![]() |
Talk Shaw di SMA Kristen Bina Kasih |
Oleh: Jumardi Putra*
Mendung hitam masih bergelayut di langit Kota Jambi pagi itu, setelah semalaman diguyur hujan lebat (19/2). Saya bergegas berangkat dari rumah menaiki gojek menuju SMA Kristen Bina kasih-beralamat di Kebun Handil, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi-tempat saya diminta pihak sekolah berbagi pengalaman sekaligus pengetahuan tentang pengelolaan keragaman di Indonesia dengan tajuk merangkul keberagaman, mengasihi tanpa batas. Tajuk diskusi kali ini boleh dikata panggilan bersama untuk senantiasa merawat-ruwat kemajemukan negeri ini berdasarkan falsafah Bhineka Tunggal Ika.
Mungkin ini terasa klise,
tapi selalu relevan dicakap-renungkan, apatahlagi sekolah sebagai institusi
pendidikan dengan nilai-nilai fundamental kebaikan yang mendasari tujuan pendidikan nasional
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik, dan
membentuk watak bangsa yang bermartabat.
Sebagai bangsa yang majemuk, keragaman itu adalah kekayaan, tapi saat bersamaan juga memendam potensi konflik bila gagal
dikelola secara baik. Faktanya, kasus-kasus intoleransi sudah memasuki
lingkungan pendidikan di beberapa daerah di tanah air. Hasil riset CRCS
Pascasarjana UGM bisa menjadi salah satu rujukan seputar kompleksitas sekaligus menggunakan pelbagai pendekatan dalam rangka pengelolaan
keragaman di tanah air.
Intoleransi dan
bahkan fenomena kekerasan atas nama agama bukan hanya terjadi dalam Islam, tetapi juga berlangsung pada agama-agama lain di muka bumi ini, sebagaimana terlihat di
Irlandia Utara, Sri Lanka, India, Israel, Palestina, Irak, Afghanistan,
Pakistan, Kashmir, Checnya, dan Eropa, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
militan ekstrim. Para ekstrimis percaya bahwa mereka memiliki mandat dari Tuhan
memaksakan pemahaman agama versi mereka dan membinasakan siapa pun yang tidak
sehaluan dengan mereka.
Bertolak dari hal di atas, selain membentangkan beberapa temuan hasil riset seputar pengelolaan keragaman di tanah air-termasuk di sekolah-sekolah dengan segala dinamikanya, saya juga membagikan pengalaman pribadi setelah mengikuti sekolah pengelolaan keragamaan yang ditaja oleh Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Pascasarjana UGM, di mana kami yang notabene datang dari pelbagai daerah di tanah air-dengan latar belakang yang beragam pula-saling mengenal satu sama lain sekaligus belajar tentang konstruksi identitas, kewarganegaraan, dan desain kebijakan negara tentang pengelolaan keragaman. Selain meneguhkan kepelbagaian di antara kami, semua itu didedah secara kritis dan mendalam sesuai minat riset dari setiap peserta dari daerah masing-masing.
***
Kegiatan di SMA Kristen Bina
Kasih ini merupakan bagian dari kurikulum P5 yaitu Kurikulum Merdeka yang mengacu pada Projek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Program ini bertujuan untuk mengembangkan karakter dan kompetensi siswa
sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila. Karakteristik P5 menggunakan pembelajaran berbasis proyek yaitu mengamati dan
mencari solusi terhadap masalah di sekitar, menggunakan metode pembelajaran
interaktif, dan mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif, dan memanfaatkan
pembelajaran lintas disiplin ilmu.
Keragaman di sini tidak saja berpangkal
dari agama ansikh, tapi juga
kebudayaan dalam spektrum yang lebih luas, sehingga paradigma sekaligus sikap siswa-siswi
tentang keberagaman diharapkan relevan dengan ruang dan waktu dimana mereka
tinggal dan berinteraksi, terutama di tengah realitas sosial Provinsi Jambi yang
beragam baik dari segi agama maupun etnis.
Kegiatan kali ini didesain
dalam bentuk talk shaw dengan tujuan
agar transmisi pengetahuan berjalan santai dengan tetap menjaga susbtansi. Di
atas panggung diskusi, saya tidak sendirian melainkan bersama Pak Ev. Wilson
Zebua, pengajar di Bina Kasih yang juga bertindak sebagai narasumber. Sesi
berbagi pengetahuan dan pengalaman ini dimoderatori oleh Bu Rintih S. Zendrato
yang juga adalah Wakil bagian Kurikulum SMA Bina Kasih. Dengan demikian, talk show kali ini diharapkan sejalan
dengan maksud dan tujuan dari P5.
Sebelum ini, proyek P5 yang
telah mereka laksanakan yaitu mengajak para siswa mengunjungi Panti Jompo dan
Bank Sampah di Kota Jambi. Pada dua tempat itu mereka melihat dari dekat
tentang kehidupan para lansia dengan segala kompleksitasnya. Begitu juga belajar
seputar bank sampah, sesuatu yang mungkin belum familiar bagi publik, terutama
kaum remaja. Dari dua tempat itu mereka tidak saja bercengkrama, tetapi juga mengamati
dan mereflesikannya sebagai seorang pelajar sekaligus bagian dari makhluk
sosial. Dari situ diharapkan para siswa menemukan pelbagai kemungkinan solusi-solusi
seraya menautkannya dengan nilai-nilai pendidikan yang mereka peroleh selama
proses belajar di lingkungan sekolah.
![]() |
SMA Kristen Bina Kasih |
Sebagai narasumber, selain membentangkan data keragaman baik etnis, kebudayaan (tangible-intangible) maupun pelbagai agama di Provinsi Jambi, sesekali saya juga mengajak para siswa melihat problem pengelolaan keragamaan di lingkup nasional dengan tetap berpijak pada kerangka maupun pendekatan kebudayaan. Hal itu bukan tanpa alasan, agar pengelolaan keragamaan tidak terjebak dalam perdebatan klaim kebenaran antar masing-masing agama (teologi), melainkan berpangkal dari konstruksi identitas secara sosial dalam perspektif kewarganegaraan, sehingga siapa pun di negeri ini berkedudukan sama di hadapan konstitusi.
Saya setuju yang dikatakan
Gus Dur era 70an yakni sikap membenarkan agama sendiri adalah sikap yang benar.
Tetapi sikap menyalahkan agama lain adalah sikap yang salah. Besar sekali
jurang pemisah antara keduanya. Kalau tidak diambil sikap berhati-hati, kita
dapat saja masuk jurang itu. Berarti tidak lagi berada di tebing kebenaran
agama kita sendiri.
Berdasarkan data BPS Provinsi
Jambi, dari segi etnis, di Jambi saat ini terdapat 42 persen etnis Melayu, 32
persen Jawa, 8 persen Kerinci, 13 persen Minangkabau, 3,46 persen Batak, 3,33
persen Banjar, 3,13 persen Bugis, 2,58 persen Sunda, dan kelompok kecilnya
lainnya, serperti etnis Tionghoa berjumlah 1,21 persen dari seluruh penduduk
Jambi.
Selain beragam etnis, di
Jambi juga terdapat beberapa agama yang dianut. Selain Islam yang mayoritas dianut
penduduk Jambi, terdapat agama-agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, termasuk kepercayaan lokal sebagaimana dianut Orang Rimba. Pluralitas
agama dan budaya di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah adalah modal
sosial yang mesti dibanggakan, meski pada saat yang sama berpotensi menjadi
titik pangkal perselisihan bila tidak disertai pandangan sekaligus sikap
kewarganegaraan yaitu merangkul keberagaman, mengasihi tanpa batas.
Bahkan, untuk menautkan
generasi Z sekarang dengan realitas Jambi di masa lalu, saya juga menggunakan perspektif
sejarah, mulai dari fase Melayu Kuno, Budhis hingga masuknya agama Islam hingga
sekarang. Posisi Jambi yang strategis dalam pelayaran dunia (the favoured
commercial coast) sejak dulu membuat Jambi terbuka bagi kedatangan orang luar
(asing). Tidak sekedar datang, banyak di antara orang dari daerah lain tersebut
yang lantas menetap di Jambi, termasuk menjadi “orang-orang besar” dalam sejarah
perjalanan Jambi.
Kontak budaya yang telah
berlangsung lama antara Jambi dengan dunia luar, sebut saja seperti India,
Persia, Cina, Burma, Kamboja, Vietnam, Siam, dan Arab, sejatinya menunjukkan
watak Jambi yang kosmopolit. Apatahlagi, seiring perkembangan zaman, didukung
revolusi teknologi dan informasi, kontak budaya tersebut makin meluas dan
berkembang pesat sampai sekarang.
Saya senang dengan acara ini karena tiga hal yaitu pertama, saya yang notebene pemeluk Islam berjumpa dan berbagi pengetahuan dengan siswa dan guru yang notebene umumnya beragama Kriten dan berlatar belakang etnis yang beragam. Kedua, saya merupakan bagian dari generasi Mileneal, sedangkan siswa-siswa yang mengikuti kegiatan ini adalah Gen Z. Ketiga, bertolak dari dua keadaan itu, saya menjadi mengerti bagaimana siswa yang tumbuh dalam dunia serba teknologi menempatkan isu toleransi dan keragaman di era internet sekarang dengan platform media sosial yang jelas berbeda dengan generasi sebelumnya. Pada point ketiga ini saya menemukan relevansi dari tajuk diskusi kali ini, karena pandangan sekaligus sikap intoleransi antar nitizen kian marak terjadi di ruang-ruang maya, yang itu bila tidak disertai pehamaman yang memadai tentang pengelolaan keragaman antar etnis maupun agama bisa berujung pada konflik sosial.
Selama talk shaw, perbedaan masing-masing kami, nyatanya tidak membuat kesulitan untuk berbagi pikiran dan pengalaman tanpa perlu harus saling
merendahkan, apalagi membenci. Apa sebab? Keberagaman kita menegaskan bahwa
“identitas” tidak tumbuh dalam ruang “kedap suara.” Dengan caranya
masing-masing, satu sama lain perlu terus menerus mendialogkan “Who am I?” atau
yang lazim disebut “identitas,” baik yang melekat maupun yang dilekatkan dalam
konteks kewaraganegaraan.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan sekolah adalah
dengan memberikan pemahaman pada peserta didik melalui pola implementasi
pendidikan multikultural pada setiap sisi kehidupan di sekolah, baik melalui
kegiatan ekstra- kurikuler. Dilihat dari dimensi dalam program kegiatan Religion Empowerment yang melibatkan
beberapa guru mata pelajaran dan tema pembelajaran. Selain itu, sekolah perlu
memaksimalkan peran kepala sekolah dan guru sebagai garda terdepan dalam
implementasi pendidikan multikultural di sekolah.
Seloko Adat sebagai salah satu falsafah-pegangan hidup masyarakat Melayu Jambi-relevan menjadi titian teras pemersatu yang memuat nilai-nilai moderasi dalam beragama seperti berikut ini:
“Datar bak lantai kulit, licin bak dinding bemban”: memperlakukan semua kalangan tanpa pilih kasih dan tidak membeda-bedakan latar belakangnya.
“Duduk besamo belapang-lapang, duduk seorang bersempit-sempit”: sikap saling berbagi, tenggang rasa, dan saling memahami antar seluruh elemen masyarakat.
“Kemudek serentak gala/satang, keliling serengkuh dayung”: kekompakan atau kebersamaan.
*Tulisan ini merupakan versi pengembangan dari materi diskusi yang saya sampaikan pada Talk Shaw di SMA Kristen Bina Kasih pada tanggal 19 Februari 2025.
0 Komentar