnya diketahui orang banyak. Setidak-tidaknya sebagai otokritik terhadap profesi pengacara di tanah air. Tersebab kisah itu bersifat pribadi, selama ini ia masih "rikuh" mengungkapkannya ke publik. Namun bertepatan dengan gegap-gempitanya pemberitaan tentang wafatnya Nelson Mandela, sang pengacara, ia merasa relevan mengisahkan hal itu ke khalayak luas.
Berikut ini saya sertakan penggalan tulisan Kamal Firdaus pada 7
Desember 2013, di sini:
“Suatu hari saya diundang dan menghadiri acara pernikahan anaknya sohib saya Busyro Muqoddas (Ketua KPK RI). Hadir juga sejumlah pejabat tinggi lainnya. Kalau tidak salah ingat di tempat tamu VIP saya duduk semeja dengan Mahfud MD. Tiba-tiba muncul sohib saya Artidjo Alkostar. Sang hakim agung itu langsung "nyeletuk" sambil ketawa menunjuk ke saya : "Nah ini dia pengacara antisuap...." Di luar dugaan Mahfud MD langsung menimpali dengan suara keras "Mas Kamal, kalau pengacara tidak main suap, apa laku!!".
Profesi Kamal Firdaus sebagai pengacara boleh dikata umum diketahui, tetapi belum banyak yang mengerti bahwa ia adalah juga penyair dan menaruh minat terhadap sastra dan isu-isu kebudayaan pada umumya. Selain melalui catatan pribadinya di kanal facebook, ia juga pernah menceritakan langsung kepada saya tentang karya sastra yang diminatinya. Bahkan, ia telah menerbitkan sebuah antologi puisi berjudul Perjanjian Senjakala, memuat puisi-puisi yang ia tulis dalam rentang waktu 1961-2017. Ia juga kerap diundang membacakan puisi dan menyaksikan teater di pelbagai hajatan kebudayaan. Ia juga pernah menjadi salah satu narasumber diskusi di Dewan Kesenian Jambi pada 2013, setelah sebelumnya kami sama-sama mengunjungi Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarojambi.
Staf ahli Jaksa Agung Republik Indonesia Abdurrahman Saleh ini mengakui sejak SMP hingga mahasiswa dan bahkan sepanjang
melakoni profesi pengacara tidak saja membaca literatur seputar ilmu hukum,
melainkan juga merambah tentang agama, filsafat, sejarah, politik,
demokrasi, intelejen, biografi, novel dan membaca buku-buku puisi karya penyair
luar negeri seperti William Shakespeare (1564-1616), Friedrich Schiller (1759 -1805),
Heinrich Heine (1797-1856), Boris Pasternak (1890-1960), Muhammad Iqbal (1877 -
1938) dan Yevgeny Yevtushenko (1932-2017).
Salah satu penyair Indonesia yang ia kagumi yaitu WS Rendra, yang tak lain juga
sahabatnya. Ia juga mengenal baik istri Rendra yaitu Ken Zuraida dan Raden Ayu Sitoresmi
Prabuningrat. Bahkan, melalui secarik surat bertanggal 14 Maret 1981 diketahui
penyair si “Burung Merak” pernah meminta bantuan kepada Kamal Firdaus menjadi pengacara dalam proses perceraiannya dengan sang istri yaitu Sunarti Suwandi. Kamal Firdaus mengagumi
WS Rendra yang saat itu dikenal sebagai penyair dan budayawan terkemua serta
kritis terhadap rezim Soeharto. Ulah keberanian itu Rendra sempat mendekam di
sel tahanan kala itu.
Penulis bersama Kamal Firdaus di Taman Budaya Yogyakarta (2017) |
Demikian saya mengenal sosok Kamal Firdaus. Jelas saya belum sepenuhnya bisa membentangkan secara utuh sosok dan sepak terjang Kamal Firdaus semasa hidup. Ia telah bergaul dengan banyak orang dari pelbagai latar belakang profesi, keahlian dan lintas usia. Ia juga telah menghibahkan segenap pikiran dan tenaganya untuk penegakan hukum yang adil, jujur dan bersih di negeri ini. Belum lagi, sebagai sesama orang Jambi, beliau adalah orangtua bagi banyak mahasiswa Jambi (Keluarga Pelajar Jambi Yogyakarta-red) yang menempuh studi di Yogyakarta. Begitu juga ia pernah didapuk menjadi Ketua Paguyuban Masyarakat Jambi yang mukim di Yogyakarta. Ringkasnya, beliau menjadi tempat bagi kami bertanya banyak hal.
Secara pribadi banyak kenangan saya tentang almarhum, termasuk pandangannya menjawab keheranan saya ketika Pemerintah Provinsi Jambi tengah berjuang di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa kepemilikan wilayah Pulau Berhala dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, tapi kali lain insyAllah saya tuliskan. Bukan kebetulan pula ketua Mahkamah Konstitusi saa itu adalah Prof. Mahfud MD yang tidak lain adalah sahabat Bang Kamal Firdaus. Begitu juga perhatiannya yang besar di tengah polemik renovasi pembangunan Asrama Mahasiswa Jambi di jalan Bausasran, Kota Yogyakarta, oleh Pemerintah Provinsi Jambi tahun 2007.
Selamat jalan Bang Kamal Firdaus, terima kasih atas ilmu, budi baik dan
dedikasimu pada dunia penegakan hukum di tanah air. Sebagai manusia biasa tentulah Kamal Firdaus jauh dari kesempurnaan. Semoga dosa beliau diampuni oleh Allah
SWT dan mendapat termpat terbaik di sisiNya. Selamat berjumpa dengan kekasih
yang amat Abang cintai yaitu Titi Aminah, sang istri, yang lebih
dahulu kembali ke haribaanNya tujuh tahun yang lalu (2017). Tenang dan damailah di rumah keabadian. Giliran kami melanjutkan sisa umur di negeri ini dengan segala pernak-perniknya.
*Kota Jambi, 14 Januari 2025.
*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:
1) Artidjo Alkostar: Penegak Keadilan
2) Pilkada Jambi dan Nyanyian Sunyi Sepanjang Oktober
3) Darurat Demokrasi: Memaknai Persinggungan Cendekiawan dan Politik
4) Quo Vadis APBD Jambi 2019-2024?
5) Ketindihan Teknokratis: Problem Akut Perencanaan Pembangunan
6) Pilgub Jambi 2024 dan Peta Jalan Pemajuan Kebudayaan
8) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi
9) Anomali Pembangunan Provinsi Jambi 2023
10) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024
11) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023
12) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023
13) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024
14) Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023
15) Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan
16) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan
17) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi
18) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi
19) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi
20) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai
21) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Autokritik
0 Komentar