Tidak saja di darat, laut juga tak kalah rumit. Bukan hanya soal laut yang dipagari, tetapi juga tentang suara lantang seorang nelayan di tengah badai oligarki.
Di tengah polemik pagar laut
di Tanggerang-berkait erat dengan
kedaulatan negara dan kehidupan kaum nelayan-perhatian saya tertuju pada pak Kholid.
Ia tampil dengan suara lantang memprotes pembangunan pagar laut di Tanggerang dan
bahkan menyebut nama-nama yang terlibat di balik proyek pembangunan pagar laut
tersebut yang ditenggarai bagian dari pengembangan kawasan ekonomi eksklusif Pantai Indah Kapuk (PIK)
II.
Sebagai nelayan yang terbiasa
menghadapi badai di laut lepas, tampak jelas kesadaran pak Kholid terhubung
kuat dengan laut sebagai sebuah ekosistem sekaligus masa depan mata pencaharian nelayan yang terdampak akibat
pembangunan pagar laut tersebut. Ribut-ribut pagar laut ini boleh dikata puncak
gunung es dari lemahnya kebijakan negara mengurusi maritim dari aspek
infrastruktur, politik, sosial-budaya, hukum, keamanan, dan ekonomi.
Gagasan besar menjadi "poros maritim dunia” selama kepemimpinan Presiden Jokowi sebelum ini masih jauh panggang dari api, sehingga perlu kerja kongkrit, spesifik dan berkelanjutan di era Presiden Prabowo-seraya memastikan penegakan kedaulatan wilayah laut NKRI, revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan, penguatan dan pengembangan konektivitas maritim, rehabilitasi kerusakan lingkungan dan konservasi biodiversity, serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan.
Faktanya, perhatian terhadap isu maritim terus melemah, atau bahkan
hilang, sehingga wajar muncul anggapan miring di kalangan masyarakat bahwa komitmen
untuk mengembalikan Indonesia menjadi negara maritim hanyalah bual-bual politik
belaka.
Saat yang sama, hampir semua urusan yang berujung pada keributan di republik ini berhenti sebagai konten di televisi dan beranda media sosial, dan ujung-ujungnya kian menjauh dari persoalan sesungguhnya. Satu isu diganti isu berikutnya dan begitulah seterusnya. Sementara fakta di lapangan sudah terang benderang terdapat tindakan melawan hukum dalam konteks pemanfaatan wilayas laut, yang suka tidak suka telah menghabiskan banyak energi warga seantero tanah air di tengah pelbagai masalah penting lainnya yang juga menuntut jalan keluar.
Demikian itu berulangkali disangsikan oleh pak Kholid seiring lambatnya negara menuntaskan perkara ini. Apa Sebab? Proyek PIK II-yang katanya termasuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) melibatkan banyak pihak seperti Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah Kabupaten, Kanwil BPN Provinsi dan Kabupaten, apara penegak hukum, Kemen ATR/BPN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Belum lagi kelompok pemodal bersama kroni-kroninya yang berpikir keras untuk memuluskan proyek tersebut, dan galibnya memanfaatkan warga setempat berbekal rayuan bakal mendapatkan keuntungan jangka pendek, yang tidak seberapa dibanding efek jangka panjang bagi kehidupan nelayan.
Di beberapa kanal youtube dan dialog di televisi, pak Kholid
tidak saja tampil dengan penuh percaya diri membawa suara dari mereka yang dilumpuhkan, tetapi juga
segudang data dan informasi lapangan yang membantah pandangan orang-orang
yang berseberangan dengan dirinya-termasuk warga setempat yang mengklaim sebagai
kelompok nelayan-dan dengan mudah dibongkar oleh pak Kholid bahwa mereka yang
hari ini bersuara tidak ada masalah di balik pembangunan pagar laut-nyatanya terhubung
dengan korporasi di balik pembangunan pagar laut tersebut.
Pak
Kholid bukan pengamat, juga bukan pengajar di kampus, dan tentu bukan pejabat, tetapi
hanya seorang pencari ikan yang hidup dari laut bersama nelayan lainnya. Kejernihan
pikiran yang disampaikan Pak Kholid berhasil menghalau paradigma usang (kalau
bukan stereotipe) yang masih bercokol kuat dalam pikiran orang-orang yang
katanya terdidik bahwa orang miskin seperti petani/nelayan tidak bisa (kalau
bukan tidak boleh) cerdas. Berulangkali ia menerima stigma yang merendahkan
dari lawan debatnya, tetapi justru ia berhasil membalikkan keadaan sehingga perhatian
publik tertuju pada narasi dan argumentasi penolakannya yang masuk akal terhadap
pembangunan pagar laut tersebut.
Menariknya lagi, ia sempat berkelakar
di hadapan para narasumber lainnya dalam sebuah dialog bahwa kemampuannya menyampaikan
pikiran-pikiran secara gamblang seputar polemik pagar laut ini berkat mengkonsumsi
ikan segar-hasil dari matapencahariannya sendiri di laut,-bukan karena makan
uang segar-untuk menyebut uang hasil kongkanglikong dengan oligarki. Benar-benar
menohok!
Sosok seperti pak Kholid ini berani dan lantang bersuara lantaran ia tidak terikat oleh kepentingan sempit dan jangka pendek dengan kaum oligarki di balik pembangunan pagar laut itu. Di situlah pandangan sekaligus sikap berani pak Kholid membuat publik terpana. Galibnya, suara-suara kiritis seperti yang diutarakan pak Kholid tenggelam di tengah arus diskusi yang penuh drama dan basa-basi, entah itu di televisi, youtube dan kanal media sosial. Bahkan, pak Kholid tidak berhenti sebatas menyampaikan protes di muka umum dan layar televisi. Ia juga menyinggung anomali praktik penegakan hukum di negeri ini. Di matanya, untuk masyarakat kecil, aturan laksana tombak; tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Namun bagi penguasa kekuasaan dan kaum oligarki, hukum justru sering dipermainkan sejauh memuluskan kepentingan. Presiden Prabowo tahu soal ini dan kerap ia utarakan di mimbar-mimbar politik. Maka, inilah kesempatan bagi Prabowo menunjukkan autentisitasnya sebagai panglima tertinggi di republik ini, bukan politisi yang mudah mengumbar janji-janji.
Protes pak Kholid adalah suara
yang selama ini hilang dari layar televisi: suara rakyat kecil yang kerap
dilumpuhkan. Di banyak daerah lainnya di republik ini suara-suara seperti pak
Kholid acapkali dibungkam dengan pelbagai cara. Bahkan, tertimbun oleh suara-suara
para influencer yang menjadi alat
propaganda kekuasaan agar negara selalu terlihat baik-baik saja, meski sesungguhnya terjadi pelbagai tipu-muslihat dan itu membahayakan bagi
perjalanan bangsa ini ke depan.
Terima kasih pak Kholid,
nyali dan suara lantangmu mengingatkan siapa saja, terutama kepada para pejabat
yang diamanahi memegang tanggungjawab besar di republik ini agar bekerja sungguh-sungguh
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat seraya menjaga kedaulatan negara. Bukan justru
menjadi panjang tangan dari kaum oligarki yang tidak pernah memikirkan
masa depan kehidupan rakyat di republik ini, selain dari menumpuk pundi-pundi.
*Kota Jambi, 2 Februari 2025.
0 Komentar