Karya Koesalah Soebagyo Toer (KPG, 2006) |
Oleh: Jumardi Putra*
Saya adalah keranjang sampah Pram--Keosalah Soebagyo Toer
Siapa Koesalah Soebagyo Toer? Mungkin tak banyak dari penikmat sastra Indonesia, terutama Gen Z, mengenal nama itu, apalagi seluk beluk kehidupannya. Namanya tidak setenar sang kakak yaitu maestro sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer, menyusul berikutnya Dr. Soesilo Toer, sang adik.
Meski tidak banyak tulisan yang mengupas tentang
Koesalah-anak dari pasangan Mastoer (ayah) Oemi Saidah (ibu)-nama itu penting
untuk diketahui karena warisannya semasa hidup baik berupa karya tulis sendiri,
karya terjemahan dan buah pikirannya tentang Pramoedya Ananta Ter seperti buku berjudul
Kamus Pramoedya. Begitu juga buku berjudul Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan
Pribadi Koesalah Soebagyo Toer dan
Bersama Mas Pram. Ketiga buku itu saya beli
langsung dari Dr. Soesilo Toer di rumah masa kecil Pramoedya di Blora pada Juli
2018.
Pada Kamus Pramoedya Ananta Toer (Pataba Pres, Mei 2018), saya membaca penggalan-penggalan informasi penting dan menarik dari episode panjang seorang Pram tentang hubungannya dengan orang-orang di sekitar, keluarga dan sanak-saudara, tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi hingga musuh-musuhnya. Buku ini juga menjelaskan tentang karya-karyanya, tempat-tempat dan kejadian penting yang pernah Pram alami hingga ke kata-kata penting yang pernah Pram lontarkan dalam berbagai kesempatan semasa hidup.
Saya bersukacita lahirnya buku tersebut karena menjadi salah satu dokumentasi yang memudahkan bagi pembaca luas (terutama non kalangan sastra) mengenal seluk-beluk tentang satu-satunya penulis Indonesia yang telah beberapa kali menjadi nominasi pemenang Nobel sastra ini. Karena muatannya diracik ringan, saya tuntas membaca buku dalam format kamus ini dari Blora menuju Kota Kudus 2018 lalu. Berbeda halnya bila membaca karya Pram seperti tetralogi Pula Buru, Arus Balik, Mereka Yang Dilumpuhkan, Arok Dedes, dan Nyanyian Sunyi Seorang Bisu, yang mengernyitkan dahi dan bahkan tidak cukup hanya dibaca sekali.
Sedangkan dari buku Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer (KPG, 2006), saya menjadi mengerti bahwa dirinya sangat dekat dengan Mas Moek, demikian Koesalah Soebagyo Toer memanggil sang kakak, Pramoedya Ananta Toer. Sebagai adik kesayangan Pram, mereka punya riwayat hampir sama yaitu dibui karena alasan tidak jelas duduk perkaranya. Jika Pram dibui karena tulisan-tulisannya, Koes hanya karena dianggap memiliki hubungan darah dengan Pram. Walakin kerasnya kehidupan di penjara tidak menghalangi mereka saling memperbincangkan kehidupan dengan segala pernak-perniknya. Bahkan, Koes menyebut dirinya adalah "keranjang sampah" Pram-untuk menyebut menerima hal-hal yang tidak bisa dikemukakan pada orang lain. Sebagai pembaca buku-buku Pram, saya sangat terbantu dengan kehadiran karya Koesalah ini sehingga dapat melihat sisi-sisi pribadi Pram dari dekat sekali, sesuatu yang berbeda dengan karya besar yang ia torehkan semasa hidup, dan itu adalah warisan penting bagi peradaban.
Karya Koesalah Soebagyo Toer (2018) |
Koesalah lahir di Blora, Jawa Tengah 27 Januari 1935. Pada 1960-1965, ia berhasil mendapat beasiswa untuk kuliah di Rusia, tepatnya di Fakultas Sejarah dan Filologi Universitas Persahabatan Rakyat-Rakyat, Moskwa. Selama lima tahun tersebut, Koesalah akhirnya menguasai bahasa Rusia. Pasca perseteruan politik 1965, Koesalah yang sempat mengajar di Akademi Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK), ditahan di penjara Salemba tanpa melalui peradilan oleh Pemerintah Orde Baru pada 1968. Barulah ia dibebaskan 10 tahun kemudian (1978). Salah satu cerita yang ditulisnya saat mendekam dalam penjara Orde Baru Salemba Jakarta (1968-1978) yaitu buku berjudul Ibuku di Surga, di samping cerita Adik Tentara/Adhine Tentara (1996) yang terbit dalam bahasa Indonesia dan Jawa.
Sebagai mantan mahasiswa yang belajar di Rusia, Koesalah membagikan pengalamannya dalam buku Kampus Kabelnaya, Menjadi Mahasiswa di Uni Soviet dan Anekdot Moskow- pelengkap catatan dari buku Kabelnaya. Selain seorang Poliglot, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (YPKP HAM) ini juga novelis dan kronikus. Selain buku bermutu karya Koesalah berjudul Tanah Merah Yang Merah: Sebuah Catatan Sejarah (Ultimus, 2010), juga salah satu kerja seriusnya yang perlu diketahui yaitu menyusun buku Kronik Revolusi Indonesia bersama Pramoedya Ananta Toer dan Ediati Kamil. Seri kronik ini terdiri dari lima jilid, meliputi rentang waktu lima tahun, masing-masing dengan ketebalan paling sedikit 500 halaman. Banyaknya jumlah halaman memperlihatkan bahwa kronik ini lebih lengkap dan lebih melingkupi dari buku- buku kronik tentang Revolusi Indonesia lainnya.
Sejarahwan Onghokham dalam pengantarnya mengatakan bahwa kronik ini berfokus pada peristiwa yang terjadi selama revolusi, dan bukan analisis ataupun prosesnya. Masih menurut Onghokham, hendaknya kronik ini tidak melulu melihat peristiwa penting yang terjadi di pusat pemerintahan, tetapi juga memuat ragam peristiwa di daerah, termasuk peristiwa di bidang budaya, kesenian, dan olahraga.
Berkat kemampuanya menguasai bahasa Inggris, Rusia, Belanda, Jerman, Prancis, dan Jawa, tidak mengherankan kalau Koesalah disebut-sebut sebagai penerjemah kelas wahid untuk karya-karya penulis dunia, terutama asal Rusia seperti dua karya Bibhutibhushan Bandyopadhyay: Pater Pancali: Tembang Sepanjang Jalan dan Aparajito: Yang Tak Terkalahkan, Ivanhoe (Sir Walter Scott), Musashi (Eiji Yoshikawa), Keliling Dunia dalam 80 Hari (Jules Verne), dan Parikan Pantun Jawa Puisi Abadi (2011).
Selain judul-judul karya
penulis beken di atas, ada juga Putri Kapten (Alexander Pushkin), puluhan cerpen Anton Chekov
yang ia bukukan dengan judul Pengakuan dan Ruang Inap
No 6, Menjelang (Ivan S Turgenev), Hadji Murat (Leo
Tolstoi), dan Jiwa- Jiwa Mati (Nikolai Gogol).
Bahkan, Koesalah menjadi
satu-satunya orang yang menerjemahkan tiga adikarya Tolstoy ke dalam bahasa
Indonesia. Tiga karya tersebut adalah Perang dan Damai, Anna
Karenina, dan Kebangkitan. Kemampuan Koesalah itu
menegaskan bahwa ia adalah seorang penerjemah tangguh dan bernapas panjang. Sebut
saja seperti tiga adikarya Tolstoy dalam bahasa Rusia tersebut, apabila ditotal
jumlahnya sekitar 2800 halaman. Tak syak, atas capaian tersebut, Vladimir Putin lewat wakilnya Mikhail Galuzin
memberikan penghargaan “Bintang Pushkin” kepada Koesalah pada tahun 2016
melalui istrinya, setahun sebelum Koesalah wafat dalam usia 81 tahun.
*Kota Jambi, 03 Februari 2025.
0 Komentar