Sepulang dari Steva: Sebuah Oase

Toko buku Steva. Sumber: westsumatra360.com


Kerja-kerja kebudayaan, transmisi pengetahuan dan penyelenggaraan demokrasi tidak dimaknai sebagai ajang berebut jabatan dan materi dengan segala paradoksnya, melainkan sebagai proses pengabdian dan pengadaban negeri.

Oleh: Jumardi Putra*

Alhamdulillah, penerbangan Jakarta-Padang berjalan lancar. Kamis sore, sekira pukul 16:08 WIB saya tiba di Bandar Udara Internasional Minangkabau (30/1/25). Dari balik jendela pesawat, saya menyaksikan keindahan kotanya yang dikelilingi perbukitan dan langsung menghadap Samudera Hindia. Ini bukan kali pertama saya menginjakkan kaki di kota ini, dan itu cukup menjadi menjadi alasan utama saya jatuh cinta dengan alamnya. Begitu juga keberadaan pahlawan nasional kelahiran ranah Minang yaitu seperti Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Mohammad Yamin, Ruhanna Kudus, Mohammad Natsir, Rasuna Said, dan Buya Hamka.

Dari bandara saya segera pesan Grab menuju Ocean Beach Hotel, tempat saya menginap selama di Kota Padang. Tersebab posisi hotel tidak jauh dari bibir pantai, maka sebelum senja tiba saya bersama Ade menyantap sate padang plus kelapa muda. Sembari melepas penat, momen menghadap ke laut lepas itu menjadi ruang nostalgik buat saya pribadi, terutama mengenang kunjungan saya sebelumnya ke kota ini, suatu masa ketika saya menghabisi waktu seorang diri di Kawasan kota Tua dan beberapa tempat bersejarah sekaligus salah satu fase terberat dalam hidup saya saat bolak-balik Jambi-Padang membersamai Bapak berobat di sebuah rumah sakit di kota Padang sampai akhirnya beliau mangkat. Lahu alfatihah.

Saat matahari mulai merunduk ke ufuk barat, langit di Pantai Padang dipenuhi dengan warna-warna indah yang memesona. Deburan ombak yang mencium bibir pantai dan pantulan cahaya matahari yang terbenam di permukaan air laut menciptakan panorama yang memesona dan mengagumkan, menghadirkan suasana hening bagi batin sesiapa saja yang menyaksikannya.

Tidak banyak pengunjung lainnya yang saya jumpai, kecuali para pedagang. Memang sepanjang jalan yang saya lalui di Kota Padang tampak sepi. Usut punya usut, kata sopir Grab yang saya tumpangi, sekarang lagi musim libur kampus. Benar saja, kota Padang tampak ramai dikarenakan keberadaan mahasiswa yang datang dari pelbagai daerah di tanah air.

Senja di Pantai Padang. Dok. JP.

Bersamaan dengan deburan ombak, kumandang azan Magrib dari Masjid Al-Hakim terdengar syahdu. Posisinya juga tidak jauh dari tempat saya menginap. Saya pun kembali ke hotel untuk mandi dan menunaikan shalat Magrib. Usai itu, saya menghubungi Jaka Hendra, seorang jurnalis Mongabay-situs berita lingkungan yang menyediakan informasi dan analisis tentang isu-isu lingkungan, energi, dan konservasi.

Galibnya berkunjung ke daerah-daerah di Indonesia, usai melaksanakan tugas kedinasan, saya kerap memilih mengunjungi pusat studi di Kampus, kawasan bersejarah, situs cagar budaya, museum, perpustakaan, penerbit dan toko buku serta ruang-ruang kreatif kaula muda. Berdialog dengan orang-orang yang dijumpai di tempat-tempat itu selalu menghadirkan oase di tengah kehidupan sekarang yang berlari kencang dan serba tergesa. Waktu adalah uang, begitu slogannya. Tak pelak, sikap hidup yang melulu bertolak dari "speed is part of my life" membuat orang-orang dewasa ini kehilangan ruang intim di dalam dirinya untuk merefleksikan kembali apa di tengah semua ini?

Gayung bersambut, malam itu Jaka Hendra mengajak saya mengunjungi ruang kreatif STEVA yang menggabungkan konsep toko buku, perpustakaan dan arsip, dan kafe dalam satu tempat. Bagi kalangan peneliti, jurnalis, seniman, sastrawan dan mahasiswa di Kota Padang, Steva menjadi surga kecil bagi siapa saja yang ingin menikmati waktu berkualitas. Ruang kreatif ini resmi berdiri pada 21 Februari 2021, beralamat di Jalan Pagang Raya No. 37, Surau Gadang, Kecamatan Nanggalo, Padang.

Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di Steva. Saya langsung merasakan suasana yang nyaman baik di area indoor maupun outdoor. Bagi tuan dan puan yang ingin mencari tempat yang menghadirkan ghirah literasi, seni, budaya, dan kuliner di satu tempat secara bersamaan di Kota Padang, Steva adalah salah satu jawabannya.

Steva didirikan oleh Fatris MF, penulis buku Merobek Sumatra, Kabar dari Timur, Lara Tawa Nusantara, dan Jurnal Banda. Karena yang menginisiasi ruang kreatif ini adalah penulis, masuk akal bila Steva dirancang dengan konsep yang ramah dan nyaman bagi semua kalangan, sehingga semua konsumen betah berlama-lama sambil membaca buku. Buktinya, area indoor dihiasi dengan rak-rak penuh buku, meja kayu minimalis, dan pencahayaan yang hangat, menciptakan suasana yang ideal untuk membaca. Tersedia juga area outdoor yang dikelilingi tanaman hijau, membuat tempat ini cocok untuk bersantai sambil menyeruput kopi. Steva juga menyediakan berbagai koleksi buku mulai dari novel, antologi puisi, buku sejarah, sosial dan politik, hingga arsip yang bisa dibaca di tempat. Selain buku, Steva juga menyediakan menu makanan dan minuman bagi pengunjung dengan harga yang sangat terjangkau.

Tempat ini juga berfungsi sebagai taman baca, ruang diskusi, dan tempat pertunjukan seni. Sesiapa saja bisa mengikuti berbagai kegiatan seru, seperti diskusi buku, pemutaran film dokumenter, atau live music dari musisi setempat. Kabarnya Steva kerap menjadi tempat bagi komunitas literasi dan seni untuk berkumpul. Tidak jarang, mereka mengadakan acara seperti pembacaan puisi, peluncuran buku, atau diskusi publik tentang isu-isu budaya, sosial dan politik.

Ruang Kreatif Steva

Sependek amatan saya, desain ruang kreatif seperti Steva ini belum ada di Kota Jambi. Lain hal café sebagai tempat nongkrong boleh dikata sudah menjamur di kota Jambi. Saya berharap ke depan akan muncul ruang-ruang kreatif seperti Steva ini di Kota Jambi. Harapan itu rasanya masuk akal menimbang kehadiran beberapa komunitas literasi di Kota Jambi yang selama ini belum terhubung secara berkelanjutan dengan pelbagai komunitas kreatif lainnya dalam satu mode gerakan bersama untuk menciptakan suasana kota berbasis pada literasi dan kebudayaan.

Saya sempat bincang-bincang santai bareng Fatris MF dan beberapa kawan lainnya. Obrolan kami menyasar soal pemerintah daerah gagal menganggit aspek kebudayaan sebagai bagian integral dari pembangunan daerah secara holistik. Orientasi pembangunan memulu bergerak mengikuti deret ukur pasar-untuk menyebut ekonomi belaka. Dengan kata lain, kota bergerak hanya menyisakan satu sudut padang yaitu "nilai tukar", bukan "nilai guna". Tak syak, dimensi kebudayaan dan kerja-kerja pengetahuan sebagai basis terdalam (inheren) dari pembangunan yang berorientasi jangka panjang untuk pembangunan sumber daya manusia terabaikan. Apa lacur, umumnya masyarakat terjebak dalam pragmatisme akut bersamaan makin menguatnya konsumerisme, ditunjang dengan kekayaan sumber daya alam yang terus menerus dieksplotasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi untuk mendorong percepatan pembangunan.

Masih dalam satu tarikan tajuk obrolan, yang menarik buat saya adalah saat Fatris berkelakar menyebut istilah "Black Hole"-menyerap apapun yang berada di sekitarnya dan tidak dapat kembali lagi, termasuk cahaya. Istilah populer dalam hukum fisika itu muncul merespon kegelisahan jurnalis Mongabay Jaka Hendra dan sulit menyangkal itu juga adalah keresahan Fatris sendiri. Bukan tanpa alasan istilah itu diucapkannya setelah mengamati beberapa temannya yang tumbuh dalam tradisi panjang Intelektualisme di Padang dan Jogja justru melempem (tak lagi berkarya) saat mukim di Jambi.

Black hole adalah metafor bagi sebuah keadaan di luar diri para penulis maupun ilmuwan yaitu amuk materialisme bertautkan pragmatis-oportunis akut yang menjangkit individu-individu warga, sehingga kerja-kerja kebudayaan-termasuk di dalamnya memuliakan produk pengetahuan-buah dari dialektika yang muncul dari "pertengkaran-pertengkaran pemikiran" yang merawat-ruwat kewarasan, tidak mendapatkan dukungan secara memadai dari lingkungan sosial secara luas.

Penulis bersama Jurnalis Jaka Hendra di Steva

Meski belum final (untuk menyebut masih perlu dipercakapkan secara serius), yang dikatakan Fatris adalah juga kegelisan lama saya tentang Jambi. Kenapa tidak muncul penulis maupun ilmuwan besar dari Jambi? Apakah kondisi demikian itu disebabkan Jambi kadung terlena (dan bisa berubah menjadi malapetaka secara jangka panjang) dengan kekayaan sumber daya alam (batu bara dan sawit) yang dianugerahi oleh Tuhan sehingga membuat warganya abai terhadap hal-hal immaterial dan kerja-kerja kebudayaan (termasuk di dalamnya produksi dan transmisi pengetahuan) untuk pembangunan kualitas sumber daya manusia secara jangka panjang bagi peradaban.

Segera muncul pertanyaan bernada gugatan buat kita renungkan bersama yaitu masihkah kita terus tumbuh hanya dengan menggali banyak batubara, menanam jutaan hektar kelapa sawit, dan mengisap gas dan minyak. Saat bersamaan, pencemaran lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam itu menjadi sumber bencana bagi kita dan bahkan bagi anak cucu kita kelak. Lalu jalan mana yang dapat kita tempuh untuk kebangunan Jambi di masa mendatang?

Saatnya setiap individu warga perlu memberi perhatian serius terhadap interes-interes yang bernilai (kedalaman) dan membangun domain tempat wacana pengetahuan (multidisiplin) sekaligus opini ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum diekspresikan melalui pelbagai medium kreatif-alternatif serta tempat kegiatan-kegiatan intelektual dapat diaktualisasikan. Capaian dari dielaktika itu memuara ke dalam kerja-kerja birokrasi pemerintahan daerah yang berefek pada pembangunan sumber daya manusia, seraya memastikan pemenuhan infrakstruktur pelayanan publik serta kebutuhan mendasar lainnya, sehingga daerah tumbuh maju dengan tetap berakar pada sejarah dan kebudayaan yang menopangnya di tengah laju globalisasi. Begitu juga akan tiba satu waktu di mana kita dituntut menjawab setelah misi turisme tersuguhi dan Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah menyamarkan dirinya sebagai subjek yang sulit dikenal, akibat lesatan migrasi warga dunia dan budaya massa (globalisasi) yang menghempasnya, masing-masing kita, sejatinya telah cukup mengukur hidup dengan konstruksi materialisme.

Saya teringat penggalan puisi Ook Nugroho (2009), "Kami akan pergi/Kembali pada sungai/Sebab mereka paham/Arah ke muara". Maka, di situlah kebudayaan (gugusan ide/norma/nilai-nilai, etika, dan estetika) menjadi basis bagi kerja-kerja kebudayaan, produksi dan transmisi pengetahuan sekaligus penyelenggaraan substansi demokrasi yang kian ke sini terjebak di ranah prosedural-tunanilai. Kerja-kerja kebudayaan, transmisi pengetahuan dan penyelenggaraan demokrasi tidak dimaknai sebagai ajang berebut jabatan dan materi dengan segala pradoksnya, melainkan sebagai proses pengabdian dan pengadaban negeri.

 

*Kota Jambi, 17 Februari 2025.

* Tulisan senafas saya lainnya: Kota Jambi Hanya Menyisakan Satu Sudut Pandang: Nilai Tukar

0 Komentar