ilustrasi. sumber: kompas.id. |
I/
Malam telah larut.
Suara-suara kian senyap. Tinggal udara dingin yang sedikit menusuk-nusuk
tulang. Sesekali deru motor menggodai telinga. Masih kutatap lekat layar
komputer rombengku, komputer yang kini entah ke mana terbengkalai bangkainya.
Dengan mata yang kian layu, dengan kepala yang makin berat, dan dengan
tuts-tuts keyboard yang telah buram
huruf-hurufnya, aku paksakan diri untuk tetap konsentrasi merampungkan sebuah naskah
tulisan. Letih badan dan nyut-nyut kepala kuabaikan. Naskah tulisan itu,
curhatan mahasiswa semester awal asal Jambi yang baru datang ke Jogja, harus
sudah selesai esok paginya. la, Joemardi, akan mengambil, meng-edit, dan
memuatnya di majalah perdana mahasiswa Jogja asal Jambi, Kajanglako.
Hingga kini, aku belum tahu kenapa ia menunjukku untuk menulis naskah itu. Saat itu, lebih-kurang dua tahun lalu, aku sama sekali buta dengan dunia tulis-menulis, benar-benar tidak berbakat. Bakatku sepertinya cuma keluguan, kepolosan, dan bertimbun kepekokan atau kekeraskepalaan. Sampai sekarang keras kepalaku belum punah-punah juga. Saya sangat tidak vokal waktu itu, pendiam, dan melulu terbata-bata berbicara dengan kelirihan ucapan. Inferior, introvert, dan inlander. Dan buku adalah barang aneh bagiku, apalagi buku-buku berprediket kritis.
Paginya Joemardi datang ke
kosku. la tampak serius baca tulisanku yang amburadul, sintaksisnya kacau.
Orang mungkin tidak paham maksud tulisanku itu. Setelah mencermati bentuk dan
isi tulisanku, ia bilang akan memuat tulisan itu, atau lebih tepat disebut
catatan harian itu di salah satu rubrik majalah yang sedang digarapnya. Ia
menceritakan padaku, yang tak tahu apa-apa ini, tentang Jogja. la kenalkan
padaku Cak Nun, Orang Rimba, dan kesedengan Jambi. Aku cuma manggut-manggut
menyimak tenang omongannya. Selebihnya diam dan terus manggut-manggut sampai ia
pulang.
II/
Akhirnya bedah buku Sekola
Rimba bareng pengarangnya, Butet Manurung, usai juga. Moderatornya Joemardi
Poetra. Dalam hati kubergumam, Joemardi ini kok semangat dan serius sekali
memoderatori acara itu. Di luar ruangan, selepas pengisi acara pulang, Joemardi
berdiskusi, juga dengan semangat dan serius, dengan temanku. Ah, aku tidak
paham obrolan mereka. Yang aku pikirkan kala itu, secepatnya sampai di kamar
kos, merebahkan diri ke kasur, dan tidur. Ngantuk benar rasanya. Padahal baru
jam setengah satu malam.
III/
Pada semester I aku langsung
daftar UKM al-Mizan, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) keagaman populer di kampusku
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Niatnya ikut-ikutan
dan untuk meneruskan tradisi pesantren. Pasalnya, orang tua menyuruhku nyantri.
Tetapi karena beberapa halangan, tak mungkin aku nyantri di Jogja. Sebagai
alternatif kuputuskan masuk UKM al-Mizan saja.
Saat ngumpul bareng di kantor
al-Mizan, eh aku ketemu dengan Joemardi lagi. Selidik punya selidik, rupanya ia
jadi ketua di UKM itu. Ini orang rasanya di mana-mana kok ada. Dan posisi
organisatorisnya selalu vital. Dalam acara ngumpul bareng itu, ia yang paling
banyak bicara. Dan hampir tiap kalimat yang ia keluarkan tak dapat kupahami.
Banyak kata-kata yang asing, ilmiah, dan aneh. Dari tutur katanya, kelihatan
kreativitas orang yang satu ini. Sebenarnya inginku berbincang dengannya, tapi
rikuh, segan.
"Kira-kira kapan ya aku bisa jadi seperti dia?" tanyaku dalam hati waktu itu.
IV/
Siang yang panas. Betis rada
pegal. Mata hendak tertutup. Lagu slow
hits Wali Band yang kuputar membawaku terbang ke alam mimpi. Dan, waduh,
HP-ku merengek-rengek. Ternyata SMS dari Joemardi. Tetapi kenapa siang-siang
begini SMS, dan sebelumnya belum pernah? Dengan banyak prejudice, kubaca SMS itu. Pesannya, ia mengajakku ikut Bakti
Lingkungan esok harinya, bayarnya 20 ribu. Karena aku percaya dengan dia,
kujawab "iya", aku ikut. Dia balas lagi: "Tunggu saja besok sore
jam dua di depan gedung Multi Purpose.
Bawa pakaian dan alat mandi seperlunya". "Oke," balasku.
Besok sorenya, jam dua, aku
bergegas ke depan gedung Multi Purpose UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Duduk bengong menunggu di sana. 10 menit, 20
menit, hingga 30 menit, belum juga ada tanda-tanda.
Kusisir pandangan ke
sekeliling. Tidak ada orang ramai-ramai berkumpul. Tidak ada bis berspanduk
"Bakti Lingkungan" parkir di sana. Sedikit kesal, ku SMS Joemardi.
"Mana? Nggak ada siapa-siapa." "Tunggu saja. Kamu pake baju
warna apa?" balasnya. Kujawab "coklat. Jaket coklat." "Ya
udah. Tunggu saja dulu. Orang yang njemput kamu lagi di jalan. Bentar lagi
nyampe." Balasnya lagi. Dan 40 menit, 50 menit, dan sebuah motor parkir di
depan tempatku duduk. Si empunya motor tanya, "Widodo ya?".
"Iya," jawabku. "Ayo naik. Kawan-kawan sudah nunggu."
perintahnya. Aku naik. la membawaku ke Gowok, masuk gang dan lorong-lorong
sempit, berbatu-batu, mirip seperti jalan di kampungku.
Dan sepeda motor berhenti di depan rumah batu berukuran sedang. Rumahnya ramai, lagi riuh. Di sampingnya ada masjid. Beberapa orang menyilahkanku masuk. Tampangnya seram-seram. Celananya sobek-sobek. Rambutnya brindil panjang-panjang. Ada juga yang berkulit hitam, dari Papua atau Timor Leste kukira. Laki-laki yang ada di sana seluruhnya merokok, klepas-klepus. Gayanya tak ubahnya preman. "Sedang di mana nih aku sebetulnya? Masak bakti lingkungan orangnya serem-serem gini?" dan seorang menghardikku, "Siapa namamu, nih tulis di formulir. Biayanya 20 ribu." Dan kujawab ceplos, kuisi formulir buru-buru, dan dengan geragapan kuambil uang dari saku. Kuserahkan padanya.
Lewat jam empat sore, kami
berangkat ke tempat bakti lingkungan. Belakangan, setelah sampai tempat bakti
lingkungan, setelah berdiskusi hingga tengah malam, baru aku diberitahu bahwa
acara tersebut sebenarnya prosesi rekrutmen organisasi ektra universitas. Asu,
aku 'ditipu' Joemardi Poetra. Ini sih bukan bakti lingkungan. Bakti lingkungan kok
diskusi tiada henti sampai tiga hari. Selingannya nyanyi-nyanyi lagu perjuangan
sambil teriak-teriak orasi lagi. Bajingan Joemardi. Awas nanti kalau ketemu.
Namun refleksi diskusi selama tiga hari itu membuatku tersadar, ada yang tidak
beres dengan logika ekonomi-politik negeri ini, ada yang mesti dibenahi dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya. Dan niatku menghabisi Joemardi surut. Justru
aku ingin berterima kasih padanya.
Hingga tulisan ini kuketik, aku masih berada di organisasi ekstra tersebut, berkat Joemardi. Tanpa dia aku tak akan jadi seperti sekarang. Mungkin malam ini aku nyenyak tidur sesudah seharian capek melototin dosen di kelas dan ngerjain tugas-tugas yang memorsir fisik dan psikis. Pandanganku pasti sempit.
V/
Semester berganti. Kini
semester tiga masuk. Dan Joemardi Poetra memprovokasiku ikut UKM ARENA: Kancah Pemikiran Alternatif. Aku
tanya, "Itu UKM apa?" Dia jawab: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), ngembangin
tulis-menulis dan jurnalisme. Apik. Masuk aja.
Pendaftarannya sebentar lagi. Besok kalau sudah buka pendaftarannya kukasih
tahu." Aku manggut-manggut. Yakinlah, pikirku. Pasti baik arahan Joemardi Poetra.
Aku telah membuktikannya.
Dan aku pun kini masuk juga ke LPM ARENA itu, walau tak intens. Sebulan rajin. Sebulannya lagi tanpa kabar berita. Sebulan aktif, bulan depan liar dan mengelana tidak jelas raganya. Namun jujur, Arena amat bermakna dalam bagiku. Suatu malam, di saat-saat fly, aku sempat menulis tentang Arena: setengah hatiku keroak tanpamu. Arenalah salah satunya yang membangun karakterku dan menyuplai benih-benih sadar sosial dan rasa hayat hidup. Dan terciptanya hal itu, lagi-lagi karena Joemardi. Sejak itu, selama beberapa bulan, Joemardi menggemblengku tenanan. Ironisnya, akhir-akhir ini aku durhaka padanya. Di antara kami terdapat banyak selisih pandangan. Maklumlah, biar introvet dan inferior, aku keras-kepala betul.
VI/
Malam itu, ia curhat padaku
dan memberi ide. "Bagaimana kalau kita bikin komunitas diskusi buat
anak-anak Jambi?" Lagi-lagi, lantaran aku begitu percaya dengan dia, aku
manggut-manggut. Setuju dengan dia, aku manggut-manggut. Setuju sajalah. Lalu
kami sibuk konsolidasi ke sana-ke sini. Hasilnya, berkumpullah 8 orang malam
itu di Ngeband Resto Nologaten. Dengan rasionalisasi sedemikian rupa, kami
sepakat mendirikan sebuah komunitas diskusi, khusus buat anak-anak Jambi.
Malam-malam selanjutnya
diadakan pertemuan lanjutan, membahas bentuk dan konsep komunitas. Dalam
pertemuan itu dimufakati, setelah berdebat alot, nama komunitasnya Swarnabhumi.
Konsentrasi diskusinya ekonomi-politik dan sosial-budaya.
Kami kemudian jalan keliling tetua pamomong mahasiswa asal Jambi di Jogja. Banyak yang memberi support, namun ada pula yang pesimistis
dan meremehkan. Joemardi menyemangati, meremehkan. Joemardi menyemangati,
biarlah dia pesimistis, yang penting kita jalan terus. Buktikan saja kalau kita
bisa.
Diskusi Komunitas Swarnabumi. Lev Widodo berkaos biru tua. (2009) |
Komunitas swarnabhumi, dengan kelincahan dan mobile Joemardi yang tinggi, sekarang, setahun kemudian, berkembang dan telah jadi tolok ukur bagi organisasi-organisasi asal Jambi. Website sudah kami terbitkan. Dan jaringan telah cukup luas. Tinggal melakukan pengembangan-pengembangan di sana-sini.
VII/
Tetapi, kabar sedikit buruk,
terdengar. Joemardi akan mudik, balik ke kampungnya dan tidak tahu kapan akan
kembali ke Jogja lagi. Diberitahu kabar itu, lama terkesiap aku. Seorang
kawanku, penggemblengku, dan guruku akan pulang, dan lama tak akan kembali ke Jogja.
Tanpa dia, bagaimana nanti nasib Komunitas Swarnabhumi? Sesudah berhari-hari
memantapkan hati, aku dan kawan-kawan komunitas Swarnabhumi lainnya harus siap
bergerak tanpa dia. Harus siap.
Biar demikian, berpisah
dengan dia, guru mudaku itu, tetap berbekas. Dua tahun setidaknya aku diajaknya
berdiskusi, bergerak, dan mengatasi keterbelakangan personal. la membentuk
karakterku dengan sabar dan teladan.
Pada pertemuan terakhirnya dengan kawan-kawan Swarnabhumi malam ini, aku tidak banyak bicara. Sulit berbicara. Padahal banyak yang harus kubicarakan. Terutama berucap terima kasih dan meminta maaf. Sebab, beberapa minggu ini kami konflik. Serupa konfliknya antara Hok-Gie dan kakaknya Arif Budiman barangkali. Awalnya soal sepele, lalu merembet jadi serius. Yang jelas ketakmatanganku penyebabnya. Keras kepalaku. Juga karena perbedaan bentuk manajemen organisasi. Mungkin akibat pengalaman organisasiku yang cekak. Namun kenapa harus cepat berpisah? Hah...... ya okelah kala begitu kawan, selamat jalan, selamat berjuang di sana, mudah-mudahan suatu nanti kita dapat bersapa kembali, kembali berdebat seperti dulu mereka-reka metode tertepat mentransformasikan budaya, ekonomi, dan politik Jambi.
***
Umur telah beranjak kawan. Waktu berlari kencang tanpa dapat kurintangi. Tiba saat di mana kita mesti memutuskan dan memilih. Datang tempo ketika kita mesti berpisah, saling menjauhi. Dan kenang-mengenang masa lalu, dengan sesal, kesal, dan sedikit rasa beruntung, hanya itu yang dapat kita perbuat, sambil bersiap-siap menebak dan mengaransemen masa depan yang melulu tanda tanya. Bagaimana bisa kubulatkan jiwa ini mengharap perjuangan bersama nanti, sedang masa depan tidak pernah mampu akal mencapainya.
Kawan, bekal darimu berarti
benar buatku. Akan kutambah bekal itu. Akan terwujud impian-impian bersama
kita, kendati kutuju impian-impian itu dengan seluruh kekurangan yang kumiliki.
Kawan, biar kita dipisahkan selat, jalinan adu kata-kata jangan terburu usai.
Masih kubutuhkan diskusi-diskusi mencerahkan itu. Masih kuperlukan
juklak-juknis itu.
Kawan, masih ingatkah kau
pada saat kita saling debat menentukan judul tulisan, atau saling seteru
tentang format esai, atau adu mulut memilih nama komunitas, juga perang urat
leher tentang bentuk manajemen komunitas? Juga masih terbayangkah saat di mana
kita keluyuran memburu catatan pinggir dan buku-buku Pramoedya Ananta Toer? Ya,
kau yang mendamba Cak Nun, kau yang terpikat Gus Dur, kau yang mengagumi Pram,
kau yang terpesona Goenawan Mohammad, dan kau yang menyanjung Imam Budi Santosa,
Rendra dan Remy Silado. Ah, "Lampu Padam" itu.
Kawan, di mana kini buku kumpulan puisi dan artikelmu yang dulu kita jilid itu? Akankah ia jadi saksi perjuanganmu kelak, dibaca banyak orang, dibaca anak-cucu kita? Dan kapan lagi kita keluyuran dan gentayangan bareng memburu buku-buku, lalu membajaknya, memfoto-copy-nya walau dengan ngutang? Kawan, buku-buku itu, akankah kau jual lagi? Buku, puisi, cita-cita, diskusi, dan bergerak.
Kawan, kelewat banyak memori
yang tidak dapat kulupakan. Tasbih pendeta yang biji-bijinya sebesar gundu itu di
mana kini? Dan miniatur vespa yang jatuh terus dari CPU-ku. Lalu sepeda
ontel berplat BH itu. Dan berkas-berkas proposal perpustakaan Taman Pintar itu
masih tersimpankah?
Kawan, dua tahun perjuangan
bersama kita, bukan waktu yang pendek. Dan malam ini, kebersamaan itu mau
terampas. Kepadamu Kawan, aku hanya bisa berterima kasih dan meminta maaf.
Kawan, tenang-tenanglah saja kau di kampung halaman. Yakin, yakinlah kami pasti bisa melanjutkan perjalanan terjal yang teramat jauh ini. Percaya, percayalah kawan. Selamat, selamat jalanlah Kawan. Ini malam, malam persiapan, bagi kita yang akan berpencar mengarungi laut lepas sendiri-sendiri, menerabas hutan liar sendiri-sendiri. mudah-mudahan kita bertemu lagi kawan....
Camerado, I give you my hand!
I give you my love more precious
than money, Camerado, I give you my hand!
I give you my love more precious than money, I give you myself before preaching or law;
Will you give me yourself?
will you come travel with me?
Shall we stick by each other
as long as we live?
Now I see the secret of the making of the best person.
It is to grow up in the open air and to eat and sleep with the earth.
(Walt Whitman: "Song of the Open Road")
*Tulisan di atas merupakan karya Lev Widodo, alumnus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Sempat juga nyantri di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (tidak selesai). Tulisan ini dibuat tanggal 20 Januari 2010, dimuat di facebook pribadi penulis dengan tajuk Kawan, Terima Kasih dan Selamat Jalan.
0 Komentar