Sang Penjagal APBD: Yang Menarik dari Dedi Mulyadi

 

Dedi Mulyadi, Gubernur terpilih Jawa Barat. Sumber: kompas.com

Oleh: Jumardi Putra*

 

Kita nggak motongin anggaran. Kita nggak jadi jagal anggaran Pemprov Jabar. Kita lagi membuat nalar anggaran yaitu menentukan mana prioritas/tidak prioritas, anggaran wajib, sunnah, makruh, syubhat, dan bahkan haram untuk kita laksanakan. Ada tingkatan dan seluruhnya dibahas dengan cara-cara bijak. Bukan memotong asal-asalan. Bahkan, ada pos-pos belanja yang tetap dipertahankan sejauh sesuai dengan kaidah perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Jadi, tenang saja bagi semua jajaran Pemprov Jabar. Toh, ini bukan uang pribadi kita, tetapi uang negara yang harus diperuntukkan sepenuhnya bagi kesejahteraan rakyat.

 

Demikian itu penggalan kalimat yang sempat diucapkan Dedi Mulyadi, Gubernur terpilih Provinsi Jawa Barat, belum lama ini melalui kanal instagram pribadinya, menyusul usahanya menyisir pos-pos belanja perangkat daerah pada APBD Provinsi Jawa Barat TA 2025-tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN/APBD TA 2025. Tidak tanggung-tanggung, Dedi Mulyadi mengklaim berhasil melakukan efisiensi belanja mencapai 5 triliun dari total APBD Jawa Barat sebesar 30an triliun.

Upaya Dedi itu tentu menimbulkan tanda-tanya, karena selain belum dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat, juga ngotak-ngatik APBD 2025 yang notabene sudah ditetapkan menjadi Perda APBD dan Perkada Penjabaran Pelaksanaan APBD setelah sebelumnya dibahas bersama Badan Anggaran DPRD Provinsi Jawa Barat dan TAPD Provinsi Jawa Barat, dan bahkan telah dilakukan evaluasi oleh Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, sesuai mekanisme dan tahapan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan yaitu antara lain Permendagri Nomor 15 Tahun 2024 Tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2025 dan regulasi induk yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan turunannya yaitu Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 Tentang Pedoman Teknis Pengolaan Keuangan Daerah.

Selain langkah Dedi Mulyadi bertolak dari Inpres 1 Tahun 2025, juga kepentingan dirinya sebagai Gubernur Jawa Barat terpilih periode 2024-2029. Masih masuk akal. Catatan saya kali ini tidak akan mengulik perihal teknis, mekanisme, dan tahapan mendahului Perubahan APBD sesuai amanat peraturan perundang-undangan-memang dimungkinkan bila ada perintah peraturan yang lebih tinggi maupun jika terjadi peristiwa yang luar biasa (seperti bencana dalam skala besar)-, melainkan melihat sisi menarik dari upayanya membedah APBD sekaligus menggali isi kepala para pejabat daerah di lingkup Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Pola dan gaya Dedi Mulyadi ini perlu diapresiasi karena kualitas pelayanan publik sangat bergantung pada cara anggaran dirancang dan dieksekusi. Begitu juga proses penganggaran bukan sekadar pembagian angka, melainkan alat strategis untuk menjawab pelbagai kebutuhan mendasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Kalimat di awal tulisan-yang diucapkan Dedi Mulyadi itu-sarat dengan istilah dalam ilmu Usul Fiqh-adalah kata kunci yang bisa mengantar publik memahami upaya dirinya mendedah muatan APBD Provinsi Jawa Barat bersama para pejabat daerah dan juga Bupati/Wali Kota terpilih hasil Pemilukada se Jawa Barat. Mereka yang mengerti anatomi APBD segera mengetahui problem tata kelola keuangan daerah bersemboyan "Gemah Ripah, Repeh, Rapih" itu.

Saya suka gaya Dedi Mulyadi mengulik jeroan APBD sekaligus isi kepala para pejabat daerah yang selama ini mengurusi APBD mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan anggaran dengan segala dinamika, problematika serta tantangannya. Berkat pengalaman panjang Dedi Mulyadi mulai dari Anggota DPRD Purwakarta (1999-2003), Wakil Bupati Purwakarta (2003-2008), Bupati Purwarkarta 2 periode (2008-2013-2018), Anggota DPR RI (2019-2023) dan kini terpilih menjadi Gubernur, sehingga ia cukup mengerti problem dan tantangan daerah-daerah di Jawa Barat yang bertalian dengan pelbagai kebijakan di level pemerintah pusat. Berbekal itulah ia mendialogkan (sekaligus menyisir) pos-pos belanja daerah yang selama ini ditenggarai tidak efisien dan tidak bersentuhan langsung dengan hajat hidup rakyat banyak di Jawa Barat.

Tampak jelas orientasi pembangunan Jawa Barat ke depan sekaligus beban keuangan daerah dari rezim sebelumnya yang mesti dituntaskan, sebut saja seperti harmonisasi dana transfer pemerintah pusat terhadap fiskal daerah (DAU/DAK), optimalisasi komponen PAD (pajak, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang sah, dan Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah), penyelesaian utang daerah, pemenuhan alokasi anggaran untuk infrastruktur pelayanan publik, pendidikan, dan kesehatan (bagian dari alokasi pemenuhan Mandatoy Spending dan Standar Pelayanan Minal/SMP), optimalisasi dana bagi hasil ke Kabupaten/Kota, orientasi belanja hibah, penanganan pungutan liar dan ulah LSM “nakal” terhadap satuan pendidikan di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Kesemua itu dibicarakan secara terbuka di kanal media sosial miliknya sehingga bisa diketahui publik, terutama yang berkepentingan dalam hal ini adalah warga Provinsi Jawa Barat. Baik Dedi Mulyadi sendiri maupun para pejabat daerah mengamini bahwa pengelolaan APBD Provinsi Jawa Barat masih perlu dioptimalkan lagi seraya melakukan perbaikan di sana-di sini, terutama orientasi belanja daerah.

Benar saja, daerah masih salah kaprah dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), lantaran sebagian besar anggaran digunakan untuk keperluan internal daerah, seperti belanja pegawai, belanja perjalanan dinas, serta belanja barang dan jasa, juga belanja hibah (golongan kontributor paling dominan pada komponen belanja operasional). Sementara belanja-belanja yang terkait langsung dengan rakyat acap kali dikesampingkan. Dengan kata lain, data-data itu menyiratkan bahwa sebagian besar belanja APBD habis untuk urusan internal perangkat daerah. Padahal, jenis belanja pegawai serta belanja barang dan jasa tidak mampu memutar roda perekonomian daerah lebih kencang.

Dedi Mulyadi meyakini bahwa motor penggerak pertumbuhan ekonomi justru belanja yang mampu menciptakan efek berganda. Sayangya, belanja modal masih jauh dari ideal, itu pun sebagian digunakan untuk pembangunan gedung dan kendaraan dinas. Begitu juga masih terjadi misinterpretasi regulasi yang dinilainya sebagai salah satu penyebab belanja kerap tidak tepat sasaran. Misalnya, belanja modal diartikan sebagai pengelolaan aset sehingga dapat digunakan untuk membeli perangkat komputer, pembangunan gedung, atau penyewaan mobil pejabat, hal yang tidak memberikan dampak berganda bagi perekonomian.

Menyadari hal itu, tidak heran bila Dedi Mulyadi mengharapkan kepada seluruh Bupati/Wali Kota se Jabar fokus pada penyelesaian urusan-urusan publik dan bahkan dia juga mengajak para pejabat daerah tersebut tidak membeli kendaraan dinas baru atau cukup menggunakan kendaraan dinas pejabat sebelumnya, sehingga anggaran tersebut bisa dialokasikan untuk program prioritas dan turunannya.

Sebagai sebuah harapan, hal itu penting disampaikan Dedi Mulyadi kepada para Bupati/Wali Kota terpilih se Jawa Barat. Meski realitas politik dalam praktiknya tidak secara otomatis segendang sepenarian. Era rezim pemilihan kepala daerah secara langsung baik Gubernur/Bupati/Wali Kota membuat setiap kepala daerah memiliki visi-misi, arah kebijakan dan program priotas yang memerlukan langkah dan cara-cara yang tidak selalu sama antara satu dengan lainnya. Belum lagi, seperti dikatakan Dedi Muyadi di hadapan para pejabat daerah tersebut bahwa ongkos politik yang terlalu mahal di negeri ini membuat kualitas belanja pembangunan daerah yang bersumber dari APBD dalam perjalanannya acapkali “terganggu” karena memenuhi janji-janji membagikan “kue APBD” kepada kelompok pemodal (kontraktor), termasuk tim sukses, yang menyokong sang kepala daerah selama masa kampanye hingga menjadi pejabat defenitif. Begitulah realitas politik seperti bunyi sebuah adigium "tidak ada makan siang gratis/no free lunch".  

Keterbukaan Dedi Mulyadi mendiskusikan APBD perlu dicontoh kepala daerah terpilih lainnya. Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan kondisi APBN/APBD yang kurang sehat sekarang ini, publik sangat membutuhkan kepemimpinan transformasional, bukan transaksional, yaitu pemimpin yang dari ucapan dan tindakannya bisa menggerakkan seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan pembangunan yang adil dan sejahtera bagi masyarakat di daerahnya masing-masing dengan cara memastikan orientasi belanja pada pemenuhan urusan-urusan mendasar masyarakat. Dengan kata lain, kepemimpinan transformasional tidak hanya memimpin secara politik-administratif, tetapi juga menginspirasi seraya mendorong keterlibatan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan organisasi lokal, dalam proses penganggaran. Dengan pendekatan ini, kebijakan anggaran dapat lebih partisipatif dan inklusif, sehingga setiap alokasi dana benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat.

Saya berharap Dedi Mulyadi tidak berhenti sebatas omong-omong doang, walakin satunya kata dengan perbuatan. Perubahan fundamental ke arah yang lebih baik adalah keniscayaan bagi pembangunan daerah-daerah di negeri ini, tidak terkecuali bagi Provinsi Jawa Barat seperti yang diimpilkan Dedi Mulyadi. Meski saya juga sulit menyangkal realitas seperti dikatakan Jhon Kotter dari Hardvard Business School, “Change is something easy to talk about, but hard to work on”.

 

*Kota Jambi, 7 Februari 2025.


*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:

1) Asta Cita dan Beban Berat APBD Jambi 2025

2) Darurat Demokrasi: Memaknai Persinggungan Cendekiawan dan Politik

3) Quo Vadis APBD Jambi 2019-2024?

4) Ketindihan Teknokratis: Problem Akut Perencanaan Pembangunan

5) Pilgub Jambi 2024 dan Peta Jalan Pemajuan Kebudayaan

6) Prabowo, Sang Bibliofil

7) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi

8) Anomali Pembangunan Provinsi Jambi 2023

9) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024

10) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023

11) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023

12) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024

13) Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023

14Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan

15) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan

16) Artidjo Alkostar: Penegak Keadilan

17) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi

18) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi

19) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi

20) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai

21) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Autokritik

0 Komentar