![]() |
ilustrasi. sumber: keropak.co.id |
Oleh: Jumardi Putra*
Alih-alih mengelola
negara dengan penuh tanggung jawab, para pejabat di negeri ini malah tersandung korupsi. Bermacam dalih dan tipu muslihat menyelinap di balik pelbagai kebijakan
baik di level pemerintah pusat maupun daerah seraya mengatasnamakan percepatan
program pembangunan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat, bla..bla..bla, namun
sejatinya baik secara individu maupun berjamaah merampok uang negara.
Setiap rezim pemerintahan
datang dengan janji pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya. Sampai-sampai di muka pintu kantor kementerian/lembaga/organisasi perangkat daerah kerap kita jumpai kalimat berbunyi “Di sini zona integritas”-itu artinya
komitmen terhadap anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Namun, faktanya skandal
demi skandal masih terus terjadi. Bahkan, dalam dua dekade terakhir, pelbagai
kasus mega korupsi justru terungkap dengan angka kerugian negara yang menyayat
hati-membuat publik di negeri ini menggelengkan kepala melihat perilaku oknum pejabat
dan elit politik yang tak punya hati nurani.
Praktik korupsi membuat jurang ketimpangan sosial antara segelintir kelompok kaya yang menguasai negeri ini (oligark) dan warga miskin di akar rumput semakin lebar. Kesejahteraan yang dijanjikan dan terus menerus disampaikan oleh pejabat plus influencer di forum-forum publik maupun melalui propaganda di media sosial dan media massa (cetak dan elektronik), nyatanya itu tidak lebih dari sekadar omon-omon.
Korupsi tidak saja dilakukan oleh mereka yang bekerja di lembaga berpelat merah, tapi juga berkolaborasi dengan pihak swasta-dengan pelbagai macam modus di baliknya. Belakangan ini muncul satire di media sosial yaitu klasemen “Liga Korupsi Indonesia”-untuk menyebut daftar korupsi kementerian/lembaga berdasarkan nilai kerugian keuangan negara mulai dari angka triliunan hingga menembus satu kuadriliun. Klasemen itu seolah menunjukkan sikap serakah oknum pejabat dan elit di negeri ini saling salip menggerogoti keuangan negara. Padahal, kondisi APBN sedang tertatih-tatih untuk membiayai program prioritasnya saban tahun. Saya teringat ungkapan dari Mahatma Gandhi "Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak semua keserakahan setiap manusia". Mentalitas rakus itu menjadi musabab sehingga negera ini seolah tidak mampu mewujudkan kesejahteraan secara merata bagi warganya, meski Tuhan sendiri telah menghadiahkan kekayaan sumber daya alam berlimpah.
Kasus terbaru yang membuat
heboh publik seantero Indonesia adalah korupsi
tata kelola minyak di Pertamina yang diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun. Kejaksaan Agung menetapkan eks
Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan sebagai tersangka
utama bersama beberapa nama lainnya. Bahkan, sempat berkembang dan mencuat
angka kerugian negara mencapai kuadriliun atau nyaris menembus Rp1.000 triliun.
Sayangnya, kian ke sini jumlah fantastis itu hilang ditelan angin.
Sebelum kasus itu, publik di tanah air murka atas korupsi tata niaga timah yang menyeret PT Timah Tbk dengan kerugian negara yang fantastis, mencapai Rp 300 triliun yang terdiri dari kerugian negara atas kerusakan lingkungan Rp 271 triliun di Bangka Belitung dan sisanya kerugian negara terkait sejumlah hal seperti kerja sama penyewaan alat proses pelogaman timah yang tidak sesuai ketentuan dan sebagainya. Sejumlah pejabat hingga pengusaha ikut terseret dalam pusaran kejahatan ini, salah satunya Harvey Moeis, suami dari aktris Sandra Dewi.
Tersebab sudah menjalar ke mana-mana, korupsi juga merambah di sektor energi yaitu skandal PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dengan kerugian negara mencapai Rp37,8 triliun. Skandal ini menyeret beberapa pejabat tinggi, termasuk mantan Kepala BP Migas Raden Priyono dan mantan Deputi Finansial Ekonomi BP Migas Djoko Harsono, yang telah divonis belasan tahun penjara. Namun, salah satu tersangka utama, mantan Presiden Direktur PT TPPI, Honggo Wendratno, masih buron sampai sekarang.
Begitu juga kasus PT Duta Palma Group yang menjadi bukti nyata pengusaha dan pejabat daerah bersekongkol merampok sumber daya negara. Pemilik PT Duta Palma Group, Surya Darmadi, terbukti melakukan penyerobotan lahan di Riau seluas lebih dari 37 ribu hektare dengan kerugian negara mencapai Rp78 triliun. Ia bekerja sama dengan mantan Bupati Indragiri Hulu yang dengan mudah menerbitkan izin usaha perkebunan tanpa prosedur yang sah.
Korupsi benar-benar menggurita. Muncul skandal yang mencoreng kredibilitas BUMN yaitu kasus PT Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia (Asabri). Dengan modus pengaturan investasi saham dan reksa dana, negara mengalami kerugian sebesar Rp22,7 triliun. Beberapa pejabat tinggi Asabri akhirnya dijatuhi hukuman, tetapi pemulihan keuangan negara akibat kasus ini masih menyisakan tanda tanya.
Masih banyak contoh kasus lainnya, seperti skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bermula dari krisis moneter 1997. Dengan dalih menyelamatkan perbankan, pemerintah mengucurkan dana Rp137,7 triliun yang akhirnya menguap tanpa pertanggungjawaban. Begitu juga kasus korupsi di PT Jiwasraya, di mana skema investasi Saving Plan berujung pada kegagalan pembayaran polis kepada nasabah sehingga menyebabkan kerugian mencapai Rp16,8 triliun.
Publik juga perlu mengingat kembali-untuk menyebut
contoh kasus mega korupsi di PT Pelindo II yang mengakibatkan kerugian negara
mencapai Rp6 triliun, korupsi proyek e-KTP dengan nilai kerugian negara sebesar
Rp2,3 triliun, kasus pembangunan BTS 4G dengan nilai kerugian negara yang
diperkirakan mencapai Rp8 triliun dan proyek Hambalang yang seharusnya menjadi
pusat pelatihan atlet nasional berakhir menjadi monumen korupsi juga
menimbulkan kerugian negara mencapai Rp706 miliar. Fatalnya lagi proyek tersebut mangkrak dan menjadi simbol kegagalan tata kelola anggaran yang bersih dan
transparan.
Deretan kasus korupsi di atas tentu hanya sebagian-untuk menyebut beberapa tindakan kejahatan berdasi dalam pengelolaan keuangan negara sejak reformasi sampai sekarang. Belum lagi kasus korupsi yang terjadi di tingkat daerah baik di lingkup Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Mencermati proyek-proyek jumbo di bawah “Asta Cita” Presiden Prabowo sekarang, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN)-lanjutan dari rezim pemerintahan Jokowi, Makan Bergizi Gratis (MBG), pengelolaan dana investasi Danantara yang mencapai belasan ribu triliun rupiah, serta rencana reaktivasi koperasi desa dengan memanfaatkan dana desa, membuat tantangan dalam pencegahan korupsi semakin besar.
Duh Gusti, praktik korupsi di Indonesia
sekarang ini menunjukkan sudah mengakar begitu dalam-kalau bukan candu. Modus yang digunakan para
koruptor pun semakin canggih, mulai dari penggelembungan anggaran, manipulasi
perizinan, hingga pencucian uang melalui perusahaan cangkang dan masih banyak tipu
muslihat lainnya lagi. Jika tidak ada reformasi struktural secara menyeluruh terhadap pemberantasan korupsi, maka Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran
korupsi yang mengantarkan negeri ini lebih cepat menuju kehancuran.
*Kota Jambi, 13 Maret 2025.
*Sumber berita:
- https://nasional.kompas.com/read/2025/02/25/06310481/negara-dirugikan-rp-1937-triliun-dari-dugaan-korupsi-tata-kelola-minyak?page=all
- https://www.tempo.co/hukum/begini-awal-mula-korupsi-pengelolaan-timah-di-bangka-belitung-yang-seret-harvey-moeis-dkk-25258
- https://www.cnbcindonesia.com/market/20240917124907-17-572355/kronologi-kasus-mega-korupsi-jiwasraya-hingga-kena-sanksi-pku
- https://nasional.kompas.com/read/2023/01/12/10582381/perjalanan-kasus-korupsi-asabri-dengan-terdakwa-benny-tjokrosaputro-divonis?page=all
- https://www.tempo.co/hukum/ma-tolak-pk-surya-darmadi-kilas-balik-kasus-korupsi-bos-pabrik-kelapa-sawit--4874
- https://antikorupsi.org/id/article/menyelesaikan-skandal-blbi
- https://nasional.kompas.com/read/2021/11/11/17322811/kasus-korupsi-pelindo-ii-rj-lino-dituntut-hukuman-6-tahun-penjara
- https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20210315173529-178-617733/hambalang-proyek-olahraga-nasional-yang-dikorupsi
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171220173012-12-263796/kpk-sebut-kerugian-negara-proyek-e-ktp-tetap-rp23-triliun
0 Komentar