![]() |
Oleh Jumardi Putra*
Nasib Moko sungguh malang. Dia ditinggal mati keluarga sekaligus cita-citanya. Begitu juga kisah cintanya bersama Maurin. Ia dipaksa oleh keadaan menjadi orang tua tunggal bagi 1 kakak dan 7 ponakan.
Dari judulnya sudah bisa
dipastikan bahwa film ini bertitimangsa tentang keluarga.
Sebenarnya, saya bukan peminat genre film drama keluarga, melainkan film laga, petualangan, komedi, dan fiksi ilmiah. Keinginan menonton film ini yaitu selain memenuhi ajakan istri menyambut akhir pekan (Jumat/21), juga karena film ini merupakan versi layar lebar dari sinetron jadul dengan judul yang sama pada tahun 1996, yang mengadaptasi karya pengarang Arswendo Atmowiloto, yang juga sukses melalui film berjudul Keluarga Cemara. Mendiang Arswendo merupakan jurnalis sekaligus penulis cerita pendek, novel, naskah drama, dan skenario film, yang karyanya banyak dibaca.
Alur film besutan sutradara Yandy Laurens ini berjalan lamban. Bahkan, 20 menit pertama film ini terasa membosankan. Sekalipun demikian, film ini menurut hemat saya selaku penikmat, bukan sineas loh ya, berhasil membawa warna baru dan khas dibanding Keluarga Cemara atau cerita keluarga kebanyakan yang diangkat ke layar lebar, apalagi sinetron keluarga di tivi-tivi sekarang.
Artis Chicco Kurniawan sebagai Hendarmoko, dipanggil Moko, memerankan cerita seorang arsitek muda yang harus memendam mimpinya sendiri supaya bisa mengasuh keponakan-keponakannya. Karakter Moko dalam film ini related banget sama kehidupan nyata seperti tergambarkan dalam sebuah adigium berbunyi "Orang baik akan selalu dimanfaatkan oleh orang yang tidak berperasaan." Kalimat itu terucap dari mulut Mas Eka sendiri yang diperankan oleh aktor Ringgo Agus Rahman, suami dari Kak Osa (Nisa Anjani), kepada Moko, yang ternyata dia juga bagian dari orang-orang yang memanfaatkan sifat baik si Moko.
Karakter si Moko kadang membuat kesal, lantaran ia tidak pernah terlihat marah besar di keluarga, memiliki sikap legowo dan terlihat berusaha untuk selalu kuat di tengah kondisi keluarga yang kacau. Untung ada sosok Maurin, yang selalu support Moko melalui berbagai lika-liku kehidupannya, bahkan saat sudah tidak lagi bersama karena keadaan yang menimpa si Moko, ia masih bersetia untuk menemani Moko. Nah, situasi demikian itu yang menjadi kekuatan film ini sehingga mengaduk-ngaduk emosi para penonton. Bahkan, tidak sedikit dari penonton film ini saya lihat berulang kali menyeka air mata. Pada bagian tertentu, pesan di balik film ini juga menyentuh (kalau bukan menyentil) sisi terdalam dari batin saya sendiri. Kondisi itu makin menjadi-jadi lantaran berpadu dengan lagu-lagu karya Sal Priadi, yang menganggit makna kesederhanaan menjadi momen puitik yang layak untuk direnungkan secara mendalam.
![]() |
si Moko dan Maurin dan Ponakannya |
Sebagai pemeran utama di film ini tidak ada pilihan lain bagi Moko, kecuali menghidupi anak-anak kakaknya yaitu Woko (diperankan Fatih Unru), Nina (Freya JKT48), Ano (Nadif H.S.), dan Ima yang masih bayi. Belum lagi ketika Pak Nanang (Ence Bagus), guru piano Moko dahulu, menitipkan putrinya, Gadis (Kawai Labiba), untuk tinggal bersamanya sementara waktu. Faktanya, pak Nanang tidak pernah datang lagi menjemput si Gadis. Tidak berhenti di situ saja, nyatanya kakak si Moko yaitu Osa (Niken Anjani) beserta sang suami, Eka (Ringgo Agus Rahman), pulang dari Australia justru menggantungkan hidup kepadanya. Apatahlagi, karakter yang diperankan oleh mas Eka, makin membuat runyam kondisi keluarga si Moko, terutama saat ia sedang bekerja jauh meninggalkan rumah dan para ponakannya, tetapi justru si Eka terlibat dalam investasi bodong, yang sumber uangnya justru berasal dari jerih payah si Moko selama bekerja. Kondisi itu diketahui oleh si Maurin dan rekan kerja si Moko, sehingga mereka meminta si Moko untuk bersikap tegas kepada Mas Eka agar tidak memanfaatkannya lagi dengan mengatasnamakan untuk keperluan hidup para ponakan.
Sungguh malang nasib si Moko. Begitu juga kisah cintanya dengan si Maurin berujung tidak pasti. Kedatangan Mas Eka di rumahnya justru membuat hubungannya dengan
para ponakannya betul-betul problematik. Bahkan, para ponakan Moko dipaksa bekerja oleh Mas Eka, suami dari kak
Osa, yang nyatanya justru memanfaatkan uang kiriman dari Moko, yang itu tidak
pernah dinikmati oleh para ponakannya.
Di sinilah puncak ujian bagi si Moko karena kesulitan ekonomi yang menimpa keluarganya. Namun, sekali lagi, justru konflik di antara mereka jugalah yang menjadikan film ini menarik. Dari film ini saya menemukan benang merah yaitu mereka yang kesulitan dalam hidupnya perlu mengungkapkan isi hati di tengah kondisi masing-masing dalam sebuah keluarga. Dari situ masing-masing ponakan mulai mengenal siapa saya (Who Am I) di tengah yang lainnya, sehingga mulai berpikir untuk sama-sama memikul tanggung jawab, sesuai kemampuan, untuk terus tumbuh tanpa bergantung sepenuhnya kepada satu orang belaka. Sekalipun Moko sendiri mengamini tidak pernah meminta kembalian dari apa yang telah ia berikan selama ini kepada para ponakannya itu.
Lagi, dari sosok si Maurin, dengan kesabaran dan tentu saja cintanya kepada si Moko, ia berhasil mengingatkan si Moko untuk bersikap realistis dan bersama-sama menyelesaikan persoalan yang dialami oleh keluarganya tanpa harus membebaninya sendiri. Bagi Maurin, sebagai keluarga, masing-masing harus mulai menyadari tanggungjawab untuk sama-sama mencari jalan keluar terhadap problem ekonomi keluarga. Begitu juga bagi si Moko harus bisa memahami keberadaan Maurin, orang yang sangat mencintai sekaligus mengerti resiko yang diterimanya di tengah kondisi Moko sekeluarga. Di titik ini, lagi-lagi, si Moko perlu belajar dan bersikap tegas di tengah kehidupan yang jauh dari ideal.
Hal menarik dari hubungan Moko dan Maurin adalah kisah percintaan yang elegan dan intelek. Penonton tidak akan menemukan ungkapan cinta laiaknya pacaran ala gen Z lewat
kata-kata bombastis (untuk menyebut gombal), melainkan kesediaan menjadi tempat
bagi segala keluh kesah Moko, dan bahkan berhasil “menghardik” Moko agar bersikap
realistis sekaligus tegas antara keharusan menjaga ponakan, tetapi saat yang sama perlu fokus merintis profesi sebagai arsitek-jalan untuk memperbaiki taraf
hidup.
Sekalipun Chicco
Kurniawan memikul peran sentral dalam film berdurasi 129 menit ini, walakin kehadiran aktor lainnya berhasil
menghadirkan perspektif sang karakter dengan baik, sehingga konflik batin
masing-masing sebagai individu dalam sebuah keluarga makin menguatkan pesan di
balik film ini. Begitu juga kehadiran empat aktor senior yaitu Kiki Narendra,
Maudy Koesnaedi, Niken Anjani, dan Ringgo Agus Rahman, meski menit mainnya sangat
terbatas.
Puncaknya, melalui karakter si Moko sekaligus
gagasan di balik paradigma karya arsitekturnya, meski itu berujung gagal diterima oleh calon investor, dapat diambil sebuah kesimpulan
bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga beserta segala
momen-momen kebersamaan yang semestinya tak terhalang oleh dinding pemisah
berbentuk apa pun. Dialog dalam film ini secara tidak langsung
kembali mengingatkan nilai kehidupan yaitu menanggung beban untuk keluarga itu
sejatinya adalah sebuah privilege, karena
merupakan kehormatan untuk berkorban demi orang yang kita sayang.
*Kota Jambi, 23 Februari
2025.
0 Komentar