![]() |
Petang di Yogyakarta |
Oleh: Jumardi Putra*
Perjalananku di Jogja dimulai dari Yogyakarta
International Airport (YIA), terletak 45 kilometer dari jantung Kota,
tepatnya di Kapanéwon Temon, Kulon Progo. Ini kali pertama saya
menginjakkan kaki di bandara berkonsep greenfield
airport ini, pengganti Bandar Udara Adisutjipto yang sudah tidak mampu lagi
menampung kapasitas penumpang dan pesawat.
Selain bergaya arsitektur modern
dan futuristik, bandara ini juga menonjolkan unsur tradisional Yogyakarta. Nuansa
itu tampak jelas dari pelbagai unsur antara lain seperti atap bandara
bermotif kawung sehingga terlihat seperti kain batik dari atas, miniatur kolam
taman sari di area kedatangan, tiang-tiang bermotif batik di area pengambilan
bagasi, patung Hamemayu Hayuningrat dan patung Bedhaya Kinjeng Wesi, ornamen
gumuk pasir di area check poin 1, lorong dengan berbagai lukisan dari security check poin 2 menuju ruang
keberangkatan, dan pasar Kotagede di sebelah ruang tunggu keberangkatan. Saya
pun tak luput mengabadikan sisi menarik dari seisi ruangan bandara YIA.
Maskapai Garuda
yang saya tumpangi mendarat di YIA pukul 18.12 WIB, Senin, 24 Februari 2025,
setelah sebelumnya melewati perjalanan udara dari terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta sekira pukul
16.40 WIB. Tidak banyak pesawat parkir di landasan pacu senja hari itu. Begitu juga penumpang terlihat masih sepi. Dengan
luas bandara sekitar 26.589,3 m2 membuat
suasana YIA begitu lapang dan megah tentunya. Usai menyusuri jalan menuju ruang kedatangan
YIA, saya melanjutkan perjalanan darat menuju hotel Cavinton, tempat saya
menginap selama di Yogyakarta-kota ketiga bagi saya setelah Jambi (Sumatera)
dan Jombang (Tebuireng-Jawa Timur). Yogyakarta-dengan segala pernak-perniknya-merupakan
kawah candradimuka bagi saya selama hampir tujuh tahun (2003-2010).
Dari balik jendela mobil, romantisme, idealisme dan pelbagai ceritera semasa
mukim di Yogyakarta menyeruap sepanjang jalan, dan itu sulit dilupakan, meski
banyak perubahan terjadi sejak saya meninggalkan kota ini medio 2010. Terakhir kali
saya ke kota gudeg ini tahun 2019, sehingga sangat beralasan untuk merajut
kembali hubungan batin-lahiriah antara saya dengan Jogja-dengan segala paradoksnya.
Tersebab perut kosong, setiba di hotel saya langsung makan malam bersama sejawat lainnya. Dari balik kaca restoran hotel Cavinton, hujan tampak mendermakan kasihnya. Kota Yogyakarta diguyur hujan agak lebat. Suasana malam itu pun makin syahdu disertai lagu-lagu romantis yang dibawakan biduan hotel. Niat malam hari itu ingin langsung melepas dahaga kerinduan pada kota ini, setidaknya leyeh-leyeh di titik nol Yogyakarta-lokasi populer dan instagramable di Jogja-di dekatnya berdiri beberapa bangunan bersejarah seperti Kantor Pos Yogyakarta, Gedung BNI, Benteng Vredeburg, Monumen Serengan Umum Satu Maret 1949, dan istana kepresidenan Gedung Agung, walakin saya urungkan lantaran hujan tak kunjung reda. Tak ada pilihan selain segera ke kemar, lalu mandi dan shalat isya setelahnya. Lampu di kamar kumatikan. Mata pun terpejam.
***
Pagi Senin, pukul 05.45 WIB, udara di kota Jogja terasa
segar karena belum terkontaminasi polusi hitam kendaraan. Saya dan seorang
kawan, Ade Saputra, memilih jalan pagi dari hotel menuju titik nol kilometer
Yogyakarta, tepatnya persimpangan empat jalan di Gondomanan, Yogyakarta. Persimpangan ini merupakan pusat Kota Yogyakarta dan berada tidak jauh dari Keraton Yogyakarta.
Sepanjang jalan, selain banyak dijumpai aset gedung
milik organisasi perserikatan Muhammadiyah mulai dari gang-gang kampung kauman,
rumah sakit, kantor penerbitan, sekolah dan hotel Muhammadiyah, pusat oleh-oleh
dan lainnya, saya menemukan beberapa orang tertidur lelap di emperan toko-toko
yang umumnya belum buka. Keadaan ini jelas anomali bagi kota sekaliber Yogyakarta,
tapi begitulah realitasnya sekarang.
Bukan Jogja, bila ia tidak menjadi magnet bagi banyak wisatawan tanah
air. Nyatanya, suasana pagi di kawasan titik nol itu sudah ramai oleh warga. Umumnya
mereka mengabadikan suasana pagi hari sembari berolahraga. Banyak perubahan di Kawasan
ini dibanding enam tahun yang lalu atau terakhir kali saya mengunjungi Jogja. Kawasan
Malioboro sebagai jantung wisata memang lebih tertata, begitu juga keberadaan Museum
Benteng Vredeburg yang terletak di seberang Gedung Agung (istana Presiden) dan Kraton Kesultanan
Yogyakarta makin apik usai revitalisasi dilakukan Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Juni 2024. Museum Benteng
Vredeburg kini tak hanya menyajikan wahana night
museum sesungguhnya. Wisatawan juga bisa menikmati berbagai hiburan seperti
water fountain, sound lighting hingga video mapping.
Setelah dirasa cukup menikmati suasan pagi di jantung Malioboro, saya pun kembali ke hotel,
lalu sarapan, kemudian mandi dan setelahnya bersiap-siap memulai aktivitas.
***
Menyusul catatan saya berikutnya tentang wajah baru pengelolaan
kawasan Malioboro (plus kehadiran Teras Maliobro 1 dan 2) dan serangkaian optimalisasi sumber pendapatan asli daerah Provinsi
DIY (di tengah efisiensi APBN dan APBD TA 2025), selain menggantungkan pada
dana keistimewaan Yogyakarta dari pemerintah pusat, ceritera di balik kehadiran kebun buku dan toko buku Akik, Shoping Center dan Toga Mas-sebagai
ciri khas kota buku (selain tentu saja kota pendidikan dan budaya), dan catatan menyusuri kembali jalan-jalan yang
menautkan memori masa lalu saya dengan gedung DPRD Provinsi DIY, Tugu Jogja, LPM Arena: Kancah Pemikiran Alternatif, Angkringan, Blandongan Sorowajan, Romo YB Mangunwijaya dan kawasan Kampung Kali Code, kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Institut Pertanian STIPER Yogyakarta, Universitas
Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
*Kota Jambi, 07 Maret 2025.
0 Komentar