Pramoedya Ananta Toer. sumber: indonesiakaya.com |
Oleh: Jumardi Putra*
Sangat terlambat dibanding sebagian kawan segenerasi, tapi tetap berarti bagi saya. Barangkali itu yang dapat menjelaskan awal mula saya mengenal roman karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer tahun 2001 di salah satu toko buku di Desa Cukir, Jombang, Jawa Timur, hingga puncaknya di masa “keemasan” saat menempuh studi di Yogyakarta tahun 2004.
Karya Pramoedya yang pertama
kali saya baca adalah tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Empat buah novel itu berhasil saya tuntaskan
hampir dua tahun. Maklum, selain tebal, bolak-balik membacanya di perpustakaan
kampus, bobot isinya juga berat. Sependek yang saya tahu ketika itu, tetralogi
pulau buru paling populer dibanding puluhan karya Pram lainnya. Kawan-kawan
sejawat di kampus kerap menyebut tetralogi pulau buru sebagai “magnum opus”
Pramoedya Ananta Toer.
Beberapa tokoh kunci dalam novel
tetralogi pulai buru yang mengesankan buat saya yaitu Minke yang berjuang
melalui tulisan-tulisan dan organisasi surat kabar, Nyai Ontosoroh (ibu
mertua), Trunodongso (seorang petani yang menolak tanahnya disewakan secara
paksa pada perusahaan gula milik kolonial), dan agen polisi kolonial, J.
Pangemanann yang ditugaskan untuk memadamkan usaha perlawanan kaum pribumi
(dalam Rumah Kaca).
Harga masing-masing novel
tetralogi pulau buru terbitan Lentara Dipantara (apalagi versi Hasta Mitra)
boleh dibilang mahal untuk ukuran dompet mahasiswa seperti saya, makanya
bersama beberapa kawan seangkatan tahun 2004 bersepakat membeli versi copian di
salah satu toko fotocopy di Papringan, tidak jauh dari kampus Institut Pertanian (INSTIPER) dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya tahu itu tidak
dibenarkan, tetapi keingintahuan yang begitu kuat serta ingin memilikinya
segera saat itu membuat versi fotocopian tidak terelakkan.
Barulah berselang tahun
setelahnya saya berhasil nyicil membeli tetralogi Pulau Buru versi orisinil, berkat hasil kerja di salah satu penerbitan dan percetakan buku di Yogyakarta serta membuka
jasa sampul buku saat bazar atau pameran buku (bookfair) di Yogyakarta seperti di
gedung Manda Bakti Wanitatama dan laman kantor SKH Kompas dan Bentara Budaya Yogyakarta di Jalan Sutoto, Kotabaru.
Seiring ruang diskusi yang
mempercakapkan buku-buku Pram makin luas di Yogyakarta saat itu membuat saya
makin tertarik membaca karya Pram lainnya, sebut saja seperti Sang Pemula, Panggil
Aku Kartini, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (dua jilid), Mereka Yang Dilumpuhkan, Arok
Dedes, Korupsi, Di Tepi Kali Bekasi, Jalan Raya Pos-Jalan Daendels, Larasati, Hoa Kiau di Indonesia, Si Midah Bergigi Emas, Gadis Pantai, Arus
Balik, Menggelinding, dan Pasar Malam. Saat itu, terutama di kalangan sejawat ARENA, sebuah lembaga Pers Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, buku-buku Pram boleh dikata tidak
pernah abai dipercakapkan, apalagi Sang Pemula. Yang ngaku jurnalis pasti tahu
sosok di balik tokoh utama dalam buku Pram tersebut.
Hingga saat ini saya telah mengoleksi dan membaca puluhan novel karya Pram, di samping tulisan para pakar baik dalam maupun luar negeri yang mengupas karya Pram semasa hidup. Termasuk buku-buku karya Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer, dua adik Pram yang juga produktif menulis. Sebagai salah satu sastrawan garda terdepan Indonesia, Pram melalui medium sastra berhasil menganggit embrio nasionalisme Indonesia di awal kebangkitan nasional, mengangkat tokoh-tokoh kecil/pinggiran pada masanya (sebagai pilihan sadar atau counter Pram atas produk sejarah resmi yang kerap ditulis untuk kepentingan penguasa), menolak keras pada feodalisme Jawa dan berkepala tegak (tidak tunduk) kepada kekuasaan yang korup dan otoriter.
Ia dianggap sebagai musuh
rezim Orde Baru lantaran karyanya dianggap mempropagandakan komunisme. Menurut
saya bukan karena isu komunis yang diprasangkakan dalam karya sastranya, tapi
Orde Baru khawatir terhadap kritik yang dilancarkan Pram terhadap praktik kekuasan menyimpang sehingga bisa menghambat kepentingan Orde
Baru saat itu. Tak syak, banyak karya Pram dicekal, dilarang terbit hingga
dibakar mulai dari masa Soekarno dan puncaknya saat Soeharto menjadi presiden.
Lebih dari separuh hidup Pram dihabiskan di balik jejuri besi tanpa melalui pengadilan. Itu kenapa Pram marah nian atas praktik hukum dan politik di republik ini dan bahkan juga terhadap mentalitas sesama anak bangsa yang suka menghabisi satu sama lain, tapi saat yang sama takut kepada kekuasaan yang otoriter dan korup. Buku berjudul “Saya ingin Melihat Semua Ini Berakhir” yang diterbitkan Komunitas Bambu 2008 berhasil menunjukkan “kemarahan” seorang Pram kepada Orde Baru dan mentalitas sesama anak bangsa yang suka menindas satu sama lain. Termasuk kekesalannya pada Orde Baru yang membakar beberapa karya tulisnya. Tulisan saya tentang buku karya August Hans Den Boef dan Kees Snoek itu dapat dibaca lebih lanjut di link berikut ini: Saya Ingin Melihat Semua Ini Berakhir.
Keberadaan Pram makin problematik saat dirinya bergabung di Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) tahun 1958, yang berafiliasi dengan PKI sehingga menjadikannya berjarak dengan beberapa seniman lainnya yang berbeda haluan pandangan dengannya pada masa itu. Puncaknya, mulai dari tanggal 16 hingga 24 Agustus 1963 muncul Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang mengusung humanisme universal yang diformulasikan pada masa Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk respon atas pelbagai aksi dalam ranah kebudayaan yang dilancarkan oleh orang-orang yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan paham realisme sosialis di baliknya (seni untuk rakyat), termasuk di dalamnya terdapat Pram. Gagasan Manifes Kebudayaan diprakarsai oleh HB Jassin, Trisno Sumandjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A Bastari, Asnin Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, DS Moeljanto, Ras Siregar, Sjahwil, Djufri Tanissan.
Kehidupan Pramoedya Ananta
Toer berubah drastis pasca peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Dia
berpindah dari satu penjara ke penjara menjadi tahanan politik selama 14 tahun
tanpa proses pengadilan. Pram bahkan melewati peristiwa mengerikan yang nyaris
merenggut nyawanya. Itu terjadi pada 13 Oktober 1965 saat dirinya ditangkap
komplotan pemuda bertopeng. Peristiwa itu membuat pendengaran Pram rusak akibat
pukulan keras di kepalanya.
Belasan tahun setelahnya (1992) ia kembali ke Jakarta namun tetap menjadi tahanan kota hingga 1999. Padahal ketika itu, dia telah terbukti tidak bersalah atas peristiwa G30S PKI. Dalam buku André Vltchek dan Rossie Indira berjudul “Saya Terbakar Amarah Sendirian!” (KPG, 2006), Pram berbicara dengan sikap tanpa tedeng aling-aling menanggapi penindasan historis, politis, dan tak manusiawi sebagai orang yang mengalami sendiri. Ia bahkan menyebut kisah hidupnya sebagai orang yang terasing di negerinya sendiri. Muatan perbincangan Pram dengan kedua penulis itu menyasar beberapa topik yang secara langsung dialami oleh Pram semasa hidup mulai dari sebelum 1965: sejarah kolonialisme dan Soekarno, Kudeta 1965, budaya dan Jawanis (berkait erat dengan penolakan kerasnya pada feodalisme), karya sastra, Soeharto dan Rezimnya, Timor Leste dan Aceh, Keterlibatan Amerika Serikat dan Rekonsiliasi peristiwa politik 1965. Apa yang dikatakan oleh Pram dalam buku itu sangat menyentuh perasaan dan bahkan terkadang sangat menyedihkan.
Waktu terus menggelinding. Rezim Soeharto tumbang oleh tuntutan reformasi. Barulah pasca reformasi karya Pram makin luas dibaca publik dan tidak perlu lagi diam-diam membacanya seperti di kala Soeharto berkuasa. Bahkan, Bumi Manusia, satu dari tetralogi pulau buru telah diangkat ke layar lebar tahun 2019 dengan Iqbaal Ramadhan yang memerankan sebagai Minke dan Mawar Eva De Jongh sebagai Annelies. Tidak hanya itu, tahun 2024 pemerintah Indonesia juga telah memasukkan novel Bumi Manusia ke dalam daftar rekomendasi kurikulum sastra agar dibaca dan dipahami oleh siswa di seluruh Indonesia. Meski keputusan ini tergolong sangat terlambat, di saat negara lain sudah jauh lebih dahulu mengenalkan karya Pram kepada siswanya di sekolah-sekolah, tetap perlu diapresiasi.
Gayung pun bersambut, tujuh tahun sebelum ini, saya melakukan “napak tilas” ke rumah orangtua Pramoedya Ananta Toer di Blora, Jawa Tengah. Pram lahir di tengah keluarga yang pas-pasan secara ekonomi. Mastoer sang ayah bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar Institut Boedi Oetomo di Blora. Ayahnya sempat didapuk menjadi kepala sekolah. Sementara itu Oemi Saidah membantu sang suami dengan berjualan nasi. Rumah masa kecil Pram itu kini dihuni oleh Dr. Soesilo Toer bersama istri dan anaknya. Catatan perjalanan saya ke Blora, genah Pram lahir hampir 1 abad lalu itu (6 Februari 1925-6 Februari 2025) dapat dibaca di link berikut ini: Catatan dari Blora: Berdiri di Atas Kaki Sendiri.
Hingga akhir hayat, Pram adalah satu-satunya sastrawan Indonesia yang masuk nominasi peraih Nobel Sastra. Ia wafat pada tanggal 30 April 2006. Sebelum napak tilas ke Blora, saya lebih dahulu menziarahi makamnya di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, di Jl. Karet Pasar Baru Barat, Karet Tengsin, Tanahabang, Kota Jakarta Pusat. Lahu alfatihah.
*Kota Jambi, 28 Januari 2025. Tulisan sederhana ini saya buat dalam rangka menyongsong peringatan 1 Abad sastrawan Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925-6 Februari 2025).
0 Komentar